|
Saling Mencintai Tapi Berbeda Akidah, Direstui Allah Tidak? Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Mbak Ade , saya mau tanya bagaimana pandangan Islam terhadap seseorang muslim yang saling mencintai dengan lawan jenis yang berlainan agama ? apakah ini tidak dibenarkan ? dan bagaimana hukumnya bila mereka menikah ? Apakah tidak direstui oleh Allah SWT ? atas jawabannya , saya ucapkan terima kasih.
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Titik dasar kita dalam ber-Islam, atau dengan kata lain, hal pertama yang harus kita lakukan dalam ber-Islam dan hal inilah yang menjadi pijakan kita dalam beramal dan beribadah seumur hidup, adalah Rukun Islam yang pertama. Mengucapkan kalimat syahadah. Yaitu, pengakuan bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pengakuan bahwa Hanya Muhammad-lah utusan Allah.
Artinya, pengakuan tersebut mengharuskan kita untuk mengakui, tunduk, taat dan menyembah hanya pada Allah semata dan juga mengikuti apa yang diperintahkan atau dilarang Allah dalam agama Islam lewat perantaraan Nabi Muhammad saw. Artinya, semua agama yang diturunkan sebelum dan sesudah Islam menjadi tertolak. Islam tidak mengakui keaslian agama-agama tersebut berikut kebenaran kitab sucinya. Allah telah menutup kenabian, menyempurnakan agama Islam dan melengkapi nikmat-Nya dalam agama Islam saja:
”Barang siapa mencari agama selain agama Islam, dan sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran:85)
Lalu, bagaimana jika telah terbit perasaan cinta di dalam hati terhadap lawan jenis yang berbeda akidah? Bagaimana pandangan Islam terhadap mereka yang ingin mewujudkan perasaan cinta mereka dalam bahtera rumah tangga? Dalam hal ini, Islam sangat melarang seorang wanita muslimah menikah dengan golongan non muslim! Sebaliknya, memberi sedikit beri kelonggaran (hukumnya mubah) jika seorang pria muslim menikah dengan wanita non muslim, tapi dengan syarat yang sangat ketat! Mengapa ada perbedaan tersebut? Apakah hal ini menandakan bahwa Islam adalah agama yang diskriminatif? Sama sekali tidak.
Ada hikmah yang tersirat dari larangan dan pembolehan tersebut.
Dalam perkawinan, sudah lazim bahwa seorang pria-lah yang akan menjadi pemimpin dalam keluarganya. Hal ini berlaku pada semua golongan, suku, agama dan strata sosial. Bahkan pada sebuah rumah tangga dimana si istri punya segalanya yang lebih dari suami-pun, maka akan berlaku fat-soen (tata krama) dimana si istri akan menjadikan suaminya sebagai pemimpin bagi diri dan rumah tangganya. Perihal suaminya seorang yang bisa diandalkan atau tidak, itu di luar rencana. Fitrahnya adalah seorang istri akan menjadikan suaminya sebagai pemimpin rumah tangganya atau si suami akan otomatis mengangkat dirinya untuk memimpin dan mengendalikan rumah tangganya.
Sebagai seorang pemimpin, otomatis segala kebijakan, peraturan, kehendak, kesepakatan dan sebagainya yang akan dijalankan dalam rumah tangga tersebut, termasuk untuk kelanjutan rumah tangga tersebut (yaitu pendidikan untuk generasi penerus atau anak) diputuskan bersama dengan pengambil keputusan utama di tangan si suami. Nah. Jika dalam kondisi seperti ini, ternyata suami istri itu berbeda akidah, tentu akan terjadi banyak kekacauan. Akan terjadi banyak kesimpang siuran berkaitan dengan aturan normatif dan tata nilai yang akan dijalankan dalam rumah tangga tersebut. Sebut saja contoh dalam hal kewajiban menjaga aurat pada wanita (anak dan istri), karena aurat wanita terlarang dilihat oleh mereka yang non muslim.
Contoh berikutnya, kewajiban untuk menjaga kebersihan diri dari najis dalam melakukan ibadah. Bagaimana jika suami istri tersebut akan melakukan hubungan intim suami istri? Dalam Islam, sangat dianjurkan untuk menjaga diri dari najis. Bagaimana bisa melakukan hubungan intim dengan seseorang yang tidak pernah membersihkan dirinya (saeumur hidupnya) dari najis yang keluar dari dalam dirinya ? Bukankah seorang pria non muslim tidak tahu tata cara mandi janabat dalam Islam? Apalagi berwudhu dan membersihkan najis lainnya yang masih tersisa (kewajiban sunnat pada pria muslim, hikmahnya berkenaan dengan anjuran untuk bersih dari najis air seni yang masih tertinggal/tersisa di dalam tubuh; pria non muslim tidak disunat jadi boleh jadi najisnya masih tersisa di sana). Bukankah seorang pria non muslim tidak pernah tahu cara membersihkan diri dari semua jenis najis seperti yang dikenal dalam Islam? Padahal si suami tersebut akan memasukkan air maninya ke dalam rahim kita, menanamkannya?
Lalu contoh lain berkenaan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam seperti bagaimana jika waktu untuk ibadah tiba dan dia sulit untuk memahaminya? Seperti ketika harus menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan misalnya. Dari kisah orang-orang yang menikah dengan pria non muslim, ada pengakuan bahwa pada bulan Ramadhan hampir sebagian besar dari mereka punya kesulitan besar untuk dapat penuh beribadah karena suami yang sulit untuk memahaminya. Apalagi jika datang keinginan untuk melakukan shalat malam, adakah si suami mau mengerti hal ini?
Contoh berikutnya, kewajiban untuk hanya memakan sesuatu yang halal dan toyyiban. Halal disini adalah segala sesuatu yang disebut nama Allah dan diniatkan karena Allah semata. Bagaimana dengan makanan yang diusahakan oleh si suami tersebut? Jika dia potong ayam misalnya, bagaimana kita akan memakannya karena kita jelas tahu bahwa dia tidak pernah menyebut nama Allah dalam semua kegiatannya, apalagi mengakui Allah di dalam hatinya?
Contoh berikutnya dalam hal mendidik anak. Sebagai seorang muslimah, kita tentu diwajibkan untuk membekali anak-anak kita dengan agama yang benar, Islam. Lalu bagaimana kita bisa memberi pengertian pada anak-anak kita bahwa Islam-lah agama yang benar sedangkan kita sendiri masih dihadapkan pada dilema sehubungan dengan agama suami kita yang jelas berbeda akidah dengan kita. Lebih dari itu, karena perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim terlarang, maka status perkawinan mereka tidak tercatat di KUA. Otomatis mereka akan mencari jalan menikah dengan cara lain. Pernikahan dengan cara lain yang tidak sesuai dengan rukun nikah Islam, tidak pernah diakui kehalalannya dalam Islam. Status hubungan suami istri mereka adalah melakukan perzinahan!
Sesungguhnya, perbedaan akidah bukan hanya menyentuh kegiatan muamallah (kegiatan antar manusia) tapi juga keyakinan akan ketuhanan. Mereka yang non muslim pada dasarnya terbagi atas beberapa kelompok. Yaitu mereka yang atheis/komunis (tidak mengakui sama sekali tentang adanya Tuhan atau menganut paham kebendaan; mereka yang murtad (keluar dari agama Islam), mereka yang musyrik (Yahudi/nasrani serta mereka yang menyembah berhala) dan terakhir mereka yang bahaiyah (meninggalkan agama tauhid untuk memeluk agama rekaan sendiri atau ciptaan manusia). Inti dari semua kelompok di atas, di hatinya tidak diakui keberadaan Allah sebagai Tuhan Yang Satu. Karena tidak diakui ke-esaan Allah, maka otomatis tidak diakui pula kekuasaan Allah pada semua lini kehidupannya. Ini tentu saja bertentangan dengan prinsip Tiada Tuhan selain Allah yang telah kita akui sebagai umat Islam. Dalam hal ini, karena berbeda akidah maka jika hal ini dibicarakan akan membuahkan perdebatan dengan pasangan hidup kita. Dan ini merupakan perdebatan yang sulit mencapai titik yang sama (dan memang tidak akan pernah karena memang berbeda keyakinan). Maka, tiada lain cara yang digunakan adalah menghindari membicarakan masalah ini dengan pasangan hidup kita. Otomatis, sikap ini akan membawa kita pada penegakan toleransi yang sangat toleran dimana lambat laun akan menggiring kita untuk semakin menjauhi Islam atau paling tidak semakin mendangkalkan pemahaman kita terhadap Islam. Semua demi cinta dan perdamaian dengan pasangan yang kita cintai. Hal yang sama juga berlaku pada anak-anak kita kelak. Nilai-nilai toleransi super longgar akan dicoba untuk diterapkan dan bahkan mereka akan diarahkan untuk mencari sendiri mana yang benar dan mana yang salah dalam beragama. Bersediakah ukhti melakukan atau mengalami hal tersebut?
Boleh jadi, perasaan bahwa kita perlu Allah, tidak begitu terasa pada mereka yang sedang dilanda cinta. Rasanya, akan lebih mendatangkan kesengsaraan jika kita kehilangan pujaan hati ketimbang kehilangan Allah. Tapi, benarkah cinta yang kita miliki dan nikmati bersama pujaan hati akan bersifat abadi selamanya? Bagaimana jika suatu saat nanti, yaitu ketika hal yang pada awalnya luar biasa dan selalu terasa dasyat sudah menjadi hal yang rutinitas, biasa dan tidak lagi istimewa karena seringnya bertemu dan perasaan aman karena sudah saling memiliki hadir; tiba-tiba muncul perasaan lain seperti kesal, benci atau marah? Akan tiba masanya dimana semua manusia akan sampai pada batas dimana rasa lelah datang dan rasa lemah tak berdaya melanda. Jika perasaan tersebut hadir, maka boleh jadi yang kita butuhkan adalah tempat mengadu yang selalu tersedia, yaitu kembali ke hadapan Allah. Duduk bersimpuh mengadu. Kembali memohon setelah sekian lama mencoba menampik keberadaan-Nya.
Ah. Ternyata, kehadiran Allah hanya dibutuhkan setelah habis semua daya upaya dikuras. Lalu, mengapa masih harus ditanyakan lagi, apakah Allah merestui perkawinan mereka selama ini?
Wallahu’alam.
”… Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yangmurtad di antara kamu dari agamamnya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka merka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 217)
“”…. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya….” (Al Baqarah: 221)
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|