|
“Ayoo dong, kalau tidak…” Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004
kafemuslimah.com “Ayo pejamkan matamu.” Seorang wanita meminta anaknya untuk memejamkan matanya. Si anak membandel. Dia masih bermain dengan bonekanya. Disisirnya rambut boneka itu dengan tangannya.
“Ayo cepat tidur, kalau tidak tidur nanti datang monster pemakan anak kecil.” Kontan, tanpa menunggu hitungan detik berikutnya, mata yang semula terbuka itu segera tertutup rapat. Sangat rapat sehingga lipatan kulit pelupuknya terlihat menumpuk. Wanita pengasuh itu lalu mengambil selimut. Diselimutinya tubuh si anak hingga ketiak. Tangannya terulur menuju kepala dan mulai membelai rambut si anak dengan hati-hati. Kemudian, terdengarlah suara nyanyian lagu penghantar tidur untuk si kecil.
Nina bobo’….
Oo..oo..Nina bobo’…..
Kalau tidak Bobo’…. Digigit Nyamuk!…
Nina bobo’...anak tersayang… kalau tidak bobo’ digigit nyamuk…
Ritual mengantarkan anak ke peraduanpun usai.
Tak disadari bahwa baru saja terjadi sebuah penanaman nilai pada generasi berikutnya yakni betapa pentingnya budaya ancaman untuk membuat orang lain mengikuti kehendak kita.
“Ayo.. kamu harus begini kalau tidak…”
“Ayo ikuti, kalau tidak…”
Reward and punishment.
Reward and punishment.
Kedua item di atas sudah sedemikian akrab dalam kehidupan kita. Situasi ini beberapa tahun yang lalu bahkan juga menarik perhatian ilmuwan untuk diteliti. Doob, pada tahun 1947, melakukan penelitian yang melihat prinsip-prinsip belajar dan menganalisa proses pembentukan dan perubahan sikap. Prinsip yang dikembangkan mirip dengan percobaan Pavlov, yang meneliti perilaku anjing ketika menerima reward makanan ketika bel berbunyi maka anjing tersebut melihat lingkungan secara positif dan hal sebaliknya terjadi. Dalam penelitian Doob, diperoleh kenyataan bahwa ganjaran (reward) diberikan untuk memperkuat suatu tindakan. Hal ini juga dapat membentuk dan mengubah sikap seseorang. Inilah yang terjadi dalam proses belajar.
Dalam kehidupan sehari-hari, percobaan tersebut biasanya terlihat nyata dalam perilaku penerapan disiplin dan perilaku beradaptasi dalam lingkungan. Misalnya ketika seseorang melihat bahwa di Jepang, masyarakat akan senang jika melihat kita melepas sepatu kita ketika masuk ke rumah mereka. Reward itu bisa terlihat dari senyum yang ditampilkan, sikap ramah menerima dan sebagainya yang positif. Hal sebaliknya terjadi jika kita tidak melepas sepatu kita jika masuk ke dalam rumah mereka. Adanya ganjaran ini merubah sikap dalam beradaptasi agar diterima di masyarakat. Selain dalam proses adaptasi, hal yang sama terjadi juga dalam penerapan disiplin. Seperti dalam disiplin lalu lintas, disiplin tentara, disiplin penerapan peraturan sekolah dan sebagainya. Hasilnya cukup efektif.
Adanya peraturan yang jelas tentang reward dan punishment ini menyebabkan manusia mau tidak mau mengikuti kesepakatan umum yang disetujui oleh masyarakat kolektif. Keteraturan sosialpun terjadi. Arah gerak masyarakat dan individu di dalamnya mudah dipantau karena adanya standar peraturan yang telah dibuat tersebut. Mereka yang patuh dan mengikuti peraturan akan memperoleh reward dari masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, mereka yang tidak patuh akan memperoleh sanksi dari masyarakat yang biasanya berupa hukuman. Sayangnya dalam perkembangannya, unsur hukuman ini menjadi sangat kuat dan dominan sedangkan unsur penghargaan menjadi terabaikan. Ketimpangan ini menjadi-jadi akibat dari adanya perkembangan posisi kedudukan masyarakat yang tidak berimbang. Mereka yang punya kekuasaan, menduduki posisi yang kuat sehingga sering kali tidak tersentuh dengan hukuman. Sebaliknya, mereka sering kali bermandikan penghargaan. Sedangkan mereka yang lemah memperoleh limpahan hukuman yang berlebihan dari masyarakat sebagai pelampiasan dari rasa kecewa masyarakat karena tidak dapat menyentuh si kuat.
Dalam situasi yang kebingungan tersebut, tentu saja si lemah menjadi korban yang sudah jatuh tertimpa tangga pula. Jangankan dibela, diperlakukan manusiawipun tidak. Apalagi terpikir untuk memperoleh hak-haknya sebagai sesama manusia anggota masyarakat. Dalam pada itulah mekanisme pertahanan diri seseorang muncul. Prinsip penanaman nilai yang diperolehnya sejak kecil mulai mencuat ke atas. Yakni, bahwa hidup itu adalah perjuangan, dan senjata yang bisa dipakai untuk berjuang itu adalah kekuatan yang ada di dalam diri kita sendiri. Semua kelebihan yang dimiliki adalah senjata. Ketika semua kelebihan sudah terkuras dan penghargaan dari masyarakat tidak juga diperoleh, maka gunakan kelemahan.
Menggunakan kelemahan menjadi sebuah kelebihan dan kekuatan sebenarnya merupakan sebuah hal yang hebat, yaitu selama hal itu digunakan untuk memberi kebajikan pada orang lain, bukan menyesatkan mereka.. Banyak orang besar di dunia ini yang menggunakan kelemahan mereka menjadi kekuatan yang justru membawa perubahan besar dalam diri mereka dan pada akhirnya membawa mereka menjadi legenda bersejarah. Seperti Bethoven yang sebenarnya adalah seorang yang tuli, bisa menggubah nada-nada indah yang terus dinyanyikan orang sepanjang waktu. Atau Einsteins yang dikabarkan sebenarnya kecilnya dahulu adalah seorang anak yang punya masalah dengan perkembangan psikologinya (autis). Hmm.. mungkin tidak usah jauh-jauh mengingat legenda dunia setenar Bethoven dan Einstein, dari negeri sendiri, ada seorang pemuda yang buta kedua matanya sejak lahir sehingga menggunakan kedua telinganya sebagai pengganti mata. Kini dia menjadi salah satu Qori Tuna Netra Terbaik di MTQ Nasional yang berasal dari Sumatra Selatan.
Yang salah itu adalah jika menggunakan kelemahan dan keterpapaan menjadi kekuatan tersendiri hanya karena malas berusaha dan pekerjaan yang sama sekali tidak memberi manfaat buat orang lain. Itu sebabnya saya mengajarkan anak-anak saya untuk tidak memberi uang pada pengemis, apalagi yang masih muda dan kuat. Mereka jelas orang-orang malas. Dalam sebuah tayangan malam di sebuah stasiun Televisi Swasta, yaitu acara FENOMENA, beberapa malam lalu saya mengikuti sebuah investigasi tentang pekerjaan para pengemis di kota-kota besar di Indonesia. Para ibu-ibu yang mengemis sambil menggendong bayi, yang berpakaian lusuh dan tercabik atau tertambal, yang memiliki wajah penuh penderitaan, ternyata dalam keseharian dalam kehidupan normalnya sangatlah keren. Celana jeans dan kaus ketat menghiasi tubuh mereka. Rumah mereka tidaklah terlalu buruk, bahkan layak. Mereka juga punya usaha sampingan sebagai tabungan menjelang pensiun kelak di kampung halamannya. Ketika ditanya berapa penghasilan mereka dalam sehari, rata-rata para wanita dan anak-anak tersebut mengaku memperoleh Rp 20.000. jika sedang sepi. Pada saat ramai, yaitu ketika bulan Ramadhan, Bulan Haji, Bulan Rajab (dimana banyak yang berduyun-duyun berziarah), pendapatan mereka bisa mencapai ratusan ribu rupiah seharinya. Dari pengakuan mereka, umumnya para penderma akan semakin royal jika mereka menggendong bayi. Itu sebabnya tak segan mereka menyewa bayi dari perusahaan.
“Did I Say Perusahaan??”
Yup. Ternyata, ada organisasi yang mengelola usaha permengemisan tersebut. Ini bukan kelompok Kaipang seperti di cerita dan film silat. Ini asli perusahaan. Mereka merekrut tenaga kerja dari kampung-kampung, mengangkutnya ke kota-kota, memberi modal dan membagi mereka di kantong-kantong wilayah, juga memberlakukan sistem bagi hasil dari pendapatan yang diperoleh.
Ini jelas salah. Menggunakan kelemahan sebagai kekuatan untuk menipu orang lain, memupuk rasa malas berusaha dan yang terutama sekali menanamkan nilai pada generasi mereka bahwa lingkaran kemiskinan itu tidak boleh diputuskan.
Hal terbaru yang juga memanfaatkan kelemahan sebagai kekuatan yang salah adalah dari berita di berbagai media massa di Jakarta dan sekitarnya, tentang merebaknya kasus Kolor Ijo di Ibukota Jakarta baru-baru ini. Awalnya adalah seorang ibu dengan dua orang anak, S, yang bingung menghadapi kedua anaknya yang selalu keluar malam. Akhirnya diciptakanlah kisah kolor Ijo tersebut. Yaitu akan ada makhluk jadi-jadian yang sedang mempelajari ilmu hitam untuk dapat menjadi manusia yang super. Syaratnya, si penimba ilmu hitam ini tidak boleh berbaju, hanya boleh mengenakan celana dalam (kolor = bahasa betawi)berwarna hijau, harus menjilat darah dari kemaluan wanita sebanyak 1000 orang. Kontan cerita seram dan sangat spektakuler ini segera merebak dari mulut ke mulut. Tanpa disadari mulai bermunculanlah beberapa wanita yang mengaku menjadi korban si Kolor Ijo.
Akibatnya positif memang, karena para pria jadi segan meninggalkan para wanita mereka di rumah malam-malam hari. Para wanitapun segan pergi meninggalkan rumah di malam hari. Sistem pertahanan keamanan malam hari jauh meningkat tergalakkan. Seiring dengan itu, mulai bertambah isu tambahan. Bahwa penangkal si Kolor Ijo ini adalah dengan menaruh bambu kuning di depan rumah. Lalu bambu kuning menjadi barang yang laku keras di pasaran. Anjuran yang bernada syirik inilah yang mulai menjadi perhatian banyak orang, termasuk para ulama dan kepolisian. Maka dimulailah investigasi. Hasilnya? Ternyata lima orang wanita yang diinterogasi oleh kepolisian mengaku bahwa mereka Cuma berbohong. Satu wanita berbohong karena kesal suaminya tidak juga giat mencari pekerjaan tapi malah rajin keluar rumah di malam hari sampai pagi. Wanita lain mengaku kesal menghadapi anaknya yang tidak bisa diatur. Wanita lain mengaku ingin mendapatkan perhatian dari suaminya yang acuh byebeh padanya. Yang lain mengaku mencari sensasi agar masyarakat tidak lagi menuduhnya sebagai wanita nakal karena sering melakukan aktifitas di malam hari di luar rumah. Mereka mencakar tangan dan badan mereka sendiri dengan kuku untuk mendramatisir cerita yang mereka karang. Tak segan mereka menyilet kulit tubuhnya dengan silet agar cerita lebih meyakinkan.
Astaghfirullah.
Saya jadi ingat lagu nina bobo ketika kecl dulu.
Nina bobo’…oooooo..nina bobo’… kalau tidak bobo’ … ada kolor ijo…HIIIIIIHHHHH.. Syeleeeeeemmmm…
-------8 Februari 2004
Ade Anita ([email protected])
Ssttt, ada kabar baik nih. Akhirnya beberapa pelaku kolor ijo tertangkap. Hmm. Mereka ternyata melakukan pemerkosaan terhadap wanita dengan tehnik Copycat, terinspirasi kisah kolor ijo dan mengikuti perilaku seperti yang dikisahkan tersebut. Si korban tentu saja tidak berdaya, karena adanya ancaman, “ayo nurut, kalau tidak….”
[ 0 komentar]
|
|