[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK ANGKAT
Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya ingin bertanya mengenai hak dan kewajiban anak angkat dalam islam, baik bagi anak itu sendiri maupun bagi orangtua angkatnya. Terima kasih sebelumnya atas jawaban pak ustadz.

Wassalamu’alaikum

Mita

Jawaban :

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Persoalan anak angkat yang menyangkut status, hak dan kewajibannya, dalam peerspektif Islam tidak dapat dipisaahkan dari pengertian adopsi dan praktiknya secara umum di masyarakat. Adopsi secara garis besar mempunyai dua pengertian.

Pertama: Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.

Kedua : Mengambil anak orang lain utnuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.

Pengertian kedua dari adopsi di atas adalah pengertian menurut istilah di kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah membudaya di muka bumi ini, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam, termasuk di masyarakat Indonesia.

Adopsi di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan memakai upacara kegamaan dan dengan pengumuman dan penyaksian pejabat dan tokoh agama agar terang (clear) statusnya. Dan setelah selesai upacara adopsi, maka si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang mengangkatnya, dan terputus hak warisnya dengan kerabatnya yang lama, seperti di Bali.

Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan waris dengan orang tua kandung dan keluarganya, dan ia tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua angkat dan keluarganya, tetapi ia bisa diberi hibah atau wasiat. Menurut hemat penulis, praktek hukum keluarga atau hukum waris semacam ini di Sulawesi Selatan adalah akibat pengaruh Islam yang cukup kuat di daerah ini.

Demikian pula di Jawa, anak angkat masih tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan keluarganya, dan ia pun berhak pula sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi hanya terbatas pad harta peninggalan selain barang-barang pusaka yang berasal dari warisan yang harus di kembalikan kepada kerabat si suami atau kerabat si istri. Menurut B. Ter Haar Bzh, hak waris anak angkat di Jawa seperti tersebut (tidak penuh hak warisnya atas harta peninggalan orang tua angkat), adalah karena adopsi di Jawa itu bukan urusan kerabat dan pelaksanaannya tidak dibuat “terang”, artinya tidak pakai upacara keagamaan dan disaksikan oleh pejabat dan tokoh agama. Menurut B. Ter Haar Bzn, di Minangkabau tampaknya tidak ada adopsi dan kalau hal ini benar , menurut hemat penulis, karena pengaruh agama Islam yang cukup kuat di daerah itu.

Bagaimana pandangan Islam tentang adopsi? Apabila adopsi atau tabbani (bhs. Arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung”, maka jelas Islam melarang sejak turun Surat Al-Ahzab ayat 37:

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis idahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istri-istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”

Ayat ini merupakan rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang kasus rumah tangga Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jashy. Zaid adalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Nabi, kemudian dikawinkan dengan Zainab, saudara sepupu Nabi sendiri. Suami istri ini adalah orang-orang baik dan taat kepada agama. Namun rumah tangganya tidak bahagia, karena perbedan status sosialnya yang jauh berbeda. Sebab Zainab dari kalangan bangsawan, sedangkan Zaid adalah bekas budak, meskipun Islam tidak mengenal diskriminasi berdasarkan ras, bangsa/suku bangsa, bahasa, dan sebagainya. Zaid menyadari hal itu (ketidakharmonisan rumah tangganya) dan tepa selira, maka ia mohon izin kepada Nabi untuk menceraikan istrinya, tetapi Nabi menyuruh ia agar tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan ia pun mentaatinya. Namun setelah ternyata rumah tangga Zaid tetap tidak harmonis, dan semua sahabat dan masyarakat tahu, maka akhirnya perceraian Zaid dengan Zainab diizinkan, dan bahkan setelah Zainab, bekas istri anak angkatnya.

Surat Al-Ahzab ayat 37 yang menerangkan kasus Zaid dengan Zainab di atas adalah untuk menegaskan, bahwa:

Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam;

Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat.

Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antar anak angkat dan orang tau angkat, sehingga merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogianya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.

Demikian pula hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atu wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat hendaknya mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.

Sikap orang tua angkat/ahli warisnya dan sebaiknya dengan pendekatan hibah atau wasiat sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari konflik antara orang tua angkat/ahli warisnya dan anak angkat/ahli warisnya, apalagi kalau mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.

Kalau kita perhatikan motif-motif adopsi di kalangan masyarakat Indonesia bermacam-macam. Ada yang bermotif agar keluarga yang tidak punya anak itu memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunannya, maka dalam hal ini Islam melarangnya. Ada yang bermaksud agar keluarganya yang belum dikaruniai anak itu mendapat anak sendiri (jadi semacam untuk mencari berkah atau pancingan (jawa), atau mempunyai tujuan mendapat tenaga kerja; atau karena kasihan terhadap anak-anak kecil yang menjadi piatu), maka dalam hal ini Islam tidak melarangnya, selama anak angkat tersebut tidak diberi status sebagai anak kandung sendiri, yang mempunyai hubungan kewarisan dan lain-lain.

Di kota, terkadang diketemukan bayi yang baru lahir hidup (life birth) yang dibuang oleh orang tua/keluarganya untuk menutupi malu/aib keluarga, karena, bayi lahir di luar perkawinan sebagai akibat kumpul kebo atu free sex; bayi itu dibuang atau ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya; maka Islam memandang orang-orang tersebut tidak bertanggung jawab yang menyebabkan terlantarnya bayi, bahkan bisa berakibat kematiannya. Karena itu, berdosa besarlah mereka itu dan dapat dihukum, karena mereka melakukan tindak pidana (jarimah/jinayah, bhs. Arab). Pada sisi lain, Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya; berdosalah orang yang membiarkannya dan mendapat pahala orang yang menyelamatkannya, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32:

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Apabila bayi yang tidak diketahui asal usulnya itu didatangkan oleh satu keluarga Muslim yang mengaku bahwa bayi itu adaalah anaknya dan ia yakin bahwa bayi itu bukan anak orang lain (dengan adanya tanda/ciri-cirinya), maka demi menjaga kehormatan dan nama baik anak itu di tengah-tengah masyarakat dengan adanya orang tuanya yang jelas, dapatlah ditetapkan hubungan nasab anak tersebut dengan bapak/keluarga yang mengakuinya; dan terjadilah hubungan kemahraman dan kewarisan antara keduanya.

Apabila tidak ada seorang pun yang mau mengakui bayi tersebut, maka ia tetap berada di bawah perlindungan dan perwalian orang yang memungutnya. Dan walinya inilah yang bertanggungjawab mengusahakan kesejahteraan hidupnya, jasmani dan rohaninya, termasuk pendidikan, pengajaran, dan keterampilannya, agar kelak anak itu menjadi manusia yang saleh, yang berguna untuk dirinya sendiri, keluarga, umat, dan negara.

Untuk mencukupi semua kebutuhan hidup anak tersebut, walinya berhak meminta bantuan keuangan dari Baitul Mal. Jika Baitul Mal itu tidak ada atau ada tetapi keuangannya tidak mengizinkan maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk bergotong royong membantunya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 2:

“Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa.”

Dan juga firman Allah dalam Surat Al-Dahr ayat 8:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”

Gotong-royong umat Islam utnuk menyantuni anak-anak terlantar dari anak yatim piatu, baik yang diketahui nasabnya, maupun yang tidak, dapat diwujudkan dalam bentuk Yayasan Panti Asuhan, atau bisa juga dititipkan kepada keluarga-keluarga Muslim yang dapat dipercaya untuk mengasuh dan mendidik anak/anak-anak yatim di tengah-tengah keluarganya atas tanggungan pribadi keluarga Muslim yang mau menerimanya.

Memanipulasi silsilah dan pengaburan nasab (garis keturunan) serta pemberian ataupun pemgambilan harta warisan yang bukan secara hak dipandang Islam sebagai suatu dosa besar dan dzalim, karena disamping akan berdampak pada perwalian dan kejelasan asal-usul seseorang juga kecurangan dalam pengalihan harta kekayaan sehingga melanggar tujuan syariah yang berupa pemeliharaan panca maslahat yang mencakup pemeliharaan din (agama), jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah

sumber: www.keluargamuslim.com

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved