|
Cerpen: Kepak Sayap di Lautan Jurnal Muslimah - Thursday, 26 February 2004
Oleh : Ade Anita
16 Mei 1998
Yanti bisa merasakan bahwa seisi kelas di ruang B 202 langsung menghentikan aktifitasnya dan menatap Yanti begitu Yanti masuk ke dalam kelas. Beberapa di antara mereka menyatakan ikut prihatin dengan keadaan di Indonesia, beberapa yang lain cuma memandang sinis (eh, ini mungkin cuma su udzon Yanti aja kali, habisnyaÂ….)
Hm…Kebayang sih. Semalam mas Heru udah memperkirakan, “Yan, besok pasti rame deh nih. Siap-siap saja.” Begitu kami selesai menyaksikan siaran spesial report from Jakarta yang ditayangin Today Tonight di channel Seven. Ih….bener-bener kasian deh diary. Orang-orang Chinese berlarian ketakutan seperti halnya binatang yang diburu oleh gerombolan orang-orang, dekil, liar dan emosional. Malah ada bapak-bapak yang menangis karena istri dan keempat orang anaknya hangus terbakar di dalam rumah. Mereka dikurung tidak boleh keluar rumah sementara rumahnya dibakar hanya karena mereka mirip Chinese. Bapak itu sangat terpukul dan stress berat. Pada semua orang, dengan mata berlinang, dia bilang, “saya ini orang Palembang, memang begini ini wajah orang Palembang meski tidak ada keturunan cinanya…memangnya siapa yang minta dilahirkan dengan kulit putih dan mata sipit ?”. Yanti merinding dengernya. Alhamdulillah keluarga Yanti tidak ada yang terusik karena Rika pagi-pagi udah ditelpon temannya supaya jangan ada anggota rumah yang keluar karena mata sipit lagi dicari orang.
17 Mei 1998
Ibunya mas Heru telpon. Sambil menangis dia cerita bahwa situasi di Jakarta sudah seperti mau perang. Tank dan tentara ada di mana-mana malah ada jam malamnya segala. Toko-toko banyak yang tutup dan harga bahan makanan meroket tinggi sehingga dia harus makan supermi atau nasi dengan telur atau kecap saja. Terus terang, Yanti ikut prihatin dengernya. Di berita TV Yanti lihat orang-orang pada antri bahan makanan dalam satu bulan belakangan ini. Antrian panjang hanya untuk sekantong plastik beras yang pasti akan habis dalam dua tiga hari. Sedangkan di Sydney ini, hampir tiap minggu ada acara barbeque, dimana-mana makanan melimpah, minuman berlebih. Berkarton-karton buah dan sayuran busuk yang tidak terbeli karena terlalu berlimpah dibuang orang di tong sampah. Tapi di Indonesia ? Makananpun rasanya sulit tertelan membayangkan kesulitan mereka. CumaÂ…..ujung-ujungnya, ibu mas Heru dengan suara sedih (kalau ada kamera yang bisa melihat langsung wajah penelepon, pasti deh terlihat bahwa airmatanya bercucuran deras hingga saputangannya yang berwarna putih berubah menjadi kekuningan dan sangat lembab, oh..oh..miripdi sinetron sekaleeÂ’) bilang,:
“Yanti, kalau memang pecah perang di sini dan ibu terjebak di dalamnya hingga bertemu dengan peluru nyasar sampai meninggal, maka sampai akhir hayat ibu, ibu adalah orang yang paling tidak beruntung dalam hidupnya, karena sampai ajal tiba tidak dapat melihat anak semata wayangnya mempersembahkan seorang cucu pada ibu…seorang; tidak banyak, Yan, hanya seorang…..”
Astaghfirullah al adziim. Hanya Allah yang Tahu, bahwa Yanti dan Mas Heru, dalam 3 tahun ini juga sangat mendambakan kehadiran seorang anak. Buah cinta, penerus generasi. Tapi bagaimana lagi ????
28 Mei 1998
HuhÂ…UUUHHHH.
Rasanya pingin deh beli stiker lebar yang ditempel di jidat, isinya “I’m not Chinese, I’m Indonesian…Don’t Worry, Indonesian are not barbarian and Moslem Indonesian is not a terrorist” Habis ditelevisi tampak bahwa orang Indonesia benar-benar orang bodoh yang haus kekerasan, murah makian dan tidak berpendidikan serta barbar sekaleee’. Jadi nggak heran setiap kali ketemu orang asing dan melihat wajah Asia Yanti, mereka selalu bertanya apakah Yanti orang Chinese Indonesian dan terlontar beribu komentar negatif tentang Indonesia. Yanti kesal deh. Jelak sekali nama Indonesia di luar negeri. Yang bikin lebih kesal lagi, sambil merusak mereka mengucapkan. “Allahu akbar”. Astaghfirullah al adzim, kenapa harus mengatas namakan Allah untuk perbuatan keji dan merusak seperti itu. Padahal di Al A’raf : 28 dijelaskan bahwa Allah tidak pernah menyuruh untuk mengerjakan perbuatan yang keji. Mas Heru sampe berdiri dari kursi dan nunjuk-nunjuk TV,”aduh, udah dong, udah, bukan begini akhlak Islam, bukan begini wajah Indonesia !!!”
Di radio SBS, ternyata memang ada loh ry mereka yang dibayar Rp 50.000 untuk mengumpulkan orang berbuat rusuh, nah, pelaku jalanannya dibayar Rp 20.000. Yanti sama Mas Heru langsung berhitung, siapa yang punya kans untuk rela membuang uang dua puluh jutaan dengan percuma begitu, tapi, yah nggak diterusin. Takut su udzon. Tapi beneran, Yanti sedih deh melihat negeri Yanti ry, orang jadi pada rela memakan daging saudaranya sendiri hanya demi sebungkus nasi. Mereka jadi barbarÂ….Hah Â…?!? Itukan image orang Indonesia di mata dunia ??
Allahumma Yang Maha Pengasih, lindungilah Rakyat Indonesia dari melakukan kejahatan karena kebodohan. Tahu nggak ry, ternyata kerusuhan kemarin (media Australia bilangnya ethnic cleansing) ternyata sudah ada perencanaannya. Rumah yang diberi cat merah di pagarnya, berarti harus dibakar dan memang akhirnya hangus, sedangkan rumah yang diberi cat biru, jangan disentuh. Mudah-mudahan polisi atau aparat hukum bisa mengungkapnya.
19 Juni 1998
Mas Heru menolak keras waktu Yanti ajak untuk ikut program bagi pasangan yang sulit untuk memperoleh anak di Uni (ini sebutan untuk kampus). Katanya, : “Yan, aku kan ke sini untuk sekolah, bukan berobat. Lagian berobat di sini kan mahal, kita cuma hidup dari beasiswa, jangan lupa itu. Bertawakallah jika Allah memang belum berkenan memberi kita keturunan, pasti ada hikmah yang harus kita pelajari.” Hm, padahal program itu gratis loh, karena memang buat percobaan sih, he..he..he…Hushy…
DiaryÂ…., mas Heru jadi banyak diam deh hari ini dan pergi ke library sepanjang hari hingga menjelang malam. Nyesel juga sih, Yanti jadi merasa bersalah deh. Habis, Yanti ngerasa sendirian setiap kali ibunya mas Heru kembali mendesak untuk mendapat cucu, hampir tiap minggu Ry !!! (eh, padahal harusnya Yanti bersyukur yah, karena mas Heru dapat tugas belajar jauh di negeri orang gini, nggak kebayang kalau Â….nggak ah, nggak mau ngebayangin).Tapi ngomong-ngomong, kenapa Mas Heru nggak pernah mau yah diajak untuk periksa berdua, paling dia udah periksa sendiri. Itu juga katanyaÂ… entah periksa beneran apa tidak?
25 Juli 1998
Tadi ada kehebohan kecil di Coles Supermarket di East Garden. Ada seorang gadis yang pingsan mendadak. Di dompetnya ada KTP Indonesia. Jadi Yanti menawarkan diri untuk nemenin dia hingga siuman. Namanya Sen Sen. Badannya kurus, kulitnya pucat. Dia kurang darah dan kurang makan padahal kata petugas P3K di East Garden dia lagi hamil 2 bulan. HmÂ….Pantas di keranjangnya ada nanas tiga buah, lagi pingin kali (padahal orang hamil kan nggak boleh terlalu banyak makan nanas yah, ah, mungkin untuk rujakan ama teman-temannya kali).
Karena rumah Yanti dekat East Garden (bunnerong road) yah udah Yanti ajak dia ke rumah. Dia nggak banyak cakap, bahasa Inggrisnya juga nggak terlalu lancar. Sen Sen lebih banyak nangis. Entah mengapa.
28 Juli 1998
Yanti ketemu Sen Sen lagi, hanya sajaÂ…..Kali ini dia sengaja melompat ke tengah jalan Anzac Parade di depan Cash Converter, Maroubra. Rasanya seperti mau bunuh diri. Untung ada Mas Heru yang langsung menangkap tubuh Sen Sen dan membawanya ke pinggir jalanan. Sen Sen berontak hebat, tapi karena tubuhnya kurus dan lemah, dia gampang ditaklukan .
“Biarkan aku mati…biarkan aku mati….aku tidak mau anak haram jadah ini lahir dari tubuhku….aku ingin mati !!!!” Keadaan Sen Sen begitu histeris. Orang-orang di jalanan sampai merhatiin kami dan syukurlah mereka cepat mengerti dan segera berlalu, tidak menjadikan kami tontonan gratis (aduh, coba Jakarta seperti ini). Yanti dan Mas Heru akhirnya sepakat untuk mengantarnya pulang. Ternyata, dia di Sydney ini tinggal di gereja kecil di Maroubra. Kamarnya kecil dan lembab tapi tidak lebih lembab dari bantalnya yang demek karena terlalu sering dipakai alas untuk menangis. Suster Theresia menceritakan bahwa pada tanggal 15 Mei lalu, Sen Sen, di Jakarta hanya tinggal bertiga di rumahnya dengan pembantu dan adik perempuannya yang berumur 12 tahun, Mei Sin, mereka didatangi tujuh orang. Semua orang beringas itu memperkosa Sen Sen dan Mei Sin bergiliran dengan cara yang sangat tidak manusiawi disertai makian dan siksaan. Mei Sin akhirnya meninggal satu minggu kemudian karena infeksi vagina akibat pecahan botol kecap yang tertinggal di sana. Sedangkan Sen Sen hamil. Kedua orang tuanya sedang berada di Taiwan waktu itu karena sedang melakukan perjalanan. Oleh sebuah LSM, Sen Sen dikirim ke Sydney karena dia malu dan takut bertemu kedua orang tuanya serta selalu berusaha untuk menggugurkan kandungannya. Seluruh keluarganya yang tersisa juga sudah berusaha kesana kemari mencari orang yang bisa menggugurkan kandungan tapi ternyata semua gagal karena janin itu begitu kuat dan tidak mau keluar. Akhirnya pihak gereja bersedia menampung Sen Sen karena kondisi Indonesia memang tidak memungkinkan untuk pemulihannya. Kelak anak yang akan lahir akan diadopsi jika Sen Sen bersedia menjadi biarawati, meskipun saat ini di KTP Sen Sen mencantumkan Islam sebagai agamanya. Mas Heru dan Yanti terkejut juga sih ry, tapi mau gimana lagi, habis pas ditanya ke Sen Sen, dia malah jawab, “Memangnya ada peraturan bahwa kalau di KTP Islam kita harus jadi orang Islam dan kalau tercantum Hindu kita harus jadi orang Hindu ? Saya nulis Islam di sana supaya gampang ngurus macem-macem aja kok. Habis, agama nenek moyang saya kan tidak diakui di Indonesia. ” Yah, no comment kalau gitu.
8 Agustus 1998
Yanti pingin nolong Sen Sen deh, tapi gimana caranya ? Hampir tiap hari, pulang dari kursus bahasa Inggris di AMES, Yanti mampir ke tempatnya, ngobrol dan ngobrol. Dia benar-benar seperti sebuah gunung es. Dingin dan sulit ditembus. Tapi Yanti nggak peduli, sampai akhirnya Sen Sen bisa nerima kehadiran Yanti sebagai temannya.
Diary, Yanti memang tulus kok mau berteman dengan dia, tidak ada maksud apa-apa. EhÂ…tunggu. Ada sih ternyata ry. Supaya dia melupakan pikiran untuk mengakhiri kehidupan janin kecil di perutnya itu karena itu menyangkut hidupnya juga. Merinding deh rasanya denger perjuangan dia untuk menggugurkan kandungan. Dari minum obatan-obatan, jamu, ramuan hingga diinjak-injak perutnya oleh seorang dukun di Sukabumi yang nyaris merenggut nyawanya sendiri.
Oh, AnakÂ…Anak. Ada orang yang sangat mendambakan kehadiran anak tapi di bumi yang lain ada orang yang sangat ingin menolak kehadirannya. Sen Sen nggak salah sih ry menurut Yanti, habis dia masih muda, baru 18 tahun, beda sepuluh tahun dengan Yanti tapi mengalami perkosaan yang sangat sadis. Kehamilannya itu bikin traumanya susah dihilangkan.
29 Agustus 1998
Akhirnya, suster Theresia mengizinkan Sen Sen untuk tinggal bersama kami. Mungkin karena hampir tiap hari Yanti mengunjungi Sen Sen dan akhirnya Yanti bisa juga bersahabat dengannya. “Saya belum memutuskan apa-apa suster, tapi sementara itu, saya tetap punya kebebasan untuk memilih mau beragama apa bukan ?”. Suster Theresia tidak bisa ngomong apa-apa lagi selain mengizinkan Sen Sen pergi dari gerejanya. Cuma, konsekuensinya, biaya hidup yang selama ini diberikan pihak gereja akan dihentikan. Syukurlah mas Heru tidak keberatan untuk itu. Cuma, itu berarti kami harus makin mengencangkan ikat pinggang, karena kami tidak bekerja. Apartemen kami kan terdiri dari dua kamar tidur, jadi Sen Sen tidur di kamar yang satunya lagi (padahal dulu kami memilih apartemen dua kamar karena ingin menyewakan kamar yang satunya lagi itu buat mahasiswa yang lain, share accomodation namanya). Kebetulan, Mas Heru sendiri ikut seminar di Melbourne, di La Trobe University selama dua minggu ini, jadi Yanti dan Sen Sen bisa banyak menghabiskan waktu bersama. Sst…Dalam keadaan normal, dia sebenarnya gadis yang sangat menyenangkan
4 September 1998
Innalillahi wa inailaihi rajiun. Ry, hari ini Wak Anna meninggal dunia. Yanti sedih deh, dia wanita lembut dan keibuan dan juga baik hati. AduhÂ….Yanti betul-betul sedih dan kehilangan deh. Udah ah, jadi nggak bisa ceritaÂ…..
7 September 1998
“Kenapa kamu begitu sedih Yanti ?”
Tiba-tiba, Sen Sen sudah ada di samping Yanti waktu Yanti lagi nunduk habis nerima telepon dari Papa yang ngasih tahu bahwa mama jatuh sakit. Mama sakit karena merasa sangat kehilangan Wak Anna. Sejak nenek meninggal waktu mama masih SMP, Wak Anna sudah seperti pengganti ibunya sendiri bagi mama. Mungkin karena perbedaan umur mereka yang cukup jauh, 15 tahun.
“Aku nggak sedih. Eh, sedih sih, karena aku juga dekat dengan Wak Anna. Cuma aku kepikiran mama, karena dia jatuh sakit…..Kalau terjadi sesuatu, aku tidak mungkin bisa ke sana.”
“Kenapa ?” “Utamanya karena biaya. Dollar sekarang sudah tinggi sekali, kami tidak punya cukup uang untuk kembali karena kami di sini hanya hidup dari beasiswa. Ah….Mudah-mudahan mama nggak kenapa-kenapa.”
“Iya…semoga. Kita doakan saja semoga Wak Anna bisa bereinkarnasi pada tubuh orang shaleh.” Sen Sen mengucapkan doanya dengan sungguh-sungguh, mungkin dia mencoba untuk menghibur Yanti.
“Tidak Sen Sen. DI Islam tidak ada reinkarnasi.”
“Juga karma ?”
“Juga karma.”
“Lalu bagaimana seseorang mendapatkan ganjarannya jika dia sudah meninggal ?
Kan nggak fair kalau dia mati begitu saja. Terutama orang-orang jahat yang telah menghancurkan keluargaku.“ “Justru Islam sangat fair untuk hal yang satu ini Sen Sen…..”
Akhirnya ry, sepanjang hari itu kami ngobrol soal masalah agama. Hm, ternyata julukan Islam KTP itu bukan cuma lelucon saja. Tapi, malam ini, Yanti jadi memikirkan satu hal dan juga menyadari satu hal. Apakah Yanti juga termasuk golongan seperti itu ry ? Maksud Yanti, apakah orang-orang bisa membedakan mana orang Islam beneran dan mana orang Islam KTP ? Apakah mereka bisa menebak dengan tepat dimana posisi Yanti berada, apa identitas Yanti sebenarnya ?
12 September 1998
Mas Heru dan Sen Sen terkejut dengan keputusan Yanti. Yah…Yanti memutuskan untuk pakai jilbab. Sudah terlambat memang, tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Yanti teringat mama yang makin sering jatuh sakit. Yanti pingin doa Yanti untuk mama didengar oleh Allah. Doa anak yang shaleh kan dapat tiket VIP yah ? Bagaimana bisa jadi anak yang shaleh jika kita tidak masuk Islam secara kaffah ? Kamu tahu ry ? Mas Heru sih senang banget, sepanjang hari ini dia jadi obral senyum. Begitu juga dengan keadaan di tempat kursus. Mereka yang muslim dan muslimah mendatangi Yanti dengan suka cita dan mengucapkan selamat datang. Mereka menyapa Yanti “sister” sekarang. Ternyata jilbab itu benar-benar identitas seorang muslimah. Subhanallah.
17 Oktober 1998
Sen Sen kemarin dapat telepon dari pihak gereja yang mengingatkan untuk memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. Karena izin tinggal Sen Sen adalah refugee (pengungsi) maka biaya berobatnya ditanggung pemerintah. Sen Sen juga dapat tunjangan bulanan dari pemerintah, kecil tapi lumayan. Yanti ikut menemani Sen Sen. Sen Sen sekarang jauh lebih baik dari pada Sen Sen yang dulu loh ry. Sekarang dia jauh lebih tawakal, mungkin karena dia suka nanya masalah-masalah agama pada Yanti, mas Heru juga teman-teman di pengajian Rainbow. Tadinya mereka malas melayani pertanyaan Sen Sen, habis kadang-kadang Sen Sen suka membandingkan dengan agama kristen yang dipelajarinya di sekolah dan agama nenek moyangnya yang diturunkan dari keluarganya. Tapi, orang nanya kan tidak dilarang yah ?
HmÂ…..Kapan yah Yanti bisa datang berdua mas Heru untuk mendengar suara detak lembut dari dalam perut Yanti sendiri, seperti yang terdengar dari janin di perut Sen Sen ? OhÂ….
25 Nopember 1998
Pagi-pagi, jam sembilanan, Pak Ramdan udah nelepon nyuruh datang ke rumahnya karena ada orang yang mau masuk Islam dan belum ada saksi. Yah udah Yanti pergi aja berdua sama mas Heru ke rumah pak Ramdan di Rainbow street. Habis, pak Ramdan bilang nggak ada orang lain lagi yang bisa diajak karena lagi musim ujian. Kebetulan mas Heru sudah selesai seminar tesisnya dan lagi libur. Cuma, Sen Sen pagi-pagi udah pergi dari rumah, nggak tahu mau kemana. Jadi Yanti tinggalin pesan aja di pintu rumah nyuruh dia nyusul. Yanti sudah beberapa kali ngajak Sen Sen ikut pengajian di rumah pak Ramdan. And guest what ry ?Â…. Si mualaf itu ternyata Sen Sen!!! SubhanallahÂ…Â….Surprise sekali. Rasanya senyum ini tidak mau hilang dari wajah Yanti sepanjang hari ini. Lalu kami makan-makan sederhana. Di sini jika ada mualaf selalu disambut dengan sebuah acara syukuran kecil, untuk menyapa selamat datang. Bu Ramdan sendiri memberikan sebuah Al Quran kecil sebagai hadiah buat Sen Sen, juga teman-teman yang lain. Ada yang ngasih mukenah, sarung, sejadah, tasbih. Memang sih semuanya bekas, kecuali AL Qurannya tentu. Soalnya Bu Ramdan belinya berdua Yanti dua hari yang lalu di toko Libanon. Ih, berarti sampai dengan dua hari yang lalu mereka tidak ada yang ngasih tahu Yanti dong ?!?!Â…Tega banget, kan Yanti yang serumah dengan dia.
“Sen, sorry yah aku nggak ngasih apa-apa buat kamu. “
“Ah, justru kamu ngasih terlalu banyak ke aku. Kamu kenalkan aku dengan keindahan islam.”
“Subhanallah. Allah yang memberi hidayah buat kamu Sen, aku cuma kebetulan ada di saat dan tempat yang tepat saja ketika hidayah itu turun ke kamu.”
27 Nopember 1998
Dokter Husein nelpon. Dokter Bangladesh itu ngasih tahu hasil pemeriksaan Yanti selama ini.
Diary….Yanti nggak bisa punya anak ! Dokter Husein bilang, segala sesuatunya di tangan Allah, kalau Dia menginginkan sesuatu maka Dia tinggal mengatakan “Jadilah”, maka akan terjadi. Ah, dia cuma nyenengin Yanti aja. Karena sementara ini, hasil pemeriksaan mengatakan bahwa sulit bagi Yanti untuk punya anak karena saluran menuju indung telur Yanti mengalami penyempitan dan kondisinyapun sangat lemah. Ih, Yanti sedih deh. Kasihan mas Heru, kasihan ibunya mas Heru. Oh, apa yang harus Yanti sampaikan buat mereka berdua yah ? Yanti bingung, sekaligus juga…. takut. Terus terang ry, Yanti jadi takut kehilangan mas Heru; dia begitu baik, ngertiin Yanti, lembut.
“Yanti, ada apa ?”
Sen Sen udah ada di depan Yanti begitu Yanti selesai nerima telepon dari dokter Husein. Yanti ceritain aja kegundahan Yanti ke dia. Tidak menyelesaikan masalah sih memang, tapi senang rasanya ada teman berbagi cerita. Sampai-sampai, Yanti nangis di pelukan Sen Sen saking hotnya bercurhat. Tiba-tiba lagi, Sen Sen membawa tangan Yanti ke perutnya yang kini sudah mulai membuncit.
“Dia bergerak Yanti. Bisa kamu rasakan itu.”
Oh ry, Sen Sen benar. Janinnya bergerak lembut sekali. Telapak tangan Yanti bisa merasakan sesuatu yang keras sekaligus lembut bergeser kian kemari.
“Kamu sahabat saya Yanti, anggaplah anak saya anak kamu juga. Meskipun saya tetap takut, karena janin ini juga anak semua laki-laki jahat dulu.”
“Ssstt. Jangan ngomong gitu Sen. Semua bayi itu lahir dalam keadaan suci , orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau muslim. Lingkunganlah yang membuatnya memilih untuk menjadi jahat atau baik. ”
****
8 Desember 1998
Buat suamiku yagn tercinta.
Assalamualaikum wr wb,
Mas Heru, Yanti nggak tahu bagaimana harus memulainya karena masalah ini sangat sulit bagi Yanti. Ada banyak suara yang berkecamuk dalam kepala Yanti beberapa hari belakangan ini, hingga tulisan ini Yanti kirim ke kamu, ada satu hal yang harus kamu ingat, Yanti sangat sayang kamu.
Mas Heru, nggak terasa yah, perkawinan kita sudah mencapai waktu tiga tahun. Rasanya terlalu banyak saat-saat manis yang kita lalui bersama, hanya berdua. Saat-saat manis yang selalu memupuk rasa cinta Yanti hingga berakar makin banyak dan berbunga kasih yang sangat rindang. Terima kasih yah mas, semoga Allah selalu memberimu rahmat.
Hanya saja, rasanya rumah tangga kita akan selalu diisi oleh suara kita berdua. Dokter Husein sudah memberi tahu hasil pemeriksaan Yanti, Yanti sulit untuk punya anak, mas. Yanti tahu kamu kecewa, terutama juga, Yanti sudah mengecewakan ibu kamu, karena kamu anak semata wayang, satu-satunya tumpuan harapan untuk meneruskan generasi keluarga. Di AL Quran dikatakan bahwa istrimu adalah ladang untukmuÂ…Yanti mencintai kamu mas, tapi rasanya tidak adil karena keegoisan Yanti maka Yanti harus memaksa kamu untuk mendatangi ladang yang tandus. Untuk itu, dengan pertimbangan matang yang Yanti alami, Yanti rela kalau kamu mau menikah lagi.. Yanti ikhlas. Bahagiakan ibumu yang sudah tuaÂ….
Tapi, ada sebuah pertimbangan lain lagi nih masÂ….kalau kamu setuju, maukah kamu mengambil Sen Sen sebagai istri kamu ? Dia sahabat Yanti, Yanti merasa, dia gadis yang baik dan menyenangkan, paling tidak, Yanti bisa makin mempererat tali persahabatan Yanti jika kamu mengambilnya sebagai istri muda kamu. Pertimbangan lain, Sen Sen juga seorang mualaf dan terlebih lagi, dia sedang menanti kelahiran seorang anak yatim. Anak yang dikandungnya meski dia belum pernah menikah bukan karena dia wanita pezina. Sen Sen tetap gadis baik-baik.
“Yanti…Yanti…. Tolong yan.” Sen Sen berteriak histeris dari arah kamar mandi. Yanti yang sedang menulis surat segera berlari memburu. Di dalam kamar mandi, tampak Sen Sen yang duduk dengan kaki terbentang lebar. Cairan darah merah mengalir banyak dari sela-sela kedua kakinya.
“Ah, Sen, kenapa?”
“Aku terpeleset ketika hendak mengambil gayung.” Wajah Sen Sen terlihat pias.
“Aku telepon ambulance.”
Bagai berpacu dengan waktu, semuanya dikerjakan dengan cepat. Terlalu banyak darah yang keluar hingga Sen Sen harus dioperasi hari ini juga. Mas Heru datang tergopoh-gopoh langsung dari Uni berdua dengan pak Ramdan. Bu Ramdan, Agnes, Yenni, Mas Dono, Pak Sulistiyo menyusul satu jam kemudian. Sedangkan suster Theresia dan dua orang temannya datang tidak lama setelah teman-teman yang lain berkumpul. Suasana benar-benar menegangkan. Perawat-perawat banyak yang keluar masuk kamar operasi dengan langkah bergegas dan wajah tegang. Pukul dua siang, akhirnya terdengar suara jeritan seorang bayi. Kami semua yang berada di luar kamar mendekati pintu kamar operasi sampai akhirnya muncul seorang perawat yang masih menutup sebagian wajahnya dengan masker memperlihatkan seorang bayi mungil. Tapi dengan gerakan cepat sekali.
“”She is a girl.”
Kemudian bayi itu ditarik kembali ke dalam ruangan operasi. Yanti hanya bisa melihat sekilas wajahnya yang mungil dengan mata kecilnya yang terpejam dan mulut mungilnya yang terbuka, bersiap-siap untuk menangis lagi. Kemudian, Suster Theresia dipanggil ke dalam oleh perawat yang membawa bayi mungil tadi. Kami semua tidak mengerti mengapa justru suster Theresia yang dipanggil dan hanya bisa memandang kepergian suster Theresia masuk ke dalam kamar operasi. Yanti mendekati Heru suaminya.
“Mas, apakah bayi itu akan diadopsi oleh pihak gereja ? Kenapa suster Theresia yang dipanggil?”
“Ah, manah mungkin, Sen Sen kan sekarang sudah muslim Yanti.”
Bu Ramdan tiba-tiba sudah ada di belakang Yanti dan ikut memberi komentar tanpa diminta.
“Oh, tidak bu…karena dulu Sen Sen ke Australia ini atas jaminan pihak gereja, meski statusnya tetap sebagai pengungsi, dan awalnya, pihak gerejalah yang akan mengadopsi bayi yang lahir itu kelak, sebelum Sen Sen menjadi muslim sekarang. “ Wajah Bu Ramdan langsung tertekuk. Kami semua kembali memandang pintu kamar operasi dengan tegang. Kedua teman suster Theresiapun terlihat tegang.Tiba-tiba, perawat tadi muncul kembali dan memanggil Yanti dan Heru untuk masuk.
Wajah Sen Sen terlihat sangat pucat dan dia tampak terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Tangannya terulur menggapai Yanti dan lalu menggenggam erat tangan sahabatnya itu. Suster Theresia yang sedang berdiri di samping tempat tidurnya mundur mempersilakan Yanti dan Heru untuk mendekat sambil tersenyum ramah keibuan.
“Semalam aku bermimpi Yanti. Anakku lahir, perempuan, cantik sekali..kulitnya putih bersih, rambutnya lurus, lebat dan hitam.” Suara Sen Sen terdengar bergetar dan lemah.
“Tapi sayang, matanya sipit dan kecil sekali, seperti mataku.” Yanti bersiap untuk menanggapi dengan komentar tapi Sen Sen memberi isyarat untuk tidak memotong pembicaraannya.
“Aku tahu, kamu pasti mau bilang bahwa kita harus mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah karena itu pasti yang terbaik buat kita. “Sen Sen tersenyum lemah. Bibirnya kini sudah sangat pucat. Matanya kian sayu.
“Waktu aku kecil, kalau nenek bertanya kemana aku akan bereinkarnasi, aku selalu bilang aku ingin bereinkarnasi pada tubuh wanita jawa yang baik dan bermata bulat. Aku tidak pernah suka dengan bentuk mata sipit ini dan selalu berharap anak-anakku kelak tidak punya mata seperti ini.” Air mata Sen Sen mengalir. Yanti mendekat dan menghapus air mata Sen Sen dengan punggung tangannya.
“Tubuhku lemah sekali, rasanya mataku berat dan ingin memejam….Yanti, … a…ku.. su.. dah…” Aku tak sanggup melihat Sen Sen berusaha berbicara. Tubuhnya masih sangat lemah.
“Sudah Sen, jangan banyak bicara dulu. Tubuhmu masih lemah.” Segera kupotong kalimatnya. Tapi Sen Sen hanya menggeleng lemah dan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan padanya untuk menyelesaikan kalimatnya. Tangannya yang putih pucat itu memegang pergelangan tanganku seakan dia ingin agar aku tak pergi dulu dari sisinya. Aku pun bersiap dan menunggu Sen Sen bicara.
“Aku… su..dah bilang pada suster Theresia… bahwa… aku sudah ma… suk islam…, “ Sen Sen berhenti sejenak dan dia tampak semakin kepayahan mengatur napasnya yang tampak satu satu.
“Aku i… ngin anakku… ka… mu adopsi Yanti…” Aku terperajat.
“Tidak Sen, dia anakmu… Kita akan merawatnya bersama.-sama.” Aku menyerobot kalimat Sen Sen begitu saja. Sen Sen hanya menatapku lemah dan berusaha untuk tersenyum
“Di… a perem… puan.” Tiiiiitt…Alat deteksi tekanan darah di samping tempat tidur Sen Sen mengeluarkan suara alarm kecil. Ternyata tekanan darah Sen Sen turun dengan drastis. Perawat yang berada di kaki tempat tidur segera memencet bel hingga beberapa perawat dan dokter kembali masuk ke dalam ruangan dan kembali terlihat sibuk. Yanti berusaha memanggil Sen Sen tetapi seorang perawat menghalau Yanti dan Heru untuk segera keluar dari dalam ruangan. Keadaan begitu kritis. Terlalu banyak darah yang keluar ditambah usia Sen Sen yang masih sangat muda untuk melahirkan juga beberapa percobaan pengguguran kandungan yang dulu pernah dilakukannya secara sembarangan hingga menyebabkan beberapa luka dalam yang akhirnya membuat Sen Sen tidak dapat diselamatkan. Dia meninggal dua jam kemudian setelah mengucapkan kalimat syahadat dengan iringan air mata dari matanya yang sipit itu.
****
“Hei !”
Sapaan lembut Heru yang tiba-tiba mengagetkan Yanti yang sedang berdiri termenung di depan jendela. Menatap camar yang mengepakkan sayapnya si atas pantai Coogie.
“Lagi mikirin apa sih ?”
Heru berdiri di hadapan Yanti dan menghadiahkan sebuah senyuman. Yanti tersenyum. Di tangannya tampak Farah, anak perempuan Sen Sen telah tertidur nyenyak. Ini hari terakhir Farah di rumah sakit setelah melewati masa inkubator selama hampir dua minggu karena lahir tidak cukup bulan atau prematur.
“Eh, udah bobo yah dia….”
Heru menjentikkan telunjukknya di ujung hidung Farah yang mungil.
“Mas, nanti dia bangun…”
“Oh…” Heru spontan menarik kembali tangannya.
“Tadi pagi ibu telepon. Dia titip salam buat kamu, kata beliau, hati-hati, jangan bekerja terlalu keras dulu kalau belum kuat." Heru menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Yanti. Yanti kini sedang menatapnya dengan wajah tidak mengerti. Sambil tersenyum, Heru meletakkan tangannya di pundak Yanti.
“Aku beritahu ibu bahwa kita sudah punya anak, bayi perempuan yang lucu, yang lahir prematur. Ibu gembira sekali mendengarnya sekaligus sedih karena tidak bisa melihat cucu barunya di sini karena sedang mengalami krismon, dollar kembali menyentuh sepuluh ribu rupiah.” Yanti segera membalikkan badannya untuk memberi komentar tapi Heru sudah memberi isyarat padanya untuk mendengarkan keterangannya.
“Nanti saja di Indonesia kita beritahu perihal Farah….ada satu yang ingin kusampaikan padamu. Waktu aku baru menikah dulu, dokter Fadli memberitahu bahwa aku tidak mungkin punya anak. Kecelakaan yang aku alami waktu panjat tebing beberapa tahun yang lalu membuat salah satu tulang rusuk dan panggulku bengkok sehingga mengacaukan segalanya. Aku tidak pernah cerita ke kamu karena aku takut kamu kecewa dan meninggalkanku padahal aku tetap berobat untuk memperbaikinya.”
“Oh, mas….” Yanti ikut prihatin dan menyentuh jemari Heru, suaminya.
“Karena terburu-buru kemarin, kamu lupa menyimpan buku diary dan suratmu…Aku sudah membacanya. Kamu sungguh baik dan pengertian….Aku jadi merenung, dan sampai pada pemikiran….ada sebuah hikmah yang bisa kita ambil dari apa yang terjadi belakangan ini, Yanti…Ada banyak orang yang beranggapan untuk punya banyak anak tapi melupakan kualitas dari anak itu sendiri sementara ada orang lain yang punya kemampuan untuk meningkatkan kualitas seorang anak tapi tidak dikaruniai anak seperti kita…. Memperbanyak ummat bukan berarti tiap-tiap keluarga harus punya banyak anak Yanti, tapi bisa dengan menyatukan semua individu agar bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, saling tolong menolong hingga semua kekuatan menyatu dan akhirnya jumlah yang sedikitpun akan terlihat banyak dan kualitas yang tinggi dari jumlah yang bersatu itu akan mampu menggetarkan semua musuh.” Heru berhenti sejenak dan memulai kalimat berikutnya dengan tenang.
“Jadi….Apakah kamu setuju jika kita berhenti untuk memikirkan memiliki anak yang harus kita lahirkan sendiri, itu cerita kuno. Sekarang kita bisa mulai memperhatikan anak-anak muslim lain dan saling bantu untuk mengembangkan mereka agar menjadi generasi masa depan yang tangguh ? Jumlah sedikit tapi bermutu akan lebih sulit dihancurkan dibanding banyak tapi bodoh. Buat apa banyak jika hanya seperti buih di lautan yang begitu rapuh ketika bertemu dengan pasir yang halus ?” Yanti mengangguk berkali-kali tanda setuju. Matanya berkaca-kaca. Dia begitu terharu hingga tak mampu berkata-kata lagi.
“Kita mulai dengan si kecil Farah….Biarpun dia tidak memiliki dua buah bola mata karena keduanya rusak oleh jamu peluntur, kita bisa mengembangkan mata hatinya, hingga suatu saat dia bisa membayangkan betapa besar kuasa Allah yang membuat Camar-Camar itu terbang kesana kemari mencari makan di atas laut.”
*****
(Kenang-kenangan peristiwa mei 1998 di Sydney Australia, kisah Sen Sen terinspirasi dari kisah yang dituturkan oleh salah seorang korban kerusuhan mei98 di sebuah radio swasta di sana) [ 0 komentar]
|
|