|
Kebun Mawar Yang Tersisa (Setahun Kepergian Hiba Daraghmen) Profil Muslimah - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com Azan shubuh berkumandang dari masjid. Membangunkan umat Islam agar segera memenuhi panggilan untuk sejenak taffakur menghadap Ilahi. Sebentar lagi matahari akan terbit dan berbagai macam kegiatan yang menanti sepanjang hari pun telah menanti. Begitulah saban shubuh terjadi kegiatan yang dimulai dengan pendekatan pada kebesaran Allah. Begitulah yang terjadi pada Hiba Daraghmeh.
Senin, 19 Mei 2003, gadis 19 tahun yang menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris Universitas Al Quds ini memulai hari dengan shalat shubuh yang dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan untuk seisi rumah. Hari itu Hiba membuat salad mentimun dan menyiapkan roti, minyak zaitun, daun thyme untuk pewangi makanan, serta mengucurkan teh. Pagi itu sekeluarga makan bersama. Setelah selesai makan, piring yang telah kotor dicuci oleh Hiba.
Dalam sinaran matahari pagi yang mulai hangat, Hiba mengambil air dan menyirami tanaman almond, zaitun, delima dan mawar di kebun dalam rumah. Ia mencium kembang mawar dan tertawa. Ibunya, Fatima, terheran-heran melihat tingkah Hiba. Hiba menjelaskan, “Saya merasa sebagai orang yang baru. Ibu akan bangga pada saya.”
Fatima tidak menangkap maksud anaknya. Pada siang harinya ia baru tahu: Hiba membawa setumpuk dinamit di badannya dan meledakkan diri di keramaian sebuah mal di Afula, Israel, sekitar 10 kilometer dari Tubas. Hiba tewas, begitu pula tiga orang Israel.
Keluarganya –juga dunia—terkejut. Hiba, mahasiswi cerdas. Beberapa ujian dilewati dengan nilai sempurna. Ujian mata kuliah Sastra Inggris dilewati dengan angka sembilan.
Ia juga dikenal keluarganya sebagai orang yang sangat taat beragama. Ia mengenakan jilbab sejak usia 15 tahun. Setahun kemudian bercadar. Mengenakan jilbab tidak menjadi masalah. Tapi mengenakan cadar membuat keluarganya sempat marah.
”Buang itu cadar!” Neneknya, Fozeh, masih ingat pernah berkata begitu. “Kamu terlalu muda dan lagi pula udara kan sangat panas.”
Ia tak pernah berbicara dengan laki-laki dan jarang pergi ke kafe di kampus. Semua temannya adalah perempuan,. Sepupunya, Murad Daraghmen, setahun lebih tua, juga tak pernah melihat wajahnya, tak pernah bicara kepadanya, tak pernah bersalaman. Ia baru tahu wajah sepupunya setelah Islamic Jihad, yang merekrut banyak pengebom bunuh diri, menyebarkan posternya setelah terjadi peledakan.
Kakak perempuannya juga ingat. Ia selalu mematikan musik di TV dan radio. Hiba menganggap dirinya orang yang khusus.
”Ia biasa salah sampai dua jam, berdiri , rukuk dan sujud dengan khusyuk.” kata Jihan, kakaknya yang enak tahun lebih tua.
”Ia menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan membaca Al Quran.”
Jihan dan saudara lainnya, Mariam, sempat dikunjungi sebelum pengeboman. Ia juga mampir ke rumah teman kuliah untuk mengembalikan buku catatan. Hiba juga sempat mengucapkan selamat tinggal kepada seorang kakeknya.
Setelah semua itu, barulah ia berangkat ke Afula. Tidak dengan cadarnya yagn menutup seluruh tubuh, tapi ia mengenakan jins dan tidak terlalu mencolok di tengah-tengah warga Israel.
Perempuan pengebom termasuk gejala baru. Kelompok Hamas, misalnya, termasuk menentang karena masih banyak laki-laki yang bersedia melakukannya. Tapi, jika mereka bersikeras melakukannya, mereka akan membiarkan.
Hiba mungkin bersikukuh karena pengalaman menyakitkan dengan Israel. Kakaknya, Bakr, 23 tahun, ditembak di Nablus saat unjuk rasa. Belakangan, tentara Israel menangkapnya karena memiliki peledak dan menjatuhkan vonis 99 tahun penjara tahun lalu.
Setelah tentara menangkap Bakr, tentara Israel mengacak-acak rumahnya. Yang menyakitkan, bukan hanya merobek buku catatan kuliah Hiba, tapi juga merusak Al Quran yang selalu ia baca.
Seminggu setelah itu, Israel membuat jam malam di Tubas. Saat Hiba berjalan dari rumah menuju kampus, seorang tentara Israel memaksa membuka cadarnya. Ia merasa begitu terhina dan marah pada semua Yahudi, bukan hanya tentaranya.
Saya percaya ini yang menyebabkan ia mau melakukan pengoboman.” kata neneknya.
Neneknya menayyangkan langkah Hiba ini. ”Ia terlalu muda,” katanya. Tapi Murad, sepupunya, memuji, ”Saya pengecut,ia pemberani. Saya tak akan menjadi pengebom, saya punya saudara, tentara akan menangkapnya dan tentara akan menghancurkan rumah saya.”
Israel, yang menganut asas kesalahan kolektif, memang langsung meratakan rumah tempat tinggal Hiba dengan dinamit serta melarang rumah itu dibangun kembali. Yang tersisa kini hanya sepotong tembok, dengan poster Hiba di dinding, serta kebun mawar yang sudah dicium Hiba tempo hari setelah disiramnya. Innalillahiwainnailaihirajiun.
------ Jakarta, mei 2004
sumber: Koran Tempo, Rabu, 28 Mei 2003, hal. 12.
[ 0 komentar]
|
|