|
LSM Perempuan : Sebuah Idealisme Yang Hilang Oase Ilmu - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com Bagaimana perasaan Anda ketika membaca atau melihat tayangan berita kriminalitas di media massa? Miris. Mungkin itu yang menjadi jawabannya. Dari mulai berita kriminalitas yang dilakukan para elit atau pejabat tingkat tinggi, hingga perkara maling ayam. Bila berbicara mengenai kredibilitas moral bangsa dan masa depan generasi muda, maka persoalan-persoalan tersebut tak pernah menjadi suatu hal yang sepele. Setiap kita pastinya geram bahkan sempat pula merutuk-rutuk kala menyaksikan betapa tingkat kriminalitas kian hari kian tinggi. Sebagai seorang perempuan, saya jelas sangat khawatir. Dan mulai berpikir bagaimana cara mengamankan anak-anak saya kelak supaya tak tersentuh oleh kekejaman-kekejaman itu. Mungkin demikian pula yang ada di benak Anda.
Saya ingin berbagi sedikit mengenai persoalan kekerasan terhadap perempuan. Violence against women. Saya katakan di sini, tak hanya perempuan dewasa yang mengalaminya, namun juga mereka yang masih anak-anak bahkan balita sekalipun. Bukan cerita rekaan, melainkan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat kita. Miris. Sekali lagi kata itu muncul dalam benak saya saat mengetahui hal tersebut sebagai fakta dan disaksikan oleh mata kepala sendiri. Tak sebatas kata-kata ataupun angka-angka.
Sekitar satu sampai dua tahun lalu saya bekerja sebagai praktikan pada sebuah lembaga swadaya masyarakat yang cukup punya nama di Jakarta. Lembaga tersebut bergerak menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Karena mereka memiliki jaringan dengan pihak kepolisian di Jakarta, maka setiap kali ada kasus kekerasan yang menimpa perempuan dewasa maupun anak, segera dirujuk kepada lembaga tersebut. Hingga bisa dikatakan sejak kerja sama tersebut dijalin, hampir setiap kasus yang dilaporkan segera tercatat dan ditangani oleh LSM perempuan itu. Bisa dibayangkan berapa banyak kasus yang sudah mereka tangani.
Tahun 2001, awal saya bergabung di sana, jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan di bawah umur (entah itu pelecehan seksual, perkosaan, maupun domestic violence) bisa dihitung dengan jari. Pasien yang datang pun tak sampai sehari sekali. Walaupun kadang-kadang dalam satu hari bisa sampai dua atau tiga orang korban kekerasan yang ditangani. Namun waktu menganggur bagi staf LSM saya rasa masih cukup banyak. Belum lagi shift malam hari, yaitu mulai pukul tujuh malam hingga pukul tujuh pagi harinya, yang bisa jadi waktu istirahat panjang bagi staf yang mendapat giliran jaga malam hari. Kalau dihitung rata-rata, dalam tiap bulannya LSM ini bisa menangani pasien sejumlah dua puluh lima hingga tiga puluhan orang. Ukuran yang cukup banyak sebenarnya. Karena tak pernah ada kata ‘sedikit’ yang dapat menggambarkan sebuah tindakan kriminalitas.
Kemudian rupanya perkembangan yang dialami LSM ini cukup pesat. Walau dari segi kuantitas SDM yang ada bisa dikatakan sedikit, yaitu tidak sampai lima belas orang, dan setahu saya tidak pernah ada aktivitas promosi kepada pihak luar yang secara resmi dilakukan. Melalui media massa yang mungkin mendapat referensi dari pihak kepolisian salah satunya, dan pula melalui pihak-pihak yang terkait kerja sama, lembaga ini mulai banyak dikenal. Pada waktu itu, dengan bangga saya memperkenalkan diri saya kepada orang-orang bahwa saya sedang bekerja magang di sebuah lembaga yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak. Yang setiap harinya tak pernah meliburkan diri alias buka 24 jam melayani setiap pasien atau perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Yang memiliki kelengkapan penanganan mulai dari dokter umum yang bertugas memeriksa kondisi fisik pasien hingga membuat visum luka, lalu pekerja sosial (social worker) yang melakukan anamnesa atau pemeriksaan awal atas kasus kekerasan yang dialami pasien hingga melakukan rujukan bantuan bagi pasien, dan juga psikolog anak serta dewasa yang siap menangani konsultasi psikologis. Pada waktu itu saya dengan bangga berkomentar “Kurang apa lagi coba?”
Benar saja. Tahun berikutnya, LSM tersebut mulai punya nama dan menangani kasus-kasus kekerasan yang terbanyak di Jakarta. Kalau saya tidak salah, hingga tahun 2002 akhir atau awal tahun 2003 kasus yang telah ditangani oleh mereka yaitu sebanyak 1000 kasus lebih. Menurut saya, jumlah tersebut cukup menakjubkan. Semasa masih aktif di sana, saya dan teman-teman praktikan lain dengan sangat bersemangat merekomendasikan ini-itu sebagai kreativitas penanganan kasus. Mulai dari pembuatan hotline service, peer group counseling, mengadakan pelatihan peningkatan bagi para staf, dan lain-lain. Hingga kini pun, praktikan yang bergiliran magang di sana melakukan rekomendasi yang sama. Peningkatan jumlah kasus yang ada seharusnya diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan, SDM, dan lainnya. Setidaknya itu yang ada di pikiran saya.
Lalu apa yang terjadi? Lembaga tersebut kini tetaplah orisinil seperti sedia kala. Maksud saya memang orisinil secara harfiah. Alias nyaris tak berubah dari apa yang sudah ada sejak awal berdiri. Pelayanan masih dilakukan 24 jam, dengan jumlah tim jaga dua orang (yaitu seorang dokter dan seorang lagi pekerja sosial) yang sewaktu-waktu jadwal jaga mereka bisa berganti-ganti sesuai kesediaan waktu para staf, dengan alur penanganan yang tetap sama. Yaitu dari kantor polisi, lalu dianamnesa oleh pekerja sosial, kemudian pemeriksaan medis oleh dokter, dan rujukan ke psikolog atau untuk kasus yang berat dirujuk ke LBH terdekat atau shelter (rumah aman). Program peer group counseling yang sempat praktikan lakukan dan rasanya sangat dibutuhkan sebagai bentuk rehabilitasi sosial bagi para pasien atau rekomendasi lainnya tak lagi sempat dilakukan. Penyebabnya mungkin sangat klise, tak ada SDM yang mengerjakan. Atau mungkin bila ada, sarana seperti ruang nyaman untuk kegiatan hingga persoalan uang tak memadai. Benarkah sesederhana itu masalahnya? Saya rasa tidak.
Saya ingin mengulas sedikit mengenai posisi kenyamanan bekerja. Begitu saya menyebut situasi kerja yang ada pada lembaga itu. Saya sangat menyadari bahwa ritual kerja di perkantoran pada umumnya memang tak bisa disamakan dengan apa yang biasa terjadi pada sebuah lembaga swadaya masyarakat. Nah, hal yang disebut ‘biasa’ inilah penyebabnya. Kebiasaan para staf yang bisa bertukar hari maupun shift jaga sesuai yang disepakati, bahkan sesekali kosong jaga alias tak ada dokter dan atau pekerja sosial yang mengisi shift, lalu ‘keteraturan’ alur penanganan pasien yang memungkinkan hal tersebut dilakukan terus kepada setiap pasien yang ada. Maksud saya, sudut pandang bahwa pasien yang datang cukup dianamnesa, dibuatkan visum, dirujuk ke psikolog, dan dibuatkan rekam medisnya. Keteraturan pola kerja tersebut sedikitnya mencegah proses berpikir kreatif para pekerja sosial di sana yang seharusnya dapat berbuat lebih dari hanya sekedar melakukan anamnesa terhadap pasien. Keteraturan tersebut lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan dan berubah menjadi sebuah kondisi nyaman, hingga untuk merubahnya akan membuat para staf harus berpikir berkali-kali. Karena akan melibatkan lebih banyak tenaga, pikiran, dan uang. Tidak bermaksud menilai-nilai, tetapi terkadang sebuah idealisme terhadap tuntutan profesi akan lenyap ketika berhadapan dengan hal-hal tersebut di atas. Hingga saya merasa kasihan kepada para praktikan yang tiap kali bergiliran magang di sana harus membuang-buang kertas dan tinta printer untuk menulis laporan dan rekomendasi sekian banyak dan akhirnya akan tersimpan saja rapi atau malah menjadi used paper yang tak lagi dilirik.
Sementara itu, tayangan dokumentasi kriminalitas (khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak) kian rata muncul di setiap stasiun televisi yang ada. Sudah pasti jumlah kasus yang dilaporkan pun kian banyak oleh sebab kecerdasan dan keberanian para korban maupun keluarga dan kerabat dekatnya untuk melaporkan kejadian, dan sambil membawa harap bahwa bantuan dari LSM serupa dapat membawa sedikit harapan atau perubahan bagi kehidupan korban.
Miris? Saya yakin perasaan tersebut pasti selalu akan timbul setelah mendengar dan sekali lagi mendengar kabar-kabar buruk dari dunia kriminalitas masyarakat kita. Sebagai salah satu pekerja sosial yang pernah merasakan aktivitas langsung penanganan pasien di lembaga penanganan kekerasan terhadap perempuan, saya merasa tak lagi miris, melainkan malu. Sangat malu. Karena hingga kini saya hanya dapat membaca angka-angka jumlah kasus yang tertera di mana-mana, menjadikannya sebagai santapan informasi atau bahan penelitian, dan sesekali membuat tulisan mengenainya. Tak lagi ada keinginan saya yang menggebu untuk memberikan kontribusi apapun pada lembaga tersebut. Tanyakan saya mengapa, maka jawaban saya adalah karena saya merasakan begitu sempitnya ruang ‘kenyamanan’ tersebut diberikan pada saya untuk berbuat di sana. Bagaimana lagi saya dapat berbuat seorang diri, kalau setiap pegawai tetap lembaga tersebut hanya memiliki semangat seujung kuku bagi perubahan yang layak dilakukan di sana? Dan akhirnya saya membuat keputusan untuk keluar dari sana. Entah untuk sampai kapan saya akan menoleh kembali.
Miris? Ya, saya rasa Anda kini merasa miris. Bukan kepada lembaga tersebut, bukan kepada para korban, melainkan kepada saya. Demikian juga diri saya sendiri.
Dibuat oleh
Diana Hapsari Devita
April 2004
[ 0 komentar]
|
|