[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Cerpen: Senja Makin Temaram
Jurnal Muslimah - Thursday, 26 February 2004

Oleh : Ade Anita

Rabu, 17 Agustus 1999
Siang itu Satrio tampak berjuang di atas batang pinang untuk mengambil hadiah-hadiah yang bergantungan ditimpali suara teriakan riuh rendah para penonton lomba panjat pinang. Tanpa kenal lelah dan sedikit nekad, Satrio telah memanfaatkan tubuh teman-temannya yang sedang berebut mempertahankan tempat hingga oli yang dilumuri di batang pinang hanya sedikit yang menyentuh tubuhnya dan kini sambil mengaitkan kedua kakinya di jari-jari roda pedati yang berada di ujung batang pinang, Satrio berakrobat memetik atau mencabut hadiah-hadiah kecil yang bergantungan dan menjatuhkannya ke bawah. Arimbi dan Astuti adiknya berlari-lari sambil berteriak kegirangan memunguti hadiah-hadiah yang dijatuhkan oleh kakaknya. Ada pinsil satu lusin, kotak pinsil, kotak biskuit, coklat, baju, ikat pinggang, kaus kaki, boneka, mobil-mobilan. Benda-benda yang kecil mereka selipkan di dalam baju, dijejal jadi satu sementara yang besar berusaha mereka peluk. Orang-orang yang menonton pertunjukan itupun tak kalah ramainya, ikut berteriak memberi semangat dan semua terbawa arus kegembiraan. Termasuk Ibunda Satrio yang tampak cerah siang itu karena terbawa kegembiraan massa. Satrio melambaikan tangannya.

“Waduh Bu, Satrio benar-benar sedang panen yah ?”
Seorang lelaki menepuk pundak Arini yang hanya memberi anggukan cepat dan kembali berteriak riang. Benar-benar larut dalam kegembiraan bersama ketika ada seorang anak lelaki kecil yang menarik-narik baju Arini sambil berteriak memanggil dirinya berkali-kali.

“Ada apa Mus ?”
Arini membungkukkan tubuhnya agar lebih dekat dengan anak tersebut. Masyarakat di sekitarnya terlalu ramai hingga suara anak kecil itu tak terdengar dengan jelas. Musa, nama anak itu, memberitahukannya agar segera pulang karena ada dua orang polisi di rumahnya.

“Hah ?!?
Polisi ?”
Arini berdiri tegak, bimbang sejenak dan memandang Satrio yang masih berkutat di atas pinang. Dipandangnya lagi Musa.

“Kamu tahu ada masalah apa ?”
“Emoh, katanya tentang pak Wahyu..”
Detik itu juga Arini memutuskan untuk segera pulang tanpa harus menunggu Satrio usai. Langkahnya bergegas keluar dari kerumunan. Tidak dipedulikannya orang-orang yang menegurnya.

Di rumahnya yang sempit di dalam gang, kedua polisi yang dimaksud tampak sedang berdiri tegak dengan kaku di depan pintu sambil mengobrol dengan dua orang tetangganya, Bu Yoyoh dan Bu Endar. Kedua orang tetangganya itu langsung menyambut Arini dengan santun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah yang pintunya segera dibuka Arini untuk mempersilakan tamunya masuk. Setelah disapa barulah kedua polisi itu menerangkan maksud kedatangan mereka dengan sopan dan hati-hati. Semenit berikutnya Arini tidak dapat berkata apa-apa mendengar penuturan kedua polisi tersebut. Tangannya spontan menutup mulutnya. Hatinya benar-benar tercekat dan sesuatu yang besar terasa menghantam dadanya hingga membuatnya sulit bernafas untuk beberapa saat karena merasa sesak. Wahyu, suaminya, telah mati tertusuk belati !

“Bagaimana kejadiannya pak ?”
Dengan susah payah keluar juga pertanyaan itu. Kedua orang tetangganya segera mengusap-usap punggungnya agar dia tenang.

“Dia berkelahi dengan temannya, Arifin, yang kesal karena merasa saudara Wahyu telah merebut langganannya. Sekarang tersangka Arifin dinyatakan buron.” Arini tegang mendengarnya.
Bu Endar beranjak ke dapur dan tak lama muncul membawa segelas air putih yang diberikannya pada Arini. Dengan tangan gemetar Arini menerima gelas tersebut dan meminumnya. Kerongkongannya benar-benar terasa sangat kering. Dari kejauhan terdengar riuh rendah suara tawa terdengar. Suara Satrio, Arimbi dan Astuti. Wajah mereka ceria meski oli tampak tercoreng-moreng di sekujur wajah dan tubuh mereka. Arimbi dan Astuti sibuk dengan memegang puluhan hadiah sedangkan Satrio tampak menuntun sebuah sepeda. Rupanya dia telah memenangkan hadiah utama panjat pinang.

“Bu …”
Tawa di wajah Satrio segera menghilang demi melihat ibunya yang pucat masai dan dua orang polisi serta tetangga-tetangganya yang berwajah tegang.

***

Minggu, 7 Juli 1981
Arini tersenyum bahagia ketika Titi sahabatnya datang memberi ucapan selamat kepadanya. Sambil mencium pipinya Titi tidak lupa menggodanya.

“Jadi juga nih Rin akhirnya.”
Arini mendaratkan sebuah cubitan kecil ke pinggang Titi sambil tersenyum dan mengedipkan matanya. Titi tertawa kecil begitu juga Arini. Kemudian Arini melirik Wahyu, lelaki yang sangat dicintainya yang kini tampak sangat gagah dengan pakaian pengantin sunda. Titi benar. Akhirnya, setelah melewati lika-liku yang panjang, dia bisa menikahi Wahyu juga pada akhirnya. Dua tahun yang lalu. Kedua orang tuanya menentangnya untuk berhubungan dengan Wahyu, demikian juga keempat orang kakaknya. Tapi mereka memang sudah tidak dapat lagi dipisahkan. Meski dilarang, secara diam-diam Arini tetap nekad bertemu dengan Wahyu. Akibatnya dia harus dikeluarkan dari sekolahnya karena tidak pernah masuk sekolah akibat lebih mementingkan bertemu dengan Wahyu secara diam-diam. Rasanya di dunia ini tidak ada yang lebih indah disamping hidup bersama Wahyu. Itulah sebabnya diapun dengan senang hati menyerahkan dirinya pada Wahyu secara total, hingga terlambat haid satu bulan yang lalu dan akhirnya dinikahkan hari ini.

Memang bukan pesta pernikahan besar-besaran seperti yang dialami kakak-kakaknya. Tapi yang inipun cukup meriah. Karena orang tua Wahyupun lumayan cukup berada. Arini cukup puas meski tak satupun dari keluarganya hadir di pesta itu. Tidak ayah, tidak ibu tidak juga seluruh kakak-kakaknya. Bagi Arini, dia benar-benar tidak dapat hidup tanpa Wahyu hingga kehadiran yang lain menjadi tidak lagi berarti.

Dipandangnya sekali lagi wajah Wahyu, yang tampak sedang tersenyum memandang para undangan, dengan perasaan penuh cinta. Wahyu yang merasa sedang ditatap menolehkan wajahnya dan balas menatap Arini dengan pandangan menggoda. Bibir Wahyu tersenyum dan menggenggam mesra jemari Arini. Meremasnya, hangat sekali. AhÂ….Jantung Arini berdegup kian kencang karena rasa bahagia yang teramat sangat.

***

Selasa, 11 Nofember 1984
BRARRR !!!!
Satrio seketika menangis kencang ketika suara halilintar terdengar menggelegar. Arini segera meninggalkan tumpukan pakaian yang sedang disetrikanya. Dia memang hanya berdua malam ini, seperti halnya malam-malam yang lalu. Dengan hati-hati diangkatnya bayi mungil yang wajahnya telah merah padam karena menangis terlalu kuat. Ditimang-timangnya anak itu dengan lembut sambil mendendangkan sebuah lagu pengantar tidur. Arini berhenti menyanyi ketika tidak lama kemudian Satrio, bayinya tampak telah tertidur tenang kembali. Bayi mungil itu tampak meringkuk dalam pelukannya. Kali ini Arini tidak segera memindahkan bayinya ke dalam boks, tapi membawanya serta duduk menonton televisi. Laporan dunia dalam berita hampir usai tapi hujan yang disertai oleh kilat yang sambar-menyambar belum juga usai sejak satu jam lalu. Menonton televisipun menjadi hal yang tidak nikmat dilakukan saat ini karena suara guruh telah mengalahkan segalanya.

Arini memandang bayinya dengan penuh kasih. Wajah mungil Satrio sangat mirip dengan wajahnya. Arini mendaratkan ciumannya ke pipi Satrio. Anak yang telah dinantikannya hampir tiga tahun lebih. Bayi pertamanya, yang dikandungnya satu bulan sebelum dia melangsungkan pernikahan dulu gugur pada usia empat bulan. Yaitu ketika dia sibuk mondar-mandir mengurus segala sesuatunya karena kedua orang tua Wahyu meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Wahyu yang merupakan anak tunggal tampak begitu terpukul hingga tidak dapat melakukan apapun selain meratap.

Kembali Arini mencium pipi Satrio yang montok kemerahan. Satrio hanya mengeliat manja dan kembali tertidur. Ketika Satrio lahir tiga bulan yang lalu, Arini sangat mengharapkan sekali kehadiran Satrio akan merubah sikap Wahyu yang kasar dan hobinya yang suka minum minuman keras. Wahyu anak manja dalam keluarganya dahulu yang kini sudah tidak memiliki apa-apa lagi selain sebuah rumah peninggalan kedua orang tuanya yang telah tiada. Wahyu memang tidak pernah berniat mencari pekerjaan tetap karena merasa tidak bakat kerja kantoran dan memang sulit mencari pekerjaan hanya dengan mengandalkan ijazah SMA yang bernilai pas-pasan tanpa keahlian apa-apa. Dulu sewaktu orang tuanya masih ada, Wahyu memang merasa tidak perlu mencapai pendidikan tinggi-tinggi karena dia akan diwarisi tiga petak rumah kontrakan dan sebagainya karena dia anak tunggal. Tapi hobbinya berhura-hura dengan teman-temannya yang tidak bisa hilang setelah orang tuanya tiada, menyebabkan ketiga rumah tersebut harus terjual satu-persatu. Kesulitan keuangan yang datang perlahan-lahan pada keluarga mereka menimbulkan sikap frustasi yang berujud kasar dan pemarah dalam diri Wahyu. Beberapa kali frustasi karena gagal memperoleh klien dalam pekerjaannya sebagai calo serabutan menyebabkan Wahyu minum minuman keras.

Dentang jam dinding berbunyi sepuluh kali secara tiba-tiba hingga membuyarkan pikiran Arini. Pintu masuk depan terdengar digedor orang dari luar. Arini segera memindahkan Satrio ke dalam boksnya dan mengapit tubuh kecilnya dengan dua buah guling, berharap Satrio tetap merasa sedang dipeluknya.

Wahyu tampak basah kuyup oleh hujan dan berdiri terhuyung-huyung dengan mata merah. Arini segera menangkap tubuh suaminya dan secara paksa menyeretnya ke dalam kamar setelah tidak lupa mengunci pintu masuk. Tidak dihiraukannya suara Wahyu yang berceracau macam-macam atau tangan Wahyu yang dengan kasar mencoba meraba-raba seluruh tubuhnya. Dengan sigap dia mengganti baju Wahyu. Ketika sedang memakaikan baju kering dan bersih, Wahyu memeluknya dan mengajaknya bercinta. Bau alkohol menyembur dari mulutnya membuat rasa mual di perut Arini.

“Jangan mas….Kamu sedang mabuk,….Sudah istirahat dulu, nanti aku masakkan air panas untukmu mandi.” Arini menolak dan mencoba berkelit, tapi Wahyu terus memaksa dan Arini tetap bertahan untuk menolak karena Wahyu memang sedang mabuk berat hingga akhirnya

PRAAKK !!!
Sebuah tamparan menimpa wajah Arini. Arini tercekat kaget dan memandang Wahyu dengan pandangan protes tidak terima. Dielusnya pipinya yang terasa sangat panas, perih dan berdenyut. Wahyu tidak peduli akan protes Arini dan tersenyum sinis menatap Arini. Dihampirinya Arini dengan langkah gontai laluÂ…
BUUKKK !!!
Sebuah tinju mendarat di rahang Arini. Arini terhuyung mundur ke belakang. Kepalanya membentur dinding rumah. Rahangnya terasa rontok dan seketika ratusan kunang-kunang datang menghampiri kepalanya. Tubuhnya gamang, kakinya gemetar. Tapi dia terus mencoba untuk bangkit berdiri. Kepalanya terasa sangat berat hingga lehernyapun terasa tak dapat lagi menyangganya. Wahyu mendekat dengan sempoyongan. Lengannya yang besar mengangkat kedua lengan Arini dan menggantungkan tubuh Arini di dinding.

“Kenapa ?
Apa karena aku sudah tidak gagah lagi seperti dulu ?
Hah ?
Iya ?
Kamu lihat sendiri kan aku masih sangat perkasa…Meski mabuk aku tetap masih mampu…...Ha…ha…ha….” Wajah Wahyu tampak liar menakutkan dengan tatapam nyalang dan bola matanya yang berwarna merah. Deretan gigi Wahyu yang tampak besar-besar dan berwarna kuning kusam membuatnya tampak seram dan siap menerkam. Tubuh Arini yang mungil tampak tak berdaya, menggelepar di udara. Arini menggigil ketakutan dalam genggaman Wahyu.

“Dulu siapa yang mati-matian ingin menikah hah ??
Siapa ??”
Wahyu tertawa dengan pongah. Bau alkohol dan anggur yang terus keluar dari mulutnya yang tertawa lebar semakin memperlihatkan barisan gigi yang besar-besar, benar-benar terasa sudah memenuhi seluruh sudut di kamar tidur mereka. Dada Arini sesak oleh rasa takut, marah, tidak berdaya dan kecewa hingga dia tidak tahu harus ngomong apa. Tiba-tiba tangan kekar Wahyu melepaskan tubuhnya hingga dia melorot ke lantai. Belum lagi dia berhasil mengambil napas rambutnya terasa ditarik ke depan hingga tubuhnya terseret ke tempat tidur. Wahyu benar-benar ingin melampiaskan keinginan biologisnya saat itu juga. Arini berontak menolak meski sudah tanpa tenaga lagi dan Wahyu tetap memaksa hingga keinginannya terpenuhi. Lalu tertidur mendengkur membelakangi Arini yang masih tersedu menangis tanpa daya.

Dengan sekuat tenaga Arini berusaha bangkit. Dibenahinya pakaian yang telah tersobek-sobek karena terenggut secara paksa. Bibirnya berdesis menahan sakit ketika dia berusaha duduk. Ada sebuah lebam besar di tengah pahanya dan carut-marut lebam lain di seluruh bagian tubuhnya yang lain. Tetesan darah dari hidung dan sudut bibirnya menjadi tidak berarti lagi sakitnya. Setiap inci dari tubuhnya kini sudah terasa sakit seperti terbanting dari tempat yang tinggi. Terasa tercabik-cabik seperti juga hatinya, yang kini terasa hancur berkeping-keping. Sakitnya terasa menyesakkan dada, terhunus dan tertoreh sangat dalam oleh pria yang dulu sangat dicintainya. Wahyu.

***

Sabtu, 11 Oktober 1998
Arimbi berjalan terseret-seret mengikuti langkah ibunya yang melangkah lebar-lebar. Sebenarnya dia sudah sangat lelah tapi dia tidak dapat mengajukan protes karena dilihatnya ibunya benar-benar sedang marah besar. Diliriknya Astuti yang tampak terombang-ambing di gendongan Arini. Wajah Astuti tampak ingin menangis tetapi ditahan karena Arini telah membentaknya secara keras tadi. Baik Astuti maupun Arimbi sepakat untuk tidak mengeluarkan suara.

Sesampainya di rumah, Arini segera melempar tangan Arimbi hingga Arimbi terhuyung-huyung maju beberapa langkah. Astutipun didudukkan secara paksa di dipan. Arini memelototi kedua anaknya dengan pandangan marah.

“Siapa yang menyuruh kalian ngamen di persimpangan jalan ??
Siapa ?!?”
Tidak ada suara. Arimbi hanya menunduk sambil menggaruk-garuk meja dengan kantong permennya yang telah terisi sepertiga. Arini menggebrak meja dengan keras hingga Arimbi terloncat karena kaget. Astutipun spontan menangis ketakutan. Dengan kalap, Arini menatap Astuti dan menunjuk wajah anaknya itu dengan telunjuk.

“Diam kamu. Tidak ada yang meyuruh kamu menangis. Diam !!!”
Astuti masih menangis. Arini memandang Astuti histeris. Suara tangis Astuti terdengar seperti memenuhi kepalanya hingga nyaris membuatnya gila. Diraihnya tutup gelas dan dilemparkannya ke arah Astuti sambil berteriak histeris.

“Diam !!!!!!! “
Suara Arini terasa menggetarkan seluruh perabot rumah yang memang tidak banyak di dalam rumahnya yang sempit dan sangat sederhana. Astuti langsung terdiam. Bibirnya melengkung ke bawah untuk menunjukkan bahwa meskipun dia diam bukan berarti dia menerima perlakuan Arini terhadapnya. Arini tidak peduli. Dia ganti menunjuk Arimbi dengan geram.

“Hei ! Kamu jawab pertanyaan ibu, siapa ?!?”
Arimbi terdiam. Dia menggigil ketakutan karena baru kali ini dia melihat ibunya begitu marah. Akhirnya dari mulut kecilnya terlontar sebuah kata lirih,

“Bapak.” Arini spontan tercekat.
Tubuhnya terdorong ke belakang oleh rasa kaget. Bukan jawaban itu yang diharapkannya Belum sempat dia memberi komentar, Arimbi sudah melanjutkan kata-katanya masih dengan suara lirih.

“Kata bapak, uangnya bisa dibelikan rokok untuk bapak kalau bapak lagi tidak punya uang. Kata bapak, orang-orang pasti akan memberi uang kalau dik Tuti juga ikut menyanyi karena dik Tuti masih kecil jadi orang pada gemas. Kata bapak, kalau mau ngamen jangan pakai baju bagus dan tidak usah rapi-rapi karena nanti dikira cuma bikin pertunjukan amal. Kata bapak…” Arini segera menutup telinganya rapat-rapat dan berlari ke kamar tidurnya. Arimbi terdiam tidak melanjutkan kalimatnya. Dipandangnya kepergian ibunya dengan bingung. Kemudian dia beranjak menggendong Astuti yang segera melanjutkan tangisnya yang tertunda dengan suara tertahan. Dari dalam kamar tidur yang hanya dipisahkan selembar kain lusuh terdengar suara isak tertahan Arini.

Hanya ada tiga buah ruangan dalam rumah Arini. Ruang depan, kamar tidur, dapur serta kamar mandi. Rumah itu telah dikontrak Arini tiga tahun yang lalu, ketika Astuti baru lahir. Rumah peninggalan orang tua Wahyu telah terjual sepuluh tahun sebelumnya, yaitu ketika Wahyu diajukan ke pengadilan karena dituduh menipu seorang kliennya. Waktu itu, Wahyu dipercaya menjadi seorang debt kolektor untuk tagihan-tagihan bank. Hanya saja, seorang teman akrabnya telah meminjam uang yang berhasil dikumpulkannya itu untuk sementara waktu. Tapi tidak ada yang menyangka bahwa uang itu dibawa lari. Untuk mengganti uang tersebut terpaksa rumah peninggalan orang tua Wahyu satu-satunya dijual.

***

Rabu, 17 Agustus 1999
Arini menabur bunga di atas makam Wahyu dengan tenang. Angin sore yang berhembus mengibar-ngibarkan jilbab yang dikenakannya. Kakak Iparnya Linda yang berdiri di belakangnya hanya menatapnya dengan prihatin. Sementara Satrio tampak tegar disamping kakak kandung tertua Arini, Baskoro. Arimbi tampak meraung hingga kedua orang kakak Arini yang lain beserta istri-istri mereka sibuk menghiburnya. Diantara kedua anak-anaknya memang hanya Arimbi yang lebih akrab dengan bapaknya. Astuti tampak tertidur di pelukan Eni, keponakannya yang tertua. Sisa senggukan Astuti sesekali terdengar menyelingi tidurnya. Nisan Wahyu tampak teronggok, begitu sederhana. Arini menatapnya dengan perasaan kosong. Tidak ada air mata yang keluar mengiringi kematian suaminya. Bahkan Arini tampak tegar ketika datang ke rumah sakit untuk mengidentifikasi mayat Wahyu. Segalanya terasa datar, kosong. Karena Arini tahu cintanya yang dulu menggebu-gebu telah hilang terkikis sedikit demi sedikit sejak Wahyu mulai memperlakukannya dengan sangat kasar dulu; sejak Wahyu kembali mengingkari janjinya sendiri untuk berhenti memukuli dan menyakiti dirinya; ketika dia untuk kedua kalinya mengajukan permohonan cerai sebelas bulan sebelum Arimbi lahir. Juga sejak dia rajin berdoa agar diberi jalan yang terbaik untuk menata ulang keluarganya, tanpa harus kelelahan mengurus perceraian. Perceraian yang sangat sulit diperoleh untuk orang kecil dan awam seperti dirinya. Urusan yang berbelit, waktu yang terbuang dan harta yang terkuras ternyata hanya biaya sia-sia yang harus dikeluarkannya karena Wahyu tetap tidak mau melepaskan dirinya. Arini tidak takut lagi kehilangan Wahyu, karena dia memang tidak peduli lagi pada lelaki itu. Entah sejak kapan. Hanya satu yang ingin dikerjakannya, menjalani ketenangan dengan ketiga anak-anaknya, karena harapannya yang lain tidak mungkin akan terjadi, yaitu memutar waktu yang lampau. Sementara senja mulai tampak temaram. Di kejauhan tampak anak-anak kecil masih berlari-lari kegirangan sambil sesekali berpura-pura sedang mengikuti salah satu perlombaan acara tujuh belasan.

***********
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved