[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Suatu Hari Di Dalam Sebuah Taksi
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemusliman.com Jalanan Jakarta macet. Itu hal yang biasa, justru hal yang luar biasa jika jalanan di Jakarta sangat lengang dan jauh dari kesan macet (tapi bukan berarti sebuah ketidak-mungkinan, setidaknya hal ini terlihat jika hari raya Idul Fitri tiba). Tapi siang hari itu sungguh jalanan macet. Taksi yang kutumpangi bergerak rasanya hanya sejengkal demi sejengkal. Ditambah dengan sinar matahari yang bersinar sangat terik, cocok sekali untuk menerapkan sebuah ungkapan populer, “Tua di Jalan”. Alhamdulillah aku tidak sendirian di dalam taksi. Ada lima orang temanku yang lain. Kami memang berencana untuk pulang setelah menjenguk seorang teman yang baru memperoleh kenikmatan sebagai wanita yang bisa dikatakan punya pengalaman lengkap, dikaruniai momongan.

“Wah. Siapa yah yang giliran kampanye hari ini? Macet gini jalanan.” Supir taksi mengeluh. Dari spion aku lihat mata supir taksi berkeliling mengamati kami semua yang diam dari tadi ramai sendiri membicarakan tentang bayi mungil yang baru saja kami lihat.

“Capek yah pak kalau lagi macet gini.” Seorang temanku menanggapi keluhan supir taksi. Seperti memperoleh bensin atas percikan api kecilnya, supir taksi langsung memperbaiki duduknya.

“Bener mbak. Paling kesal kalau lagi jalan gini ada macet yang disebabkan oleh demo ama kampanye gini nih. Tapi yang paling sering kalau macet karena demo sih. Soalnya kalau macet karena lampu merah mati atau macet karena emang padat; macetnya tuh masih bisa dikira bakalan selesai dan cenderung lebih aman buat kita narik. Tapi kalau demo atau kerumunan… wahhhh…. Tiba-tiba suka ada yang rusuh, terus mereka suka makan badan jalan dengan sangat egois. Nyebelin banget deh.” Kami semua tersenyum kecut.

“Tapi kampanye partai sekarang kan lebih tertib bukan pak?” Aku bertanya mencoba mendinginkan.

“Kata siapa? Nggak beda tuh. Pokoknya kalau sudah kumpul sama sesama anggota, mereka tuh langsung jadi raja jalanan. Semua partai, nggak beda semua sama saja. Saya sih lebih baik pulang deh daripada narik tapi kejebak macet.” Si supir berkata dengan penuh semangat. Aku terdiam dan tiba-tiba muncul perasaan ingin tahu yang tidak bisa aku bendung.

“Pak, nanti pemilu mau ikut coblos nggak?” Semua mata teman-temanku melotot ke arahku. Aku tak peduli dan pura-pura tidak melihat pelototan mereka.

“Iyah ikut coblos.” Supir taksi semangat menjawab pertanyaanku. Gayung bersambut.
“Pilih apa pak?” TIS. Sebuah cubitan mampir dipahaku. Aku meringis dan mengusap bekas cubitan yang terasa panas itu.

“Saya dulu simpatisan Partai Rambutan terus terang. Dulu kartu anggota Partai Rambutan selalu ada di kantong saya. Tapi sekarang saya tidak ingin lagi pilih Partai Rambutan. Kecewa saya. Mengaku partainya wong cilik tapi sama sekali tidakberpihak ke wong cilik. Malahan sekarang partai Rambutan seperti kacang lupa dengan kulitnya, mereka yang dahulu ikut membesarkan partai Rambutan justru sama sekali tidak ditoleh. Kerusuhan yang pernah terjadi di tubuh partai Rambutan yang memakan banyak korban sama sekali tidak diperhatikan perihal nasib keluarga para korban kerusuhan tersebut. Akhirnya sama saja Partai Rambutan dengan partainya Orde Baru.“

“Wah.. sama pak. Saya juga. Bapak saya kan dulu anggota aktif partai Nanas, sekarang juga nggak mau lagi milih partai itu.” Temanku akhirnya ikutan obrolan kami. Lalu kami semua terlibat obrolan seputar kekurangan tiap-tiap partai. Partai Rambutan begini, partai Pisang ada oknum-oknumnya yang tidak bisa dipercaya, partai Nanas punya masa lalu yang tidak terlalu baik dan sebagainya.

Ngomong-ngomong soal partai.
Beberapa hari yang lalu suami Presiden saat ini, Taufik Kiemas mengemukakan sebuah ide yang cukup mengkhawatirkan. Yaitu gagasan untuk membentuk koalisi kaki tiga, yaitu PDIP, NU dan GOLKAR. Banyak pihak yang mempertanyakan koalisi ini. Pihak NU tetap bertahan mengatakan bahwa NU adalah organisasi massa yang tidak ingin cenderung ke politik dan kalaupun para anggota ormas besar ini ingin menyalurkan aspirasi politiknya ada kebebasan untuk ikut parpol. Bisa ikut parpol apa saja meski ada sebuah parpol besar yang mencuat ke permukaan dengan beranggotakan warga NU, yaitu PKB. Roy BB Janis, keesokan harinya juga langsung meralat omongan Taufik Kiemas dengan mengatakan bahwa mungkin yang dimaksud dengan koalisi kaki tiga itu adalah PDIP, PKB dan Golkar. Secara resmi PKB langsung membantah keinginan untuk berkoalisi dengan PDIP.

Entahlah mana yang benar mana yang salah.
Tapi setidaknya itu hal itu membuat partai-partai lain tergugah untuk berpikir. Bagaimana tidak? Taruh misal PDIP berkoalisi dengan Golkar (Akbar Tanjung segera setelah bebas dari status terdakwa mengatakan bahwa jika partainya tidak jadi nomor satu dia siap untuk jadi Wapres. Artinya Golkar memang bersedia membentuk koalisi dengan PDIP. Artinya lagi, dua partai besar dengan rangkulan kursi yang cukup besar siap bertanding melawan partai-partai kecil dan sedang lainnya. Dengan begitu, bisa jadi hal ini merupakan sebuah lawan yang tidak bisa dianggap enteng. Lalu jika mereka mengajak bergabung sosok-sosok di dalam tubuh NU dan PKB yang memang pragmatis, boleh jadi koalisi besar ini akan menjadi koalisi raksasa. Sementara partai-partai kecil dan sedang tetap asyik dengan rasa percaya dirinya yang kebesaran.

Lahirnya gagasan untuk membentuk “koalisi bersih” adalah sebuah angin segar yang memberi harapan. Harapan bahwa akan tercipta sebuah sebuah kekuatan ummat yang bersih, reformis dan demokratis. Hingga suatu hari kelak, Indonesia bisa membuktikan bahwa kita adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar yang memang perlu diteladani dan disegani oleh seluruh dunia (bebas dari berbagai predikat dan prestasi dari peringkat buruk yang kini melekat erat). Saya selalu percaya bahwa jika Allah menghendaki maka tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi terutama jika diniatkan untuk meraih kebaikan dunia akhirat.

Lihat saja kekuatan “Poros tengah” di periode awal 1999 lalu. Kumpulan partai sedang dan kecil ini bersatu padu hingga berhasil mengalahkan partai besar. Atau kekuatan gerakan mahasiswa dan kelas menengah di masyarakat yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru. Kekuatan kecil yang bersatu akan menjadi sebuah kekuatan besar yang punya kekuatan yang dasyat atas pertolongan Allah. Atau perpaduan partai-partai kecil di DPR dan DPRD sana (yaitu Fraksi Reformasi yang dimotori oleh PAN, PK --sekarang jadi PKS-- dan PBB) yang meski sebenarnya minoritas tapi kerjasama mereka mampu menentukan arah kebijakan dalam negeri. Tapi sebelum itu semua terjadi, semuanya harus dimulai dengan sebuah tindakan yang paling mendasar. Yaitu masing-masing pihak yang berkompeten harus menanggalkan terlebih dahulu kepentingan personal dan kelompoknya demi sebuah tujuan yang lebih besar lagi. Masing-masing pihak harus memurnikan kembali niat awal untuk memberi manfaat bagi orang lain secara lebih luas demi mendapatkan keridhaan Tuhan; karena bisa jadi pertempuran melawan berbagai kebatilan telah membuat arah tujuan sedikit melenceng dan keluar garis. Bahkan, semua pihak harus melenyapkan sekat-sekat yang tercipta untuk mengkotak-kotakkan masyarakat dalam berbagai pengelompokan hingga tercipta keadaan yang menjauhi persatuan dan kesatuan Indonesia.

Capek juga jika Indonesia ternyata jatuh pada pemimpin yang tidak amanah. Lelah juga jika Indonesia terus menerus mengalami kondisi terpuruk, terlilit berbagai konflik SARA dan terjerat dengan berbagai problem. Jenuh juga jika Indonesia dikuasai oleh orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya serta menutup mata terhadap kondisi serba tidak nyaman yang terjadi pada orang-orang di luar kelompoknya. Pada akhirnya, cepat atau lambat akan tercipta sebuah nilai budaya baru di masyarakat. Yaitu budaya Pragmatis. Budaya wait and see sambil melihat siapa yang paling menguntungkan, tak peduli apakah si pemberi keuntungan itu memang benar-benar akan membawanya ke arah kebahagiaan ataukah justru menjerumuskannya ke dalam mulut harimau. Jangan sampai deh. Sudah jenuh rasanya. Mungkin seperti jenuhnya supir taksi pada jalanan yang macet oleh demo. Tersendat-sendat dalam sebuah antrian yang melelahkan dengan sebuah tanda tanya di kepala, apakah jalanan di hadapan akan tetap memberikan suasana aman dan damai?

Semoga Indonesia tetap menjadi negara besar yang benar-benar BESAR. Dan tiap-tiap individu yang menjadi warga negaranya, adalah individu yang dapat hidup berdampingan dengan damai dan senang hati ber-amar ma’ruf nahi munkar. Jauh dari segala prasangka dan pengkotak-kotakan.

--- Maret 2004
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved