|
Perkawinan dan Cinta Uneq-Uneq - Thursday, 26 February 2004
Berikut ini saya ketikkan/kutipkan secara utuh jawaban dari DR. Yusuf Qardhawi yang berkenaan dengan masalah yang paling banyak ditanyakan oleh teman-teman, yaitu tentang Cinta Sebelum perkawinan. Diambil dari buku Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 1, Karangan DR. Yusuf Qardhawi, penerbit Gema Insani Press. Semoga bermanfaat.
Pertanyaan :
Saya seorang gadis berusia lima belas tahun. Keluarga saya ingin mengawinkan saya dengan anak paman saya, sedangkan saya tidak mencintainya, sebab saya mencintai pemuda lain. Maka apakah yang harus saya perbuat ? Mohon saran Ustadz.
Jawaban dari Qardhawi :
Masalah cinta dan kasih sayang kini merebak menjadi topik pembicaraan di mana-mana, karena pengaruh drama, sandiwara, cerpen, novel, film (sinetron), dan lain-lain. Anak-anak gadis banyak yang gandrung dengan masalah ini. Saya khawatir mereka terpedaya oleh cinta. Lebih-lebih pada usia-usia puber dan memasuki masa baligh, sementara hati mereka masih kosong (dari pegangan dan pedoman hidup). Akibatnya, kata-kata yang manis mudah saja masuk ke dalam hati yang kosong ini.
Sangat disayangkan ada sebagian pemudia yang berbuat demikian dengan penuh keterpedayaan atau malah merasa senang dan nikmat mencumbu dan merayu, bahkan merasa bangga dengan perbuatannya itu. Ia bangga jika dirinya berhasil merayu banyak wanita.
Karena itu, nasihat saya kepada gadis muslimah,janganlah terpedaya oleh perkataan dan semua rayuan gombal. Hendaklah Anda mendengarkan nasihat orang tua atau wali. Janganlah memasuki kehidupan rumah tangga hanya memperturutkan perasaan, tetapi pertimbangkanlah segala sesuatunya dengan akal sehat.
Saya sarankan kepada para orang tua atau wali, hendaklah memperhatikan kemauan dan keinginan anak-anak perempuannya. Janganlah si ayah membuang perasaan dan keinginan anaknya dan menjadikannya sebagai amplop kosong tak berisi, lalu mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya, sehingga si anak memasuki kehidupan rumah tangganya dengan terpaksa. Karena si anak itulah kelak yang akan bergaul dengan suaminya, dan bukan si ayah. Tetapi ini tidak berarti bahwa antara pemuda dan si gadis harus sudah ada hubungan cinta sebelum terjadinya perkawinan,, namun paling tidak harus ada kerelaan hati.
Karena itu, Islam memerintahkan si peminang melihat pinangannya, begitu juga sebaliknya.
Sabda Nabi saw: “Karena yang demikian itu lebih patut dapat mengekalkan kalian berdua.”
Syariat Islam menghendaki kehidupan rumah tangga ditegakkan atas dasar saling meridhai dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Si wanita hendaknya ridha, setidak-tidaknya memeliki kebebasan uhntuk menyatakan kehendak dan pendapatnya secara terus terang,, atau kalau ia merasa mali menyatakan persetujuannya secara terus terang, bolehlah dengan bersikap diam:
“Anak gadis (perawan) itu hendaklah dimintai izinnya (untuk dikawinkan), dan janda itu lebih berhak terhadap dirinya.” (HR Al Jamaah kecuali Bukhari)
Maksudnya, wanita yang sudah pernah kawin sebelumnya harus menyatakan secara terus terang, “Saya suka dan cocok (setuju).” Adapun seorang gadis bila dimintai izinnya untuk dikawinkan kadang-kadang merasa malu untuk menjawab, lalu ia dia atau tersenyum,, maka yang demikian itu sudah dianggap cukup bahwa ia setuju. Tetapi jika ia mengatakan “Tidak” atau menangis, maka ia tidak boleh dipaksa.
Nabi saw, pernah membatalkan perkawinan seorang wanita yang dikawinkan tanpa kerelaannya. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa ada seorang wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu pada Nabi saw., Nabi menginginkan dia merelakan ayahnya, sekali, dua kali, tiga kali. Ketika Nabi saw., melihat dia masih tetap pada pendiriannya, beliau bersabda, “Lakukanlah apa yang engkau kehendaki.” Tetapi kemudian wanita itu berkata, “Saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya ingin agar para bapak (ayah) itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini.”
Perlu saya tegaskan di sini bahwa dalam perkawinan itu harus ada kerelaan si anak dan wali (orang tua) sebagaimana yang disyaratkan oleh banyak fuqaha, sehingga mereka mengatakan wajibnya persetujuan wali untuk kesempurnaan nikah. Disebutkan dalam hadits:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR Daruquthi)
“Siapa saja wanita yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya,, maka nikahnya batal, batal, batal.” (HR Abu Daud Ath Thayalisi).
Selain itu, juga harus ada keridhaan ibu. Mengapa ibu ? Karena ibulah yang banyak mengerti masalah anak perempuannya. Rasulullah saw., bersabda: “Ajaklah ibu-ibu bermusyawarah tentang anak-anak perempuan mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dengan begitu, dia memasuki kehidupan berumah tangga dengan ridha. Ayah ridha, ibu ridha dan seluruh keluarganya ridha sehingga kehidupan rumah tangganya nanti tidak sesak dan tidak keruh.
Yang lebih utama, hendaklah perkawinan dilakukan dengan cara yagn dikehendaki oelh syariÂ’at. Wallahul Muwaffiq [ 0 komentar]
|
|