[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Menentukan Antara Boleh Dan Tidak Bagi Manusia
Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Pertanyaan: Bolehkah seseorang memfungsikan dirinya sebagai penentu terhadap orang lain dalam setiap persoalan, dan kapan seseorang dibolehkan secara syariat untuk mengatakan, “ini buruk” dan “ini baik”?

Jawaban:

Tidak boleh seseorang memfungsikan dirinya sebagai penentu terhadap orang lain dengan melupakan dirinya sendiri –bahkan seharusnya seseorang memperhatikan aib dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum memperhatikan aib orang lain- , tapi jika seorang muslim memfungsikan dirinya sebagai pemberi nasehat bagi saudara-saudaranya, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran, maka inibaik, dan tidak dikategorikan seabgai memfungsikan dirinya sebagai penentu bagi orang lain.

Allah berfirman: ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Al Hujurat:10)

Rasulullah saw pun bersabda: ”Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana satu bangunan yang saling menguatkan.” (HR Bukhari -Muslim)

Allah berfirman: ”Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah: 2)

Rasulullah saw pun bersabda: ”Agama adalah nasehat.” Kami tanyakan, “Bagi siapa?” Beliau menjawab: “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nyaa, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya.”(HR Muslim)

Serta sabdanya yang lain: ”Tidak beriman (dengan sempurna) seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai (kebaikan) bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai (itu) bagi dirinya sendiri.” (HR Bukhari)

Maka hendakmnya seorang manusia terlebih dahulu memperbaiki dirinya kemudian berusaha memperbaiki orang lian, hal ini termasuk kategori mencintai kebaikan bagi mereka dan loyal (nasehat) terhadap mereka, bukan kategori merendahkan orang lain atau mencari-cari aib mereka,karena yang demikian ini dilarang oleh Islam, sebab yang dianjurkan adalah mencintai kebaikan bagi mereka.

Adapun ucapan seseorang, “ini buruk dan ini tidak”, seorang muslim tidak dituntut secara syari’at untuk mengucapkan demikian kepada saudaranya sesama muslim, kecuali jika benar-benar diketahui penyimpangannya atau maksud-maksud buruknya. Bagi yang mengetahui perihalnya, harus mengatakan apa yang diketahuinya, yaitu tentang keburukannya dan penyimpangannya; jika hal ini dipandang akan melahirkan kemaslahatan bagi agamanya, yaitu dengan memperingatkan orang-orang terhadap orang tersebut agar mereka bisa membentengi diri dari bahayanya. Tapi jika ini diucapkan hanya untuk menjatuhkannya atau mencelanya, maka ini tidak boleh, karena ini merupakan penghinaan secara pribadi yang tidak boleh mengandung masalahat.

Tidak diragukan lagi bahwa memberi ketetapan bagi manusia memerlukan ketelitian dan kajian, karena seseorang tidak boleh berpedoman pada dugaannya. Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka ini adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.” (Al Hujurat: 12)

Lain dari itu, dalam hal ini, seseorang tidak boleh berpedoman pada berita dari orang yang fasik, karena Allah ta’ala telah berfirman:

”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hujurat:6)

Karena itu, hendaklah seseorang menjauhi buruk sangka dan tidak menetapkan/mencap hanya berdasarkan dugaan. Hendaknya ia tidak menerima berita-berita begitu saja tanpa mengeceknya danmemastikannya dan hendaknya tidak mencap orang lain kecuali berdasarkan ilmu syariat. Jika ia memiliki ilmu syari’I maka ia bisa menetapkan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, tapi jika tidak mengerti hukum-hukum syari’at, maka tidak boleh menilai sikap-ssikap orang lain.

Hendaknay pula tidak melibatkan diri dalam ruang lingkup ini jika tidak memiliki ilmunya, karena Allah telah berfirman:
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.” (Al Isra: 36)

Dalam ayat lain disebutkan:
”Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yagn keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan doa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah, dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkanhujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-agakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)

Orang yang tidak memiliki ilmu hendaknya tidak memberi ketetapan hanya berdasarkan dugaan atau berdasarkan pendapatnya atau berdasarkan apa ayng terbetik di dalam benaknya, akan tetapi hendaknya ia diam karena perkara ini sangat berbahaya. Barang siapa menuduh seorang muslim dengan tuduhan yang tidak ada padanya, atau mencapnya dengan sesuatu yagn tidak sesuai, maka tuduhan itu akan kembali dan menimpa padanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

Sesungguhnya, barang siapa yang melaknat sesuatu yang tidak ada padanya, maka laknat itu akan kembali kepadanya (menimpanya)” (HR Abu Dawud)

Lain dari itu, seorang muslim tidak boleh mengatakan kepada saudaranya, “Hai orang fasik” atau “Hai orang kafir” atau “Hai orang jelek” atau ucapan-ucapan atau gelar-gelar serupa lainnya, karena Allah telah berfirman:

:Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”” (Al Hujurat: 11)

Jadi, seorang muslim harus hati-hati dalam masalah ini, dan hendaknya memiliki ilmu dan hujjah yang nyata sehingga bisa menetapkan terhadap dirinay terlebih dahulu, baru kemudian terhadap orang lain, disamping itu, hendaknya pula ia memiliki kejelian dan kemantapan serta wawasan luas dan tidak tergesa-gesa.

----- Artikel Kitabud Da’wah 7, syaikh Al Fauzan (2/168-170)
Dikutip dari: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan lainnya, dalam “Fatwa-Fatwa Terkini”, Jilid 2, penerbit: Darul Haq.
Dikutip oleh [email protected]


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved