[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Tanah Airku
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Sawah hijau terlihat terbentang luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan hijau yang menyejukkan mata memandangnya. Bagaikan karpet alam yang terpentang dengan indahnya. Beberapa undakan sawah menyerupai undakan tanah yang berkarpet. Disitulah Kaki Ibu Pertiwi melangkah turun dengan sangat anggunnya. Diiringi dengan kicau burung yang bercericit riang gembira dan merdu. Ditingkahi gelak tawa anak-anak yang asyik berlompatan ke dalam danau dari atas tebing yang curam di atas danau tersebut. Atau senda gurau anak gembala yang ngobrol dengan beberapa orang temannya di atas punggung kerbau yang dihelanya. Suara seruling terdengar merdu mengalun. Mengantarkan kantuk para petani yang kelelahan setelah seharian terpanggang panas matahari sewaktu menanam bibit padi di tengah sawah.

Selang kemudian. Pemandangan berganti. Kali ini tampak gedung-gedung pencakar langit tampak berbaris dengan angkuhnya. Menantang langit biru. Sementara deretan kendaraan di bawah gedung yang menjulang tinggi itu tampak seperti iringan semut yang sedang berbaris mengusung makanan di atas kepalanya. Jalan raya melingkar-lingkar bagai ranting baru yang terus menjalar. Melebar dan memanjang tiada henti.

Seraut wajah tua tampak tersenyum. Sebagian besar giginya tampak sudah mulai tanggal. Rambutnya hampir memutih semuanya. Kerutan sudah rata di seluruh wajahnya. Kebayanya lusuh dan sebuah kancing tampak sudah diganti dengan sebuah peniti yang kuning karatan. Tapi ketulusan dari wajahnya tetap terpancar dengan indahnya. Sejenak kemudian ganti wajah penuh ketenangan dari sosok yang berdasi dan berpakaian rapi terpampang. Wajah optimis bahwa hari ini dia akan memperoleh keberhasilan.

Itulah selang-seling tayangan yang terpampang di layar televisi pada iklan Tahun Investasi, 2004 yang disponsori oleh sebuah lembaga penanaman modal nasional. Tanpa terasa saya ikut larut dalam haru melihat iklan tersebut. Terlebih dengan iringan lagu Tanah Airku yang memang sejak dahulu saya gemari.

Tanah Air… ku … tidak kulupakan.
Kan Kukenang selama hidupku.
Biar pun saya … pergi jauh.
Tidak kan hilang dari kalbu.
Tanahku… tak kulupakan… Engkau Kubanggakan.


Lalu muncul gambar deretan rumah-rumah kumuh di sepanjang bahu sungai yang kotor. Beberapa orang tampak melakukan aktifitas cuci dan mandi di sana. Berselang seling dengan gambar hiruk pikuk suasana mall-mall dan bangunan plasa yang semarak di kota-kota besar. Untuk kemudian bergantian pemandangan dengan pemandangan deretan rumah mungil yang berdiri di tengah hamparan ladang. Atau Rumah mungil yang ada di pinggir jalan desa yang tenang dan sederhana.

Seraut wajah pedagang tampak tersenyum malu-malu ketika gerobak dorongnya disorot. Beberapa anak kecil tampak berlari-lari senang mengejar si pemilik gerobak dorong guna membeli dagangan. Seorang ibu tampak menidurkan anaknya dengan kain gendongan yang digantung di palang pintu. Sementara kendaraan mewah tampak mengganti pemandangan itu dengan cepat.

Seorang muadzin tampak sedang menggemakan azan di masjid. Lalu lalu lalang lelaki berkain sarung kotak-kotak dan para wanita yang menyampirkan mukenanya ke pundak terlihat. Menara masjid tampak indah di ufuk senja yang jingga. Aliran air yang mengalir dari sungai tampak hadir menyelingi tayangan berikutnya.

Ah.
Dahulu. Saya pernah sangat merindukan suasana keakraban antara pedagang keliling dan masyarakat. DI Sydney, tidak ada teriakan pedagang dari rumah ke rumah di sepanjang jalan. Kemapanan yang terjadi sebagai akibat dari efek negara yang sudah maju, sudah tidak menyisakan lagi ruangan untuk para pedagang berjualan dengan bebas keluar masuk kampung. Keteraturan yang tercipta menyebabkan kita harus ekstra mengeluarkan tenaga untuk mendapatkan sesuatu yang sangat sederhana sekalipun. Justru karena sangat sederhana itu maka sesuatu itu menjadi barang langka. Negara maju memang sudah mengkarduskan kesederhanaan dan menghadirkan kecanggihan yang sayangnya memerlukan ekstra tenaga dan kepandaian untuk menikmatinya.

Meski begitu, di India yang suasananya serba kumuh-pun, rasa syukur terpanjatkan dengan sangat nyaringnya. Di banding dengan Indonesia, kita harus bersyukur bahwa ketika berjalan-jalan menunggu kendaraan umum lewat di tengah terik matahari yang panas, tidak ada Hewan Sapi yang sedang berjemur di tengah jalan. Meski rumah sederhana yang kita tempati dibanding tetangga sebelah tidak ada apa-apanya, tapi kita terhindari dari keharusan harus tinggal di rumah bedeng yang dinding, atap dan pintunya seluruhnya terbuat dari plastik terpal seperti halnya perumahan kumuh di India sana.

Sungguh beruntung kita tinggal di Indonesia, yang bisa jadi (semoga) tidak berpikir untuk menerapkan sekularisasi seperti halnya yang telah terjadi di Turki dan Perancis sana. Dengan ringan kita bisa melangkah ke masjid-masjid. Tak usah malu mengenakan mukena dan sarung dari rumah meski letak masjid lumayan jauh dengan berjalan kaki. Tak akan kita dapati pandangan sinis dan pandangan kebencian yang dalam dari mereka yang berpikiran rasis seperti yang ada di luar negeri sana. Meski kemapanan yang ditawarkan oleh negara-negara maju sangatlah menggiurkan.

Selalu ada kerinduan yang merayap perlahan tapi cepat atau lambat akan memenuhi seluruh rongga dada ketika diri ini terpisah jauh dari orang-orang yang tercinta, dari lingkungan yang kita sukai dan dari sosok-sosok yang dekat dengan hati dan keseharian. Tak berguna tawaran kenikmatan dan kesenangan yang diberikan oleh banyak tempat jika kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang telah dirindukan ini terbuka. Apakah ada kemanisan yang lebih manis dari terpenuhinya rasa rindu dengan bertemu dengan si pemicu kerinduan?

Saya suka iklan Tahun Investasi ini dan itu mungkin disebabkan saya sejak SD dahulu memang suka dengan lagu yang mengiringi iklan tersebut; dan itu membuat saya kian terbuai rasa haru.

Walaupun banyak negeri kudatangi….
Yang masyur ramai dikata orang.
Tetapi kampung…
Dan rumahku.. disanalah ku… rasa senang…
Tanahku yang kucintai…. Engkau kuhargai….


Jika melihat selang seling gambar antara kekumuhan dan kemapanan; keberhasilan dan keterpurukan; keteraturan dan kesemrawutan; kecanggihan dan kesederhanaan; rasa percaya diri yang terpancar dari wajah optimis dan wajah tulus ikhlas dari mereka yang sederhana; yang kaya dan yang miskin; yang bersih dan yang kotor… . satu hal yang tampaknya hadir dan itu membuat getaran tersendiri di dalam hati yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

“Ah.. kita belum melakukan apapun untuk orang lain, apalagi bagi ummat. Apa yang sudah kita terima dan apa yang sudah kita berikan?” Padahal waktu terus bergerak maju dan tanpa terasa kematian telah menghadang di depan mata. Entah apa yang harus kita jawab jika sebuah pertanyaan diajukan,
“Dari usia yang telah diberikan, untuk apa saja kamu isi hidupmu dengan umur yang Kami berikan padamu?”

---- Jakarta, 9 Maret 2004
Ade Anita ([email protected])

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved