|
Anak Yang Ditunggu-tunggu Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Assalamu'alaikum wr wb. Mbak Ade yg baik, perkenalkan saya akhwat, seorang calon ibu (Insya ALLAH) berumur 29 tahun. Umur pernikahan saya sudah 3 tahun. Sudah lama saya mengidam-idamkan keturunan yang lahir dari rahim saya ini, tapi ternyata sampai saat ini saya belum memperoleh tanda-tanda kehamilan itu lagi.
Tahun lalu saya pernah mengalami keguguran pada usia kandungan 3 bulan. Keluarga suami sangat mengharapkan sekali keturunan dari anak lelakinya tersebut karena merupakan anak lelaki satu-satunya. Kami berdua sudah memeriksakan diri ke dokter dan hasilnya baik. Di setiap acara keluarga, perihal kehamilan saya selalu ditanyakan, bahkan mereka sepertinya agak melecehkan karena adik saya ternyata mendahului saya dalam memperoleh keturunan. Saya sebenarnya nggak terlalu mengindahkan dan selalu berusaha sabar + tawakal, tetapi ternyata saya semakin tidak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebu serta pandangan 'aneh' mereka. Jadinya saya jadi malas bertemu keluarga suami dan keluarga dari pihak ibu dan ayah saya. Yang mau saya tanyakan ke mbak Ade, gimana saya harus menyikapi pertanyaan, tindakan dan perlakuan mereka terhadap saya ? Saya selalu berdoa agar segera diberikan keturunan dan yakin bhw ALLAH pasti akan memberikan, tetapi kok saya tambah gelisah karena tanda-tanda itu belum ada juga. Dan saya tidak pernah lepas untuk memohon pada ALLAH. Bgmn yah saya seharusnya berdoa supaya doa saya lekas dikabulkan ? Adakah doa khusus agar saya segera diberikan keturunan ? Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih buat perhatian dan jawaban solusinya.
Wassalamu'alaikum wr wb
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yah. Saya bisa mengerti kondisi yang dialami oleh ukhti saat ini. Masyarakat kita di Indonesia, disamping terkenal memiliki keramahan yang tinggi juga memiliki sistem kekeluargaan yang besar. Dampak negatifnya (atau memang ini merupakan kelemahan yang muncul bersamaan dengan kedua sifat tersebut?) adalah mereka selalu ingin mencampuri urusan orang lain. Mereka yang tidak punya anak, jadi bahan gunjingan dan seakan-akan hal itu menjadi sebuah masalah sosial yang harus diselesaikan. Setelah punya banyak anak, tapi tidak ada anak lelakinya, atau tidak ada anak perempuannya, kembali masyarakat menggunjingkannya dan menjadikan hal itu sebagai bahan “pemikiran nasional”. Nanti, setelah jumlah anak banyak, lengkap ada anak perempuan dan anak lelakinya, kembali masyarakat menggunjingkannya dan memberi cap bahwa keluarga besar tersebut adalah keluarga yang tidak tahu diri. Sudah tahu zaman sekarang serba sulit kenapa harus bunuh diri dengan memilih punya anak banyak? Wah. Bisa-bisa tidak ada habisnya hal itu terjadi.
Sama seperti kisah Nasaruddin dan anaknya yang sedang menaiki keledai (ada juga yang mengatakan bahwa kisah berikut ini adalah kisah Lukman dan Anaknya).
Kisahnya bermula pada suatu siang yang terik. Nasarudin dan anaknya berjalan menuju ke kota untuk menjual keledainya. Mereka berdua berjalan sambil menuntun keledainya yang hendak dijual tersebut. Di jalan, mereka bertemu dengan segerombolan orang. Mereka menegur Nasarudin.
“Mullah. Kasihan anakmu, panas-panas begini disuruh jalan padahal ada bersama kalian seekor keledai yang cukup kuat untuk ditunggangi. Mengapa kamu tidak menaikinya?” Nasaruddin tersenyum. Diapun lalu mengangkat tubuh anaknya dan mendudukkannya di atas keledai. Orang-orang tidak lagi bergunjing dan gembira karena nasehat mereka dituruti. Lalu Nasarudin dan anaknya kembali berjalan.
Matahari bersinar kian terik. Rona kelelahan mulai tampak di wajah Nasarudin. Hingga sampailah dia di sebuah sumur tempat para musafir minum. Nasarudin pun minum. Di tempat minum ini, orang-orang yang telah tiba lebih dahulu mentertawakan Nasarudin.
“Mullah. Sungguh bodoh kamu ini. Kamu dan anakmu itu lebih tua kamu. Sudah sepantasnyalah jika seorang anak patuh dan hormat pada orang tuanya. Tapi ini mengapa justru kamu yang mempertuankan anakmu? Mengapa kamu membiarkan anakmu menaiki keledai sedangkan kamu sendiri berjalan kaki? Dunia sudah terbalik!” Nasarudin tersenyum. Dia lalu menurunkan anaknya agar anaknya berjalan kaki. Lalu diapun naik ke atas punggung keledainya dan merekapun kembali berjalan.
Di persimpangan jalan berikutnya, Nasarudin bertemu dengan sebuah desa. Disana dijual beberapa cindera mata yang murah dan indah. Maka, Nasarudinpun membeli beberapa belah untuk oleh-oleh bagi istrinya yang tesayang. Ketika itulah dia mendengar bahwa orang-orang sedang mentertawakan dan mengggunjingkan dirinya.
“Hai. LIHat orang tua bodoh dan kejam tersebut. Matahari bersinar sangat terik dan jalan-jalan sangat berdebu. Tapi dengan teganya dia menyuruh anaknya berjalan kaki sementara dia sendiri enak-enakan duduk di atas punggung keledai. Sungguh keterlaluan dan kejam!” Spontan Nasarudin langsung menarik anaknya untuk naik ke atas punggung keledai. Kini mereka berdua berhimpitan di atas punggung keledai dan kembali melanjutkan perjalanan.
Rupanya, masih ada beberapa desa lagi yang harus dilalui oleh Nasarudin sebelum akhirnya sampai ke pasar. Di sebuah desa, kembali telinga Nasarudin mendengar gunjingan orang banyak, bahkan salah satu dari mereka dengan lantang menegurnya.
“Hai Mullah!! Kamu benar-benar seorang yang bodoh dan kejam. Kamu tidak punya rasa belas kasihan terhadap penderitaan yang dialami oleh pihak lain. Coba lihat ini. Keledaimu sudah lelah, sementara matahari sangatlah terik. Tapi kamu dan anakmu enak-enakan menaiki keledaimu ini. Kalian berdua benar-benar bodoh dan kejam!!” Detik itu juga Nasarudin langsung turun dan keledainya. Dia juga menarik anaknya untuk turun dari keledainya. Diberinya keledainya minum yang banyak. Makan yang banyak. Lalu…. HUPLA. Digendongnya keledainya itu dengan kedua tangannya dan diapun berjalan menuju pasar.
Sampai di pasar. Semua orang yang melhat Nasarudin tertawa terpingkal-pingkal. Semua orang memandang Nasarudin dengan pandangan yang menghina dan meremehkan.
“Mullah…mullah… kamu ini sungguh bodoh dan ediot. Sudah tahu siang ini sangat terik, perjalanan yang kalian tempuhpun amatlah jauh. Tapi mengapa kendaraan bagus dan kuat yang kamu miliki malah kamu gendong? Seharusnya kamu menaikinya!”
Wahh…. Kalau kita menuruti apa kata orang banyak, memang tidak ada habisnya dan juga tidak ada benarnya. Justru pada akhirnya kita sendiri yang akan cape sendiri dan selalu dalam posisi hina dan patut diremehkan orang. Begitu juga dengan apa yang ukhti alami saat ini. Saran saya, tidak usah didengar semua gunjingan orang tersebut. Nanti ukhti stress sendiri. Padahal, kondisi kejiwaan seorang ibu itu, bisa mempengaruhi rahim dan dirinya sendiri untuk menyambut bayi yang akan Allah SWT titipkan di diri kita.
Jika ada yang bertanya soal anak, katakan saja, “Insya Allah, doakan saja yah mbak.” Sudah. Tidak usah didengar lagi sisa ocehan yang terasa meremehkan atau menghina. Karena sesungguhnya, semua orang tahu bahwa memperoleh keturunan itu adalah murni hak prerogatif Allah semata. Anak adalah rezeki, amanat. Jika Allah akan memberinya maka insya Allah tidak ada kendala apapun yang dapat menghalangi pemberiannya tersebut. Tidak umur tidak juga ukuran sosial, ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya. Tentu ada rencana lain sehingga Allah menunda pemberiannya atau menahan pemberian-Nya tersebut. Selalu ada hikmah yang menyertai segala pemberian-Nya. Satu pelajaran yang sedang diamanatkan pada kita sehubungan dengan cobaan yang Allah berikan tersebut adalah, ujian seberapa pandai kita melatih kesabaran dan memupuk rasa bersyukur dalam menghadapi segala macam episode kehidupan.
Berikut ini ada sebuah doa yang alhamdulillah saya temui di sebuah buku kumpulan doa yang diambil dari salah satu ayat Al Quran.
Al Quran mengisahkan, bahwa doa di bawah ini dipanjatkan oelh nabi Zakaria as pada usianya yang telah lanjut. Ketika tulang-tulangnya telah rapuh dan rambutnya semakin memutih, Zakaria memanjatkan doa kepada Allah untuk mendapatkan keturunan. Ia sangat prihatin karena tidak dikaruniai ketururan sehingga merasa khawatir tidak akan ada yang meneruskan perjuangan dakwahnya. DI sisi lain, ia merasa pesimis atas terkabulnya doa yang dipanjatkan, mengingat usianya yang telah udzur. Itu sebabnya dalam setiap doanya, ada ungkapan pasrah kepada Allah bilamana doanya tidak dikabulkan. Penyerahan seperti ini bagian dari etika berdoa yagn selalu dilakukan oleh para nabi, sehingga kemudian doanya dikabulkan Allah (lihat Al Anbiya: 90).
Bunyi doa tersebut adalah:
Rabbi la tadzarni fardan wa anta khairul waritsin.
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah Waris yang paling baik.” (Al Anbiya: 89)
Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyibatan innaka saami’ud du’a-i.
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-MU seorang anak yang baik. Sungguh Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali Imran: 38)
Selain doa, tentu juga ikhtiar diperlukan.
Zaman sekarang, dimana ilmu kedokteran telah maju sangat pesat ikhtiar yang dilakukan mendapat fasilitas yang cukup memadai. Dari keterangan ukhti, diperoleh keterangan bahwa sebelumnya, ukhti pernah mengalami kehamilan hingga mencapai usia kandungan 3 bulan sebelum akhirnya mengalami keguguran.
Coba diperiksa ke laboratorium atau meminta pendapat dokter ahli, sekiranya diketahui penyebab dari keguguran tersebut. Jika bisa diketahui hal ini, tentu bisa dihindari di masa yang akan datang atau jika disebabkan oleh penyakit tertentu maka penyakit tersebut mungkin lebih baik disembuhkan terlebih dahulu sebelum akhirnya siap hamil. Seperti apakah karena adanya jamur (kerap terjadi pada mereka yang tinggal di daerah yang lembab atau mengalami penyakit kelamin), bakteri (ini terjadi biasanya pada mereka yang punya banyak peliharaan seperti unggas, kucing, anjing dan monyet), pernah terkena serangan penyakit tertentu (seperti kena rubella, campak, dll), reaksi kimia obat tertentu (mengkonsumsi obat tertentu yang membahayakan keberadaan janin), ibu yang terlalu lelah (sehingga mempengaruhi kekuatan rahimnya), dan sebagainya. Artinya, selain melahirkan sebuah pengalaman dan pengetahuan perihal hal-hal yang sebaiknya dihindari dan hal-hal yang sebaiknya dilakukan selama masa kehamilan, juga menjadi jelas bagaimana kondisi janin yang dahulu pernah dikandungnya. Biasanya, hampir semua janin yang mengalami keguguran tersebut memang terdeteksi memiliki cacat yang parah. Bayangkan jika kehamilan tersebut dipertahankan? Mengasuh anak yang cacat itu sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan merupakan cobaan yang tersendiri bagi orang tua yagn berlaku selamanya.
Terkadang, adanya pemeriksaan lebih lanjut terhadap penyelidikan sebab seorang ibu mengalami keguguran bisa mengobati rasa kehilangan dan memacu rasa bersyukur atas takdir Allah yang terasa pahit tersebut. Rasa syukur yang menimbulkan ketakjuban dan pengakuan bahwa Allah sungguh hanya memberikan yang terbaik bagi hambaNYa.
Selain memeriksakan penyebab keguguran tersebut, ukhti bisa juga mulai melakukan konsultasi cara-cara medis yang bisa diupayakan untuk memperoleh keturunan. Bisa jadi, karena telah diketahui kekurangan yang ukhti dan suami ukhti miliki, ada serangkaian terapi yang baik untuk diikuti agar ukhti bisa hamil dan kondisi ibu dan anak lebih sehat dan baik insya Allah. Silahkan konsultasi ke dokter ahli yah ukhti.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|