|
Berapa Kodok Yang Harus Dicium? Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com Menemukan pasangan hidup itu memang sulit. Ada sebuah film yang beberapa kali diputar di televisi (The Bachelor = kamus: young unmaried man) dengan pemain Chris O’Daniel yang menceritakan bahwa untuk menemukan pasangan hidupnya, dia rela mengeluarkan sebuah sayembara yang ternyata diikuti oleh ratusan ribu wanita dari berbagai kalangan (kebetulan saya sempat menonton film tersebut di tv, dan ada satu orang wanita dengan gaun panjang, jilbab dan cadar serta tak lupa tasbih yang digambarkan ikut sayembara tersebut. Mewakili kalangan Islam? Entahlah.). Tentu saja antusiasme para wanita tersebut mengikuti sayembara menemukan calon istri ini karena sebuah iming-iming bahwa jika sebelum usia sekian dia sudah menikah maka sang perjaka tersebut akan mewarisi harta kekayaan sebesar satu juta dollar.
Agak berlebihan memang film tersebut. Tapi sah-sah saja, namanya juga film yang dibuat di negara liberal Amerika sana. Agak mengherankan ketika tema film serupa akhirnya diangkat menjadi sebuah acara dengan judul yang hampir sama, The Bachelor. Acara televisi ini diangkat oleh stasiun televisi Amerika sana menjadi sebuah acara dengan tema seputar perjuangan mencari pasangan hidup. Saya sudah menonton serial tersebut di Australia sekitar 5 –6 tahun yang lalu. Waktu itu saya menganggapnya sebagai hal yang biasa mengingat budaya liberal yang memang sudah sedemikian luasnya di negara-negara barat sana. Bagaimana tidak? Ada seorang pria yang bingung menentukan siapa yang cocok menjadi istrinya lalu urusan ini diserahkannya pada acara televisi. Televisi lalu mengeluarkan sebuah pengumuman untuk tahap pendaftaran siapa yang berminat. Siapapun yang berminat boleh mendaftarkan diri. Lalu tahap seleksi dimulai. Ada ratusan wanita yang ikut. Untuk memilih yang cocok diantara ratusan peminat tersebut maka dibuatlah pesta dansa. Mirip kisah Cinderella memang. Sang perjaka mulai berdansa dengan satu persatu peserta. Di akhir pesta, para wanita ini dikumpulkan dan mulailah acara seleksi tahap berikutnya dimulai. Wanita yang memperoleh sekuntum mawar artinya lulus ke tahap berikutnya.
Tahap berikutnya ternyata luar biasa. Beberapa wanita yang lolos tersebut masing-masing diberi kesempatan untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi si perjaka. Nah, barulah tahap seleksi terakhir datang. Hanya seorang wanita yang berhasil memuaskan si perjaka akan dipilih oleh si perjaka untuk menjadi istrinya. Setelah itu mereka akan menikah dan akan memperoleh hadiah dari para sponsor yang melimpah ruah. Agak jijik mendengar kronologis acara tersebut? Tunggu dulu. Karena ada tayangan yang lebih menjijikkan lagi. Yaitu ketika yang menjadi kandidat adalah seorang wanita. Yap. Seorang wanita yang menjalani proses memilih sekian banyak peserta yang berminat untuk menjadi suaminya.
Serial Tha Bachelor ini kini diputar di Indonesia oleh salah sebuah televisi swasta (Trans TV). Agak mengherankan sebetulnya karena secara keseluruhan acara ini penuh bertaburan dengan tawaran budaya kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kebetulan saya beberapa kali melihat spot iklan acara tersebut. Kebetulan pula sebagian acara seleksi pencarian calon suami bagi Gina (si kandidat) tersebut sebagian sudah pernah saya tonton di Sydney dahulu. Tapi tak urung saya langsung terperangah dan bengong melihat usaha Gina menemukan calon suami yang ideal bagi dirinya. Dari sepuluh orang peserta yang lolos ke putaran terakhir, masing-masing mencoba untuk memberikan pelayanan terbaik bagi Gina. Ada yang membawa Gina berlibur ke sebuah rumah peristirahatan di tepi pantai; ada juga yang berlibur ke hotel terkenal, atau yang sekedar mengajaknya menghabiskan waktu akhir pekan di atas perahu pesiar. Semuanya bertaburkan acara makan malam romantis, peluk cium di depan perapian atau deru ombak pantai dan adegan intim lainnya. Gina tampil layaknya sebuah piala bergilir yang memang cukup berharga untuk diperebutkan. Hari ini dia melakukan hubungan intim dengan A, esoknya sambil berurai air mata dia akan mengatakan bahwa dia kurang puas dengan layanan A dan memutuskan untuk menggugurkan keberadaan A sebagai peserta yang lolos seleksi. Lalu sambil tersenyum cerah ceria kembali keesokkannya Gina sudah “tidur” bareng lagi dengan peserta selanjutnya. Begitu seterusnya hingga semua peserta yang lolos seleksi di putaran ini sudah dia “coba” semua.
DUH. DIMANA AKAL SEHAT DAN HATI NURANI PEMILIK STASIUN TELEVISI KITA HINGGA ACARA PERUSAKAN MORAL INI BISA DITAYANGKAN SEBAGAI SALAH SATU SERIAL LAYAK TONTON DI TELEVISI KITA? Waktu saya melihat acara seperti ini diputar di televisi Australia, saya tidak peduli. Masyarakat barat dengan budaya liberalnya memang sudah rusak dari sananya. Bagi mereka peluk cium antar lawan jenis (atau sesama jenis sekalipun) sudahlah sangat biasa. Itu sebabnya dahulu, di era awal abad milenium ini (sekitar tahun 2000-an) seorang hartawan di Amerika sana bersedia memberikan hadiah puluhan juta rupiah bagi seorang gadis warga negara Amerika yang masih perawan hingga usia 21 tahun. Sesumbar ini memang dasyat tapi keyakinan bahwa memang tidak akan ada pemenangnya yang membuat sesumbar ini malah jadi sebuah sentilan sindiran yang diremehkan orang Amerika. “Mana ada perawan di abad ini?”. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh majalah wanita dewasa di Australia di tahun 1998, memaparkan bahwa sebelum menikah rata-rata seseorang itu pernah berhubungan intim sedikitnya dengan 30 – 40 orang. Bahkan ada seorang pria yang pernah meniduri 1000 wanita sebelum akhirnya dia bertemu dengan wanita yang kini menjadi istrinya.
#tarik napas dulu# naudzubillahmindzaliik.
Fiuh….
Saya tidak peduli jika negara barat berlomba-lomba membuat acara yang memaparkan kerusakan moral yang sungguh terjadi di antara masyarakatnya. Tapi kini, jika acara tersebut ditayangkan di televisi kita. Apakah itu bukan berarti sedang mencoba menawarkan alternatif gaya hidup pada budaya kita yang tentu saja berlainan dengan budaya barat? Apakah itu berarti sedang ada usaha terus menerus untuk memformulasi ulang semua tatanan budaya dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat kita? Apakah itu bukan sebuah usaha untuk
#oke. Take a breath for five minutes.#
“Jangan emosi dulu mbak. Dah pernah nonton acara ‘Katakan Cinta’ belum?”
Acara apa pula ini. Adik saya mengajak saya menonton acara yang ditayangkan juga oleh salah sebuah televisi swasta dengan waktu tayang petang menjelang malam. Acara ini diperuntukkan untuk para remaja.
Jadi, ada seorang remaja yang menyukai seorang lawan jenisnya tapi bingung bagaimana mengutarakannya. Lalu dibuatlah acara kejutan bagi si calon pacarnya itu. Dikirimilah hadiah, dikirimi acara “romantis” dan sebagainya. Setelah semua pengorbanan ini, lalu mulailah si remaja mengutarakan keinginannya untuk mengajak berpacaran. Jika si lawan jenis menyukai semua kejutan yang dia terima maka merekapun “jadian”. Jika si cewek atau cowok sudah mengutarakan persetujuan untuk “jadian” maka hadiah ciuman pun diberikan. ” CUP.. . CUP. Terima kasih yah sudah mau jadi pacarku.” Aihhhhhhh.
Tapi budaya mencari pacar sekaligus menjadi orang terkenal ini tampaknya memang sedang diangkat menjadi budaya tersendiri. Sukses dengan acara Katakan Cinta, sekarang mulai bertaburan acara yang mirip di stasiun televisi yang lain. Seperti H2C (Harap-harap Cemas), dan sebagainya. Ah. Mau dibawa kemana para remaja kita sebenarnya?
Saya jadi ingat sebuah cerita klasik “Mencari Putri Sejati”. Kisah ini saya dengar dan berulang kali saya baca ketika saya masih kecil dahulu. Yaitu kisah seorang pangeran yang dikutuk menjadi seekor kodok oleh seorang permaisuri yang tamak. SI permaisuri yang merangkap tugas menjadi nenek sihir ini memberitahukan penangkal kutukannya. Sang kodok akan kembali menjadi pangeran (dan jika ini terjadi maka semua istana dan kerajaannya akan murni menjadi milik si pangeran) jika berhasil menemukan seorang putri yang bersedia memberikan kecupan sayangnya pada sang kodok. Tentu saja ini seperti sebuah hiburan yang pahit bagi sang kodok. Bagaimana caranya menemukan seorang wanita yang bersedia menyayangi sang kodok yang menjijikkan (kulit kodok selalu berlendir, basah, lengket dan kasar, karena dia hidup di kolam yang kotor) dan kemudian bersedia memberikan ciuman bagi sang kodok.
Tahun berganti tahun. Harapan untuk kembali menjadi pangeran rasanya tinggal harapan hampa. Pada kenyataaannya memang tidak ada wanita yang bersedia mencintai kodok apalagi menciumnya. Tapi takdir berkata lain. Suatu hari ada seorang wanita yang karena kebaikan hatinya bersedia menyayangi si kodok. Memeliharanya dan pada akhirnya menciumnya. HUPLA. Berubahlah si kodok menjadi pangeran. Mereka menikah dan hdiup bahagia hingga akhir hayat dengan semua kerajaan yang kini diwarisi seluruhnya oleh sang pangeran dan permaisurinya. Sekarang, kodok-kodok yang dikutuk itu sebenarnya banyak. Tapi berbeda dengan kodok dicerita klasik yang bersifat pasif, hanya menunggu takdir. Kodok jaman sekarang merubah strategis lebih aktif. Mereka menonjolkan janji nenek sihir akan kerajaan dan harta warisan yang akan diperoleh jika mendapatkan putri sejati. Tawaran yang menggiurkan yah.
Jadi, kondisi jaman sekarang jadi terbalik. Yang mendapatkan masalah besar bukan lagi pangeran yang dikutuk tapi justru si putri sejati. Bagaimana cara mencari yang mana kodok yang sebenarnya pangeran yang dikutuk dan kodok yang memang kodok yang kotor dan berlendir? Bisa jadi setiap kodok yang ada di dalam kolam, berbagai jenis kolam dan empang harus dicium satu persatu hingga akhirnya HUPLA…. Menjelmalah seorang pangeran yang baik hati, tampan, kaya raya dan terpelajar. Kalau dua- tiga menit ternyata kodok itu tidak menjelma? Hmm… That’s what I Call APES!!!
------ Jakarta, Maret 2004
Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|