[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Isu Poligami Yang Sering Diteriakkan Orientalis dan Misionaris
Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004

Tanya : Assalamu'alaikum.

Mba Ade, saya mau tanya tentang isu poligami yang sering diteriakkan oleh orang2 KRisten untuk menghina Islam. Dikatakan bagaimana Rasulullah s.a.w. sebagai seorang yang gila wanita. Padahal seperti yang saya baca dibuku, keadaan di Arab waktu itu sangat jahiliyah, bagaimana seorang wanita diperlakukan seperti budak, tak memiliki hak kemanusiaan dan hukum. Mereka dianggap seperti ternak. Dan diperlakukan dengan kejam. Laki-laki dapat memiliki istri sebanyak yang mereka inginkan. Maka adanya pembatasan untuk beristeri 4 itu, justru berfungsi melindungi wanita.

Tapi bagaimana sih sebenarnya hukum poligami itu dalam Islam? Apakah sunnah, wajib, makruh? Karena setahu saya tidak segampang itu orang bisa berpoligami. Tetap dibutuhkan syarat2 tertentu dan juga orang harus bisa adil, benar2 sama rata kepada tiap istrinya. Dan ini hanya Rasul yang bisa. Bahkan saya pernah baca, ketika Ali bin Abu Thalib hendak menikah lagi, Rasul sedih dan tidak menyetujui, dengan mengatakan kalau hendak menikah lagi lebih baik istrinya diceraikan dulu. Jadi seorang sahabat saja tidak dianjurkan untuk berpoligami. Benarkah cerita yang saya baca itu?

Jawab:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Memang betul. Pada masa pra Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan dan syarat. Maka seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya. Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama ketika Daud mempunyai seratus orang istri dan Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang istri serta tiga ratus orang gundik. Dengan demikian, apa yang dimiliki oleh Nabi Muhammad justru pada saat itu terasa sangat menyedihkan.

Ketika Islam datang, dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang masuk Islam sedang dia mempunyai istri lebih dari empat orang, maka Nabi Saw bersabda kepadanya:

“Pilihlah empat orang di antara mereka, dan ceraikanlah yang lain.” . Jadi jumlah istri maksimal empat ornag, tidak boleh lebih dari itu. Dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami ini ialah bersikap adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang istri saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

”… kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja…” (An Nisa: 3)

Inilah aturan yang dibawa oleh Islam.
Adapun Allah Azza wa Jalla mengkhususkan untuk Nabi saw dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan melanjutkan hubungan perkawinan dengan istri-istri yang telah beliau kawini dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tapi memberi ketentuan tidak boleh menukar mereka, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengganti seorang pun dengan orang lain:

”Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula0 menggnati mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki…” (Al Ahzab: 52)

Rahasia semua itu ialah bahwa istri-istri Nabi saw mempunyai kedudukan khusus dan istimewa.

”Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Al Ahzab: 6) .

Adapun semua perkawinan yang dilakukan oleh Nabi itu tidak mempunyai tujuan sebagaimana yang difitnahkan oleh para orientalis dan misionaris. Bukan syahwat dan bukan pula aspek biologis yang mendorong Nabi SAW dalam mengawini setiap mereka. Kalau yang mendorong beliau melakukan perkawinan itu seperti yang dikatakan dan didesas-desuskan oleh para pembohong dari umat Kristiani itu, niscaya kita tidak akan melihat beliau yang masih muda belia, yang penuh vitalitas dan dalam usia yang potensial ini membuka lembaran hidupnya dengan mengawini wanita yang limabelas tahun lebih tua daripada usianya sendiri. Beliau mengawini Khadijah yang sudah berusia empat puluh tahun sedangkan Beliau sendiri baru berusia dua puluh lima tahun, dan sebelumnya istrinya ini sudah dua kali menikah dan punya beberapa orang anak sebelumnya.

Kalau Nabi menikah karena dorongan syahwat dan biologis, tak mungkin beliau menghabiskan usia mudanya yang merupaka usia paling menyenangkan dalam kehidupan bersuami istri untuk hidup bersama dengan wanita tua. Tahun kematian Khadijah saja disebut dengan “Amul Huzni” (Tahun duka Cita). Beliau selalu memuji Khadijah dengan penuh kecintaan sehingga Aisyah ra merasa cemburu kepada Khadijah yang sudah berada di dalam kubur itu.

Setelah beliau berusia luma puluh tiga tahun, yakni setelah Khadijah wafat dan setelah hijrah, baru beliau mengawini istri-istri beliau yang lain, yaitu Saudah binti Zum’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau. Beliau juga
hendak mempererat hubungan antara beliau dengan teman dan sahabatnya, Abu Bakar, beliau mengawini Aisyah ra. Dua perkawinan di awal-awal kehidupan poligami Nabi saw ini, lebih sebagai perencanaan praktis ketimbang sebagai perjodohan cinta. Dengan menikahi Saudah, maka istrinya ini dapa tmemelihara rumah tangga Nabi dan sekaligus memperoleh status, setidaknya di kalangan komunitas Muslim, dengan menjadi istri Nabi. Disamping itu, kedua perkawinan ini memiliki dimensi politis. Muhammad saw tengah membangun hubungan-hubungan penting persaudaraan. Dengan menikahi Saudah maka otomatis dia memiliki hubungan persaudaraan dengan Suhail.

Kemudian karena melihat Abu bakar dan Umar sebagai wazir Rasulullah, beliau ingin agar kedudukan keduanya sama di sisi beliau, maka dikawinilah Hafshah binti Umar, sebagaimana sebelumya beliau telah mengawinkan Ali bin Abi Thalib dengan putri beliau Fathimah dan mengawinkan Utsman bin Affan dengan putri beliau Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Pernikahannya dengan Ummu Salamah, berkenaan dengan keinginan beliau untuk menghilangkan musibah kesedihannya dan menambal keretakan hatinya, serta menggantikan suaminya setelah berhijrah, meninggalkan keluarganya demi Islam.

Pernikahannya dengan Juariyah Al Harits ialah untuk mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka bangga terhadap agama Allah. Diceritakan bahwa para sahabat setelah menawan beberapa ornag pada waktu peperangan Bani Mushthaliq dan Juariyah termasuk salah seorang dari tawanan-tawanan itu, tahu bahwa Nabi saw telah mengawini Juariyah. Lalu para sahabat itu memerdekakan tawanan-tawanan dan para budak mereka, kaena mereka (kaum Bani Mushthaliq) telah bersemenda (mejalin hubungan keluarga) dengan Nabi saw.

Perkawinannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, terjadi setelah Ummu Habibah hijrah ke Babsyi bersama suaminya, tetapi malang setelah sampai di negeri tersebut suaminya murtad. Ummu Habibah sendiri adalah anak perempuan Abi Sufyan, pemuka kaum musyrik yang getol memusuhi umat Islam. Ummu Habibah meninggalkan ayahnya, dan ia mengutamakan hijrah bersama suaminya, berlari meninggalkan ayahnya, dan ia mengutamakan hijrah bersama suamina, berlari meninggalkan agamanya. Kemudian suaminya membelot (murtad) dan Ummu Habibah sendirian dalam keterasingan. Maka apakah yang harus dilakukan oleh Nabi saw? Apakah beliau harus membiarkannya terkatung-katung tanpa terpelihara dan diperhatikan? Tidak, tidak begitu. Belaiu datang untuk menenangkan hatinya dengan mengutus Raja Najasyi untuk mewakili beliau mengawini Ummu Habibah dan membayar maharnya. Disamping itu akan timbul kesan dan dampak yang baik di hati Abu Sufyan, yaitu untuk menghentikan permusuhan dan mengurangi serangannya terhadap Nabi SAW setelah terjadi ikatan kekeluargaan di antara keduanya.

Perkawinan dengan Zainab, mantan istri anak angkatnya guna menunjukkan fakta bahwa hubungan orang tua – anak angkat atau adopsi bukan ikatan darah dan tidak menghalangi perkawinan. Demikian juga halnya perkawinannya dengan istrinya yang lain. Selalu ada hikmah yang melatar-belakanginya.

Jika dinyatakan bahwa Nabi tidak menyetujui sebuah perkawinan poligami dengan memberikan bukti bahwa Beliau saw pernah melarang menantunya Ali bin abi Thalib menikahi wanita lain selain Fathimah, tidak juga dapat dibenarkan. Penolakan Rasululah terhadap rencana pernikahan Ali dengan wanita lain padahal dia sudah beristrikan Fathimah adalah karena Rasulullah tidak senang jika anaknya Fathimah dipadukan dengan anak musuh Islam. Wanita yang ingin dinikahi oleh Ali Bin Abi Thalib memang adalah anak salah seorang musuh Islam pada waktu itu.
Pada anak angkatnya, Zaid yang ketika itu sudah menikah dengan Ummu Aiman, yang lebih tua dari usia Zaid dan punya beberapa anak pula, Rasulullah meminta anak angkatnya ini untuk menikahi wanita lain yang berusia sepadan. Maka Menikahlah Zaid dengan Zainab (kelak, mereka bercerai dan Rasulullah menikahi Zainab). Begitu juga kehidupan perkawinan poligami yang dijalani oleh para sahabat lain.

Yang penting untuk dicatat adalah, Islam memberikan nilai yang lebih pada sebuah perkawinan poligami yang dibangun guna memberikan manfaat dan memuliakan wanita dan anak yatim. Dua kelompok yang memang patut dilindungi dan disantun. Islam juga menekankan prasyarat berlaku adil terhadap para istri.

”Kemudian jika kamu taku tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisa: 3)

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila seorang laki-laki mempunyai dua orang istri, tetapi ia tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah pundaknya miring (rendah).” (HR Tirmidzi). Satu catatan lagi, keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan dalam hal pembagian materi dan pembagian kasih sayang/perhatian. Bukan keadilan dalam membagi perasaan cinta, karena untuk yang satu ini tidak ada seorangpun yang sanggup, termasuk Rasulullah sendiri.

Jika ditanyakan mana yang lebih baik, monogami ataukah poligami dalam pandangan Islam? Keduanya sama baiknya jika dilakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
Sesungguhnya, petunjuk Nabi saw meliputi monogami dan poligami. Maka, Rasulullah saw bermonogami selama hampir dua puluh lima tahun dan berpoligami selama hampir sepuluh tahun.

”Aisyah ra berkata, “Nabi saw tidak memadu Khadijah hingga dia meninggal dunia.” (HR Muslim)

Hal ini disebabkan Khadijah sudah mencukupi beliau dari lainnya dengan kesopanannya dan kecerdasan pikirannya. Dan, Rasulullah saw sering menyebut-nyebut kebaikannya dan memujinya setelah dia meninggal dunia. Dan Rasulullah saw melakukan poligami dengan banyak istri itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi beliau dan bagi wanita-wanita yang mendapatkan nikmat dengan menjadi teman hidup beliau.

Demikian semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

Bahan bacaan:
- Dr. Yusuf Qardhawy, “Fatwa-fatwa Kontemporer” jilid 1. Penerbit: Gema Insani Press.
- Abdul Halim Abu Syuqqah, “Kebebasab Wanita”, jilid 5, Penerbit: Gema Insani Press.
- Karen Armstrong, “Muhammad Sang Nabi”, penerbit: Risalah Gusti.

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved