[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Beda Niat dengan Sumpah
Uneq-Uneq - Thursday, 26 February 2004

Assalamualaikum Wr Wb
Saya pengen tau apa sih beda Niat dengan Sumpah ?Kapankah Niat itu mulai berlaku atau dilaksanakan dan begitu juga dengan Sumpah. Bolekah kita bersumpah? Hanya ini saja mohon penjelasan.Terimakasih.
Wassalam

Jawab:
AssalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Niat
Niat merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah. Niat ini memegang peranan dalam mengarahkan amal, menentukan bentuknya, membatasi jenis dan bobotnya. Di antara pengaruh niat terhadap amal, bahwa satu jenis amal bisa berbeda-beda hukum syariatnya, bobotnya di dunia dan pahalanya di akhirat, tergantung kepada niat pelakunya.

Berikut ini beberapa hakekat niat berdasarkan tinjauan hadits dan pendapat pada fuqaha:
Al Jauhary berkata di dalam Ash-Shahhah, “Niat adalah kemauan yang kuat.” Al-Khaththaby berkata, “Niat adalah tujuan yang terdetik di dalam hatimu dan menuntut darimu.”

Al-Baidhawy berkata,“Niat adalah dorongan hati yang dilihatnya sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mengenyahkan mudharat, dari sisi keadaan maupun harta.” Dia juga berkata, “Syariat mengkhususkan niat ini sebagai kehendak terarah kepada amal, karena mencari keridhaan Allah dan karena mengikuti hukum-Nya.”

Al-Iraqy berkata dalam Syarhut-Taqrib, “Ada perbedaan pendapat tentang hakikat niat. Ada yang berpendapat, niat adalah tuntutan. Ada yang berpendapat, niat adalah kesungguhan dalam menuntut. Ada pula pendapat Ibnu Mas’ud, bahwa siapa yang berniat untuk keduniaan, maka keduniaan itu akan melemahkannya. Maksudnya jika dia sungguh-sungguh dalam menuntut keduniaan.” Az-Zarkasyi berkata, “Hakikat niat adalah pengaitan tujuan pelaksanaannya. Jika hanya sebatas tujuan, maka itu disebut kemauan yang kuat.”

Niat bukan sekedar sesuatu yang melintas di dalam hati lalu hilang seketika itu juga, yang berarti tidak ada keteguhan. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku apa yang terdetik di dalam jiwa mereka, selagi belum dikerjakan atau dikatakan.” (Diriwayatkan As-Sittah). Qardhawy dalam bukunya “Niat dan IKHlas” menggambarkan keadaaan sebagai berikut untuk melukiskan apa itu niat.

“Bertolak dari sini, saya melihat di dalam hadits ini (tersebut di atas, red) bahwa orang miskin yang tidak mempunyai harta bisa mendapatkan pahala orang kaya yang menafkahkan hartanya dan bershadaqah di jalan Allah, karena pengetahuan dan kelurusan niatnya. Untuk ini beliau bersabda, “Keduanya mendapat pahala yang sama.” Sebaliknya, saya melihat orang miskin yang hidup dalam keadaan pas-pasan dan kekurangan bisa mendapatkan dosa orang kaya yang menafkahkan hartanya untuk syahwat dan kedurhakaan kepada Allah, karena kebodohan dan niatnya yang buruk. Saya juga melihat hadits ini menghukumi dua orang Muslim yang terlibat dalam pembunuhan, bahwa keduanya berada di dalam neraka, pembunuh dan yang dibunuh. Sebab keduanya berhasrat untuk membunuh lawannya, selagi tindakan mereka itu diniatkan untuk keuntungan dunia.”

Kapan niat itu mulai berlaku atau dinilai? Sejak niat itu muncul (terbetik) di dalam hati seseorang. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Jika hamba-KU hendak mengerjakan suatu keburukan, maka janganlah kalian (para malaikat) menulisnya sebagai dosa hingga dia mengerjakannya. Jika sudah mengerjakannya, maka tulislah satu dosa yang sama dengannya, dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan baginya. Dan, jika dia hendak mengerjakan satu kebaikan namun belum mengerjakannya, maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika dia sudah mengerjakannya, maka tulislah baginya sepuluh (pahala) kebaikan yang serupa dengannya hingga tujuh ratus kebaikan’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Sumpah
Sumpah menurut syariat Islam ada tiga macam.
Pertama, al yamin al ghamus (sumpah palsu), yaitu seseorang bersumpah dengan dusta dengan menyadari akan kedustaannya. Sumpah ini disebut al yamin al ghamus karena ia menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa di dunia dan akhirat; sebagaimana halnya ia juga disebut al yamin al fajirah (sumpah durhaka) yang membiarkan negeri lengang dan sunyi. Sumpah inilah yang diancam dengan ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harta yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dn tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.”(Ali Imran (3): 77)

Kedua, al yamin al laghwu (susmpah sia-sia), sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu…” (AL Baqarah (2): 225)

Misalnya, seseorang berkata kepada temannya, “Silahkan masuk.” Lalu teman itu menjawab, “Tidak, demi Allah.” Kemudian ia berkata, “Harus, silakan.” Lalu temannya itu masuk setelah mengatakan, “Tidak, demi Allah.” Ini dinamakan al yamin al laghwu (sumpah sia-sia), karena tidak dimaksudkan sumpah seutuhnya.

Begitu pula seseorang yang bersumpah terhadap sesuatu yang dikiranya begitu, tetapi kemudian ternyata berbeda dengan perkiraanya. Seperti mengatakan, “Demi Allah yang Maha Agung, sesungguhnya saya meliaht sesuatu itu dari jauh begini…”. Namun, setelah dekat ternyata keadaannya berbeda dengan yang dikatakannya tadi sehingga tampak jelas kekeliruannya. Ini juga termasuk laghwu yang tidak dihukum oleh Allah.

Ketiga, al yamin al mun’aqidah (sumpah terikat). Dalam surat Maaidah: 89 disebutkan “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yanga tidak dimaksud (untk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja…”. Yang dimaksud “sumpah-sumpah yang kamu sengaja” dalam ayat ini ialah sumpah mengenai sesuatu yang akan datang, untuk berbuat begini atau tidak berbuat begini. Misalnya si Fulan, atau si Fulan agar tidak mengerjakan sesuatu, atau meninggalakn sesuatu. Maka sumpah-sumpah ini adalah sumpah mun’aqidah (terikat) yang wajib dipelihara, lebih-lebih bila berkenaan dengan sesuatu yang baik. Seperti bersumpah tidak akan merokok, ia wajib memenuhi sumpah itu dengan wajib tidak merokok.

Adapun jika ia bersumpah dengan sesuatu yang berisi kejelakan, sepreti bersumpah tidak akan menyambung hubungan kekeluargaan, atau bersumpah tidak akan bersedekah kepada orang miskin, atau tidak akan melakukan shalat dengan berjamaah, maka ia wajib merusakkan sumpah itu (tidak memenuhinya) dan ia wajib membayar kaffarat untuk sumpah tersebut. Allah berfirman (lanjutan ayat di atas)

“..Tetapi Dia (Allah) menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian. Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpah kamu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepada hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) “ (AL Maidah (5): 89).

Bersumpah dengan selain Allah haram hukumnya, dilarang oleh syaraÂ’, karena Nabi saw, melarang orang muslim bersumpah dengan bapaknya.

“Janganlah kamu bersumpah dengan bapak-bapak kamu. Barang siapa yang hendak bersumpah, bersumpahlah dengan Allah atau hendaklah ia tinggalkan (sumpah).” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan syirik.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Hakim dari Ibnu Umar).

Dalam sumpah terkandung makna pengagunan terhadap sesuatu, sedangkan orang mukmin tidak boleh mengagungkan sesuatu selain Allah Azza wa Jalla. Karena itu, tidak boleh seseorang bersumpah dengan KaÂ’bah, tetapi hendaklah bersumpah dengan Tuhan bagi KaÂ’bah. Juga tidak boleh bersumpah dengan nabi, wali, kubur bapaknya (nenek moyangnya), kedudukannya, kehidupan anaknya, tanah airnya. Atau dengan yang lain. Semua ini tidak diperbolehkan, dan seluruh sumpah haruslah dengan (demi) Allah saja. Inilah yang diajarkan Islam mengenai sumpah, semacam pembebasan aqidah dan tauhid (dari kemusyrikan).

Ibnu Mas’ud ra berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah dengan Allah secara dusta lebih saya sukai daripada bersumpah dengan selain Allah walaupun saya bersumpah dengan benar (sungguh-sungguh).” Ibnu Mas’ud berkata demikian karena beliau tahu bahwa kejelekan berbuat syirik meskipun yang dilakukannya itu benar adalah melebihi kejelekan dusta tetapi tetap bertauhid, karena apabila seseorang bersumpah dengan Allah berarti dia mengagungkan-Nya dan mentauhidkan-Nya. Kalau ia berdusta, ia tinggal menanggung dosa. Namun. Bila seseorang bresumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik, sehingga ia harus menanggung dosa syirik yang merupakan dosa sangat besar, meskipun dia mendapat pahala karena kejujurannya itu, yang pahalanya ini amat kecil bila dibandingkan dengan besarnya dosa syirik yang dilakukannya.

Dalam hal ini, tauhid lebih penting daripada kejujuran. Sehingga seorang muslim tidak boleh bersumpah kecuali dengan Allah Azza wa Jalla. Namun, bukan sumpah semacam ini yang dimaksud laghwu.

Adapun laghwu (sumpah sia-sia) mempunyai dua pengertian. Pertama, menyebut nama Allah pada lisannya tanpa bermaksud bersumpah dengan sebenarnya, misalnya seseorang mengatakan, “Demi Allah, engkau dimuliakan di sisi kami… “, “Demi Allah, Anda harus makan ini…” dan seterusnya. Dengan ucapan ini dia tidak beritikad atau tidak mengikatkan dirinya dengan sumpah, melainkan karena sudah terbiasa atau seringnya mengucapkan kata-kata ini saja.

Kedua, seseorang bersumpah mengenai sesuatu yang dikiranya benar, tetapi kenyataanya tidak seperti yang diduganya itu. Seperti ia melihat seseorang dari kejauhan, lalu ia mengatakan, “Demi Allah, ini si Fulan datang.” Kemudian ternyata bahwa orang tesebut bukan orang yang disebutkannya dalam sumpah itu. Atau bersumpah bahwa sesuatu itu begini, ternyata tidak sesuai dengan dugaannya. Dalam hal ini dia sudah mentarjih, berijtihad dan bersumpah bahwa apa yang didaganya betul, tetapi kemudian ternyata tidak sama dengan dugaannya. Maka sumpah seperti ini termasuk laghwu dan tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya dosa itu hanyalah pada al yamin al ghamus (sumpah palsu) atau al yamin al mun’aqidah (sumpah terikat) apabila dilanggar. Wallahua’lam.

Semoga bermanfaat (diambil dari buku: “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, DR. Yusuf Qardhawy, jilid 1, penerbit: Gema Insani Press dan buku “Niat dan IKHlas”, DR Yusuf Al Qardhawy, penerbit: Al-Kautsar).
WassalamuÂ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved