|
Mengatasi Kebiasaan Masturbasi Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Assalamu'alaikum.....
Mbak Ade yang bijaksana. Saya seorang pria berumur 25 tahun dan belum menikah. Saya sudah bekerja dan sekarang sedang kuliah. Keinginan untuk menikah sudah ada, hanya ada kendala dengan masalah keuangan untuk persiapan menikah. Dan kebetulan sekarang ini saya menjalin hubungan dengan cewek, hanya dia masih duduk di bangku sekolah. Kami berjauhan (pacaran jarak jauh). Kedua orang tua kami sudah saling mengetahui dan merestui.
Yang kadang membuat saya merasa bersalah dan berdosa adalah ketika birahi sedang memuncak dan belum ada penyalurannya, saya kadang melakukan masturbasi/onani. Saya pernah dengar ada ulama yang mengharamkan masturbasi dan ada yang membolehkan jika kita takut terjerumus perzinaan. Soalnya hampir seminggu sekali saya tidak bisa menahan hasrat seksual saya ketika sedang memuncak dan akhirnya melakukan masturbasi.
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Apakah hukumnya orang yang melakukan masturbasi/onani? Jika dilihat dari sisi agama (jika ada hadits atau ayat dalam Al Qur'an yang mendasari penjelasan Mba Ade)
2. Adakah efek samping jika kita sering melakukan masturbasi? Saya pernah dengar, bahwa onani bisa melemahkan daya tangkap pikiran kita. Benarkah?
3.Mohon saranannya agar saya dapat cepat menikah dan diberikan kemudahan dalam menempuh jalan ke jenjang pernikahan.
Terima kasih atas waktu dan jawabannya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X di bumi Allah
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmamtullahi Wabakatuh
Imam Abu Hamid a-Ghazali berkata di dalam Ihya Ulumuddin, ”Diriwayatkan bahwa suatu hari orang-orang bubar dari majelis Ibnu Abbas, tinggal seorang pemuda yang tidak beranjak dari tempat itu.
Kemudian Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Apakah engkau mempunyai suatu keperluan?”
Dia menjawab: “Ya, saya ingin menanyakan suatu masalah, tetapi saya malu kepada orang-orang, dan sekarang saya hendak menanyakannya kepada tuan.”
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya orang alim itu kedudukannya seperti orang tua (ayah), maka apa yang engkau inginkan terhadap ayahmu sampaikanlah kepadaku.”
Lalu pemuda itu berkata, “Saya adalah seorang pemuda yang tidak mempunyai istri. Kadang-kadang saya takut resiko terhadap diri saya. Kadang-kadang saya melakukan onani (mengeluarkan sperma dengan tangan), maka apakah yang demikian itu termasuk maksiat/pelanggaran?”
Ibnu Abbas berpaling darinya, kemudian berkata, “Cis, cis, kawin dengan perempuan budak itu lebih baik daripada onani, namun onani itu lebih baik daripada zina.”
Maka ini merupakan peringatan bahwa orang Arab yang kuat libidonya (nafsu seksnya) itu menghadapi tiga macam kejelekan. Yang paling ringan adalah mengawini budak perempuan, yang dengan demikian berarti menjadikan anaknya nanti seorang budak. Lebih buruk dari itu adalah melakukan onani, kemudian yang paling buruk adalah zina. Ibnu Abbas tidak mengatakan bolehnya melakukan hal ini secara mutlak, karena dikhawatirkan terjatuh ke dalam perkara yang lebih berat lagi, sebagaimana bersegeranya memberikan keputusan tentang bolehnya makan bangkai karena dikhawatirkan akan membinasakan jiwa (apabila tidak memakannya). Maka memperkenankan yang lebih ringan dari dua perkara itu bukan berarti membolehkannya secara mutlak, juga bukan berarti lebih baik secara mutlak. “ (Abdul Halim Abu Syuqqah, “Kebebasan Wanita” jilid 6, Penerbit Gema Insani Press yang mengutip pendapat Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin).
Selanjutnya, Ibnu taimiyah berkata di dalam kitab Fatawa-nya, ”Onani itu hukumnya haram menurut kebanyakan ulama, dan ini adalah salah satu dari dua riwayat Imam Ahmad, bahkan dikatakan yang paling jelas. Sedangkan menurut satu riwayat (dari beliau), hukumnya adalah makruh. Akan tetapi, apabila timbul goncangan dalam jiwa yang bersangkutan, misalnya ia khawatir terjatuh ke dalam perbuatan zina jika tidak melakukan onani, atau khwatir jatuh sakit, maka dalam hal ini terdapat dua macam pendapat ulama. Dalam hal ini beberapa golongan ulama salaf dan khalaf memberikan kemurahan (memperbolehkannya), sedangkan sebagian lainnya melarangnya.” (Ibid, mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu fatawa).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, :Segolongan ulama memperbolehkan onani. Ini adalah pendapat golongan Hanabilah (madzab Hambali) dan sebagian ulama Hanafiyah (madzab Hanafi), karena untuk mengendorkan syahwat.”
Dari semua pendapat di atas, memang tidak ada fatwa peng-haraman yang tegas atas masalah masturbasi atau onani. Tapi semuanya setuju bahwa perilaku tersebut adalah sesuatu yang buruk dan hendaknya ditinggalkan.
Syekh Ali Thanthawi mempunyai ulasan yang bagus mengenai masalah ini di dalam kitabnya Shuwarwa Khawathir, di celah-celah penolakannya terhadap salah seorang pemuda yang merasa payah (menderita) karena tekanan nafsu seksnya. Beliau berkata, ”Jika seseorang sengaja melakukan onani, yang meskipun keburukannya palng kecil dan mudharatnya paling ringan di antara tiga macam kejelekan, tetapi kalau melampui batas maka ia dapat menimbulkan kesedihan dalam hati dan penyakit dalam tubuh, dan menjadikan pelakunya yang masih muda tampak menjadi tua, gundah dan beringas, yang menyebabkan orang lain lari dan takut kepadanya, dan dia sendiri takut menghadapi kehidupan dan beban-bebannya.” Dalam kitab tersebut beliau juga berkata, ”Saya tidak menyerukan onani, tetapi saya menetapkan hakikat yang ditetapkan oleh banyak dokter ahli, dan secara garis besar pendapat ini disetujui oleh banyak dokter ahli, dans ecara garis besar pendapat ini disetujui oleh fuqaha-fuqaha golongan Hanafiyah.”(Ibid)
Akhi X, sebenarnya masalah yang akhi alami itu lahir karena dipandang dari segi usia akhi sudah punya cukup kesiapan untuk menikah. Di usia seperti akhi (25-35 tahun), seorang pria memang diberikan gairah seksual yang tinggi, untuk kemudian menurun normal dan kembali tinggi di kurun usia yang lain (45- 55 tahun) sebelum kemudian menurun lagi. Karena frekuensinya sedang menanjak naik, maka bisa jadi dorongan libido (seksual) tersebut akan mudah terangsang karena berbagai sebab. Entah itu karena melihat sesuatu yang merangsang, membayangkan sesuatu, menonton sesuatu, membaca sesuatu bahkan mendengar sesuatu. Karena sesuatu sebab, maka seringkali dorongan tersebut melahirkan sebuah kegiatan yang seharusnya dihindari, yaitu bermasturbasi (onani). Kebanyakan kegiatan masturbasi ini datang pada orang-orang yang belum atau tidak menikah. Itu sebabnya banyak pemuda di usia seperti akhi dianjurkan untuk segera menikah (lihat qs Al-Mukminun: 5-7).
Pada saat melakukan masturbasi, sebenarnya ada sebuah suara yang diabaikan oleh pelakunya yang menghendaki agar pelaku masturbasi menjauhi kegiatan bermasturbasi. Suara itu datang dari hati nurani. Inilah suara yang suci yang lahir dari jiwa yang sehat dan fitrah manusia yang suci. Pengabaian ajakan dari suara hati nurani inilah yang akhirnya melahirkan perasaan bersalah, berdosa, merasa kotor dan tidak tenang. Merasa bersalah karena sadar bahwa ini adalah perbuatan yang salah; merasa berdosa karena tahu telah melakukan sebuah kesalahan. Akibatnya, timbul perasaan bahwa diri ini kotor (dan memang mereka yang mengeluarkan air mani dimasukkan ke dalam golongan najis yang menyebabkan seseorang harus mandi junub). Akhirnya, semua perasaan ini menyebabkan dirinya tidak tenang karena perasaan malu disaat diawasi oleh Allah dan malaikat-malaikatNya malah melakukan hal-hal yang kotor dan tidak pada tempatnya. Hal-hal inilah yang mempengaruhi jiwa dan pikiran mereka yang melakukan masturbasi. Akibatnya, dalam pergaulan mereka menjadi pribadi yang tidak percaya diri, karena tidak percaya diri maka lahirlah defense mekanisme lanjutan seperti cepat marah, atau tidak bersemangat untuk mengikuti berbagai kegiatan, atau senang menyendiri dan tidak dapat memusatkan perhatian (kehilangan semangat untuk belajar) karena merasa diri sangat payah. Pada akhirnya, yang terjadi adalah kehilangan kemampuan untuk berpikir karena malas berpikir. Saya ada membaca sebuah jurnal (saat ini saya lupa judulnya) yang mengatakan bahwa kurang dimanfaatkannya kapasitas yang dimiliki oleh otak manusia akan menyebabkan otak yang tak terpakai tersebut mengecil. Hal ini akan mempengaruhi proses kerja saraf lainnya sehingga proses penuaan bekerja lebih dini (untuk lebih jelasnya silahkan simak VCD yang dikeluarkan oleh National Geografic: Discovery Channel: Forever Young, yang membahas bagaimana proses penuaan bisa menghinggapi seseorang).
Dengan menikah, maka semua dorongan tersebut bisa disalurkan di tempat yang halal dan insya Allah jika dilakukan dengan penuh keikhlasan akan menjadi amal ibadah tersendiri bagi akhi dan istri akhi. Tapi, saya bisa memahami jika saat ini ada kendala sehingga akhi tidak dapat melangsungkan pernikahan secepatnya. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan kita dan tuntutan dari lingkungan terkadang menyebabkan kita terpaksa harus melakukan hal-hal yang tidak kita kehendaki. Sehingga akhirnya datanglah sesuatu yang sebenarnya dihindari justru malah kita lakukan. Dalam hal ini, Islam bukannya tidak menganti-sipasi hal-hal tersebut. Justru, Islam sangat memahami kondisi ummatnya sehingga selalu ada jalan keluar bagi masalah tersebut.
Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan ia juga menurunkan obat untuknya.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Jalan keluar yang diberikan dalam Islam bagi suatu masalah yang timbul pada ummatnya berkeinginan untuk membebaskan ummatnya dari kemudharatan lebih lanjut dan kembali pada fitrah manusia yang sebenarnya yaitu suci dan bersih. Inilah sikap yang utama sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw terhadap pemuda Muslim yang belum mampu menikah agar banyak berpuasa.
”Wahai segenap Kaum Muda! Barang siapa di antara kalian sudah mempunyai kemampuan maka hendaklah dia menikah, karena menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR Bukhari)
Sesungguhnya berpuasa dapat mendidik dan mengajari kita pada kesabaran, menguatkan mental taqwa dan merasa diawasi oleh Allah. Dengan tiga manfaat tersebut maka akhi insya Allah bisa melawan keinginan ber-onani.
“…Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.” (Qs Al Maa’idah:6)
”Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu )jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs Asy-Syams 7: 10)
“Dan, aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Yusuf: 53) (lihat juga kisah Habil dan Qabil sebagai contoh dari mengikuti hawa nafsu yang jahat dan melawan hawa nafsu yang jahat di Qs Al Maidah: 27-30).
Disamping berpuasa, akhi juga hendaknya mengisi waktu akhi dengan berbagai kesibukan.
Sering kali dorongan libido ini lahir karena adanya energi yang masih tersisa di dalam diri kita yang karena tidak terpakai akhirnya menggelitik masuk ke dalam dorongan libido kita. Terlebih di usia sangat produktif yang akhi miliki saat ini. Hendaknya, jangan biarkan ada waktu senggang yang terbuang percuma karena tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bisa membawa kebaikan bagi diri akhi di masa sekarang atau masa yang akan datang (tapi hendaknya juga dihindari menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna yang hanya menjauhkan diri akhi dari ketakwaan). Cobalah untuk berolah-raga (lari/bersepeda/fitnes, dsb), menimba ilmu (baca dan pelajari buku, Al Quran, tafsir, dsb) dan ikutilah majelis-majelis ilmu yang tersebar dimana-mana (ikuti pengajian, kegiatan sosial, pertemuan ilmiah, kunjungan perpustakaan, dsb) dan setelah semua kegiatan tersebut diikuti, sisakan waktu untuk menjalin komunikasi dengan Allah lewat shalat, tahajud, tadarrus Quran dan berdzikir. Dengan demikian, insya Allah tidak ada sisa energi yang tersisa dan insya Allah bisa menghindari akhi dari celah waktu untuk berfantasi hingga menimbulkan keinginan ber-onani. Inilah yang disebut berusaha secara maksimal.
Rasulullah saw bersabda, ”Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang yang takwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh pada yang terlarang.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari Athiyyah as-Sa’di dengan sanad sahih).
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (Qs Al-Baqarah: 222)
Semoga bermanfaat
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
Bahan bacaan:
- Dr Yusuf Qardhawi, “Halal dan Haram”, penerbit: Robbani Press.
- Abdul Halim Abu Syuqqah, “Kebebasan Wanita”, jilid 6, penerbit: Gema Insani Press.
- Dr Yusuf Qardhawi, “Taubat”, penerbit Pustaka Al Kautsar.
- Dr Yusuf Qardhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, jilid 1, penerbit: Gema Insani Press.
[ 0 komentar]
|
|