|
Loh Kok Balik Lagi Sih? Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com Seorang teman datang dari luar kota untuk sebuah keperluan. Dia bercerita bahwa kedatangannya kali ini, sebenarnya diwarnai protes dari beberapa orang temannya di daerah sana. Aku pun bertanya apa penyebabnya. Lalu temanku itu berkata bahwa teman-temannya sepakat bahwa menjelang saat kampanye pemilu ini, segala pengeluaran seharusnya dihemat semaksimal mungkin. Sebagai salah seorang anggota partai, meski tidak duduk di jajaran calon legislatif, tapi hanya penggembira saja, ada sebuah himbauan pada seluruh anggota dan simpatisan partai untuk menyemarakkan saat kampanye sebelum ditutup masa tenang hingga PEMILU datang.
Saya berdecak.
Tak menyangka begitu besar antusias teman-teman saya menjelang PEMILU kali ini. Mendengar rencana mereka, melihat semangat mereka, memperhatikan sepak terjang mereka, dan juga sepak terjang berbagai anggota dan simpatisan dari 24 partai peserta PEMILU 2004 kali ini memang kadang mengasyikan. Meski kadang mendatangkan geregetan tersendiri.
“Mbak, ikut kampanye yah?” Temanku si A mengajak. Aku menggeleng.
“Mbak, ikut meramaikan acara partai yah?” Temanku si B memberitahu dan aku menggeleng lagi.
“Mbak, jadi sponsor kampanye yah?” Temanku si C membujuk dan aku kembali menggeleng.
“Mbak, beli atribut partai yah?” Kali ini giliran si D yang menawarkan dan jawabanku sama. Gelengan kepala menolak.
“Mbak tuh sebenarnya partai apa sih? Semuanya ditolak. Semuanya emoh ikutan partisipasi. Mbak Golput yah?” Tidak ada gelengan kepala kali ini, yang ada belalakan mata karena kaget. Loh, kok nuduh sih?
“Aku bukan golput bahkan aku termasuk seseorang yang menolak ajakan golput. Dari awal aku sudah meletakkan diriku untuk jadi seorang yang non partisan. Tidak berpihak pada partai apapun. Netral. Itu makna gelengan kepalaku.” Jadi, kalau ada seseorang yang setengah merajuk bertanya dengan penasaran apa partai yang akan aku pilih, jawabanku sudah pasti…. “Hei, PEMILU kan asasnya LUBER. Langsung Umum Bebas Rahasia. Terserah aku dong mau pilih apa dan terserah aku mau memberitahu kamu atau tidak.”
Hiruk pikuk seputar PEMILU kian ramai dibicarakan di Media Massa menjelang saat kampanye tanggal 11 Maret nanti. Di beberapa trotoar dan emperan toko, mulai berjejer kaki lima yang menjual atribut partai. Di antara gegap gempita berita tentang PEMILU 2004 (yang beda karena bisa milih langsung), ada sebuah berita yang cukup mengernyitkan dahi. Yaitu ajakan untuk GOLPUT dari beberapa kelompok masyarakat. Alasannya beragam. Mulai dari rasa tidak percaya pada komponen yang terlibat dalam PEMILU kali ini; tidak setuju dengan sistem PEMILU yang notabene adalah produk demokrasi; sebuah prasangka bahwa apapun yang dipilih nanti kelak tetap menghasilkan sesuatu yang buruk sehingga milih tidak milih sama saja jadi lebih baik tidak milih (ngos…ngos…ngos…panjang banget anak kalimatnya heheheh); karena prasangka bahwa PEMILU hanya akan melahirkan oknum pemerintahan baru yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat; dan lain-lain dan sebagainya.
Terkadang. Saya ingin bertanya pada mereka, apakah dengan GOLPUT maka mereka yakin bahwa keadaan akan berbalik seperti yagn mereka inginkan?
Mari kita berhitung sejenak untung ruginya ikut PEMILU dan GOLPUT.
1. Lihat prediksi kasar jumlah calon pemilih untuk PEMILU 2004 kali ini. Memang betul mayoritas penduduk Indonesia itu beragama Islam. Tapi, sebenarnya mereka terpecah menjadi dua kelompok (pinjam istilahnya C. geertz) yaitu Santri dan Abangan. Artinya, ada Muslim yang berkeinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari secara keseluruhan dan mereka masuk kategori Santri, sedangkan sisanya adalah Muslim yang belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari (sense of belong-in pada Islamnya masih kurang) dan mereka dimasukkan dalam kategori Abangan.
Dari dua kelompok di atas, kelompok Abangan ternyata lebih banyak daripada kelompok Santri. Itu artinya, meski sekarang ini sudah ada sepuluh lebih Partai Islam (baik yang berlandaskan Islam maupun yang berbasis massa Islam), belum tentu Partai Islam ini akan dipilih oleh mereka yang Abangan. Ada semacam ketakutan yang khas di antara mereka, bahwa jika Partai Islam menang, maka bisa jadi akan banyak aturan baru yang diterapkan; dan itu artinya semakin menyulitkan mereka untuk berbuat sesuka hati mereka (buah karya dari sistem liberalisme/westernisasi itu kan tiap-tiap individu punya kebebasan sepenuhnya untuk berbuat apa saja). Jadi paling banter suara mereka lari ke kelompok Nasionalis atau yang selain Partai Islam. Khusus untuk GOLPUT, sumbangsih terbesar mereka dengan tidak ikut PEMILU adalah secara tidak langsung mereka mendukung suara mayoritas pemilih yang masuk. Siapa suara pemilih yang besar tersebut? Silahkan hitung sendiri dari prediksi kasar yang sudah saya utarakan di bagian ini. CRING.
2. Siapa masih ingat dengan peristiwa penegakkan REFORMASI tahun 1998 lalu? Satu orang… dua orang… tiga orang… mungkin sepuluh. Sisanya? Entahlah. Reformasi itu apa sih?
Pertanyaan itu pernah diajukan pada saya oleh seorang mbok Jamu, supir taksi, penjual sayur, tukang sapu, dll. Tentu bukan dengan mimik wajah yang antusias karena ingin menimba ilmu seperti wajah murid-murid di sekolah atau mahasiswa di kampus ketika dari mulut pengajarnya keluar sebuah istilah asing yang baru. Mimik wajah yang saya rekam yang diberikan oleh mereka yang bertanya apa itu reformasi adalah mimik wajah sinis, kecewa dan lelah. Yah… Dalam benak masyarakat kebanyakan, sebenarnya mereka tidak peduli apakah ini Zaman Reformasi, ataukah Zaman Orde Baru, bahkan mungkin jika disebutkan Zaman Dinosaurus sekalipun. Asalkan harga-harga kebutuhan pokok terjangkau, listrik murah telepon murah, biaya sekolah murah (syukur kalau bisa gratis), rasa aman terjamin, subsidi pemerintah diberikan pada hampir semua sektor publik, angka pengangguran tertekan serendah mungkin (syukur-syukur tidak ada lagi pengangguran).
Perlu penerangan yang sangat hati-hati pada kelompok masyarakat ini, bahwa sebenarnya hidup itu adalah perjuangan. Artinya, memang tidak ada yang gratis. Kalaupun mendapatkan yang gratis tentu ada pengorbanan yang harus diberikan. Dan ini sudah terbukti di Zaman ORDE BARU. Memang subsidi pada banyak sektor publik terjadi tapi pengorbanan yang harus diberikan itu adalah hutang luar negeri kita terus membengkak (hingga ketika permainan spekulasi dollar yang dilakukan SOROS terjadi, berantakanlah perekonomian kita). Pada anak dan cucu kita kelaklah hutang luar negeri yang banyak ini akan kita wariskan!!!
Memang angka pengangguran masih bisa ditekan serendah mungkin dan lapangan pekerjaan tercipta dimana-mana, tapi dengan pengorbanan tidak adanya penghargaan pada banyak disiplin ilmu yang dikembangkan dan tidak adanya penghargaan pada kualitas lulusan sekolah. Lulus tehnik, jadi teller bank; lulus psikologi, jadi teller bank juga; dan lulus ilmu pemerintahan, eh jadi teller bank juga. Atau kadang miris juga jika melihat mereka yang dahulu selalu menduduki posisi rangking pertama di sekolahnya, dan perolehan nilai yang tinggi di bangku kuliah, ketika bekerja ternyata menjadi bawahan mereka yang di sekolahpun kerjanya tidur terus, daftar kehadirannya juga bolong-bolong (tapi bapaknya bintang empat cing). Akibatnya, satu posisi diperebutkan oleh banyak orang dan kalau sudah begitu, yang berbicara adalah uang. Siapa yang mampu bayar tinggi, dijamin bisa hidup senang. Kelak, mereka yang sudah merasa susah payah membayar tinggi untuk sebuah posisi maka hal pertama setelah mereka memperoleh posisi tersebut adalah berusaha agar bisa “balik modal” dulu. Kelak, jikapun posisi itu harus berakhir mulai diusahakan agar posisi itu tidak jatuh ke tangan orang lain yang tidak dikenal, maka dihubungilah mereka yang saudara atau kerabat atau teman agar menggantikan posisi itu, tentu dengan mengikut-sertakan uang warisannya. Itulah cikal bakal berkembang biaknya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Hati nurani kian tumpul dan akal sehat tersingkirkan. Siapa peduli jika negara ini sudah tergadai sekalipun selama anak dan istri bisa makan enak di rumah.
Sekarang ini, jika saja kita mau mengamati dengan “sebuah kaca pembesar”, orang-orang yang bermentalkan KKN itu masih tertebar dimana-mana. Jumlah mereka bisa jadi sedikit, tapi kekuasaan yang mereka pegang sudah sangat menggurita dan tentu saja berlimpah dengan materi, hingga kekuasaan itu bisa dimanfaatkan untuk “membeli suara mereka yang butuh materi”. Ada berapa mereka yang suaranya bisa dibeli itu? Ada berapa mereka yang berprinsip ”ah, dosa nggak benjol ini, nanti ajah tobatnya kalau dah tua”? Ada berapa mereka yang tidak peduli dengan perubahan yang telah terjadi pokoknya selama perubahan itu tidak menguntungkan mereka, maka mereka tidak ingin perubahan? Semuanya ini, sebenarnya masuk masyarakat kategori Pro-Status Quo. Artinya, bisa jadi mereka kelak emoh memilih Partai Peserta Pemilu yang Pro-Reformasi dan bisa jadi makin emoh untuk melirik Partai Islam karena khawatir situasi serba tidak enak yang “muncul” bersamaan dengan era reformasi kian meraja lela dan akhirnya mereka jadi masyarakat kebanyakan. Pada tangan merekalah kesempatan akan diberikan seluas-luasnya jika banyak orang ramai-ramai memilih untuk GOLPUT.
Ups… hitungan harus selesai sudah.
Tak habis waktu semalam suntuk memaparkan untung dan rugi. Sementara Mbak Tutut yang dicalonkan menjadi Calon Presiden dari Partai Karya Peduli Bangsa (satu-satunya partai yang berani mengatakan bahwa mereka adalah partai untuk menegakkan kembali orde baru tapi dengan versi yang sudah dibersihkan katanya dan mencap mereka yang tidak Pro Orde Baru sebagai orang yang tidak Pancasilais), kian asyik masyguk bermanuver dan beranjang sana kesana kemari mencari simpati masyarakat luas. Sudah baca belum pernyataan Mbak Tutut yang terbaru di media massa, yang meminta kejaksaan agung meninjau ulang kasus mantan Presiden Suharto. Dia ingin ada keringanan dalam penanganan kasus mantan Presiden Suharto karena Pak Harto sudah dinyatakan sakit jadi selamanya tidak bisa mengikuti sidang pengadilan atas dirinya? Hmm.. kalau belum baca, baca deh, ada kok di banyak media pekan ini.
Atau Akbar Tanjung yang sekarang mulai bersafari ke beberapa daerah yang diprediksikan GOLKAR akan menang disana. Dengan penuh percaya diri (karena tidak lagi berstatus terdakwa) dia berkata kesiapannya untuk mendampingi BU Mega menjadi Wakil Presiden .
Kalau sudah baca itu semua, saya punya cerita lain lagi nih. Nggak ada hubungannya sih ama tulisan panjang lebar saya di atas. Nggak papah kan?
Suatu hari, di sebuah kolam renang ukuran olimpiade. Berlangsung kejuaraan renang tingkat nasional yang diikuti oleh berbagai kalangan. Semua orang bersiap dan mengambil ancang-ancang.
Tiga.
Dua.
Satu. PRITTTTTTTTT…. JEBUR!!!…. Semua peserta terjun ke dalam kolam renang dan mulai adu cepat. Semuanya mengerahkan tenaga yang mereka miliki dan kemampuan yang dikuraspun sudah sangat maksimal. Beberapa meter lagi mencapai garis FINISH, seorang peserta yang diprediksikan menang karena mampu berenang paling depan, tiba-tiba berbalik ke belakang dan berenang secepat mungkin menuju garis START.
Seluruh penonton gempar.
Seluruh dewan juri melongo.
Bahkan kamera televisi yang meliputpun langsung memfokuskan besutan kameranya ke arah si peserta yang berenang balik ke belakang itu. Ada apa gerangan? Ada masalah apa? Tak ada yang bisa menduga dan semua orang penasaran bertanya-tanya.
Segera setelah sampai di titik START, pelatih renang mendatangi si peserta renang itu dengan tergopoh-gopoh.
“Hei… ada apa? Mengapa kamu berbalik arah padahal sedikit lagi kamu akan memenangkan pertandingan renang ini?” Pelatih renang bertanya. Dengan wajah kelelahan, napas tersengal-sengal dan tenaga yang sudah terkuras habis, si peserta renang itu menjawab.
“Maaf pak. Saya rasanya tidak kuat jika harus berenang sampai ke garis FINISH. Tenaga saya tidak cukup dan rasanya saya pasti kalah. Daripada percuma lebih baik saya kembali ke garis START, dan tidak jadi ikut kejuaraan ini.” Pelatih bengong.
------------ jakarta, 9 Maret 2004
Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|