|
Apakah Saya Memang Akhwat Yang Ngotot? Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Assalamu'alaikum. Saya mahasiswi. Saya tertarik dengan kakak kelas, kami masih sama-sama kuliah. Ketertetarikan saya itu sampai membuat saya memberanikan diri untuk menawarkan diri untuk dinikahi. Saya menawarkan diri, melalui perantaraan teman saya.
Namun dia belum menerima tawaran saya. Melihat penolakannya itu tidak membuat saya patah semangat. Saya melakukan pendekatan lagi dengan melalui sms dan email. Selama ini dia menanggapi sms dan email saya. Namun, ketika saya menanyakan kembali sejauh mana hubungan kami, dia selalu menjawab kami hanya sebatas teman.
Ohya, saya dan dia sama-sama ga ingin pacaran. Jadi kami ingin langsung menikah. Sedangkan untuk menikah sekarang dia belum siap. Alasan dia belum siap, dia ingin lulus terlebih dulu, kemudian ingin membahagiakan ortunya, baru kemudian dia menikah. dan target dia, maksimal tahun depan dia udah menikah. Kebetulan, memang dia sekarang kuliah sambil kerja di sebuah kantor yang cukup bonafit.
Alasan-alasan itu yang membuat dia sampai sekarang masih menganggap saya teman. karena memang ga ada istilah lain. Sedangkan, dia ingin memulai proses ta'aruf itu memang pada saat dia sudah benar-benar siap menikah.
Namun, sampai sekarang bisa dibilang hubungan kami cukup dekat. Cukup dekat di sms dan email. walau memang hampir selalu saya yang menghubungi dia terlebih dahulu, namun dia selalu menanggapi. untuk bertemu, memang kuantitas dan kualitasnya sangat kecil, mengingat kesibukan masing2.
Yang ingin saya tanyakan, boleh ga hubungan kami yg sepert ini? Lewat email dan sms, dan memang hanya sekedar ber-say hallo, atau menanyakan kabar, atau sekedar bercanda, dan bertukar cerita saja. Sedangkan dia selalu menegaskan, kami hanya teman. Ga lebih. Tapi dia juga menyatakan, ga menutup kemungkinan jika nanti hubungan ini berubah. tapi ga skrg.
Lalu apa yang sebaiknya saya lakukan? Untuk terus maju, kayaknya saya udah berusaha maksimal, sampai-sampai teman-teman disekitar saya pun mengingatkan kengototan saya. Tapi, untuk mundur, rasanya ga rela… ga rela!
Segini aja cerita saya. Terima kasih sebelumnya, atas tanggapannya. Walau memang kisah ini mungkin sangat sederhana sekali. Hanya masalah hati.
Wassalam
Jawab:
Ada beberapa point dari surat ukhti yang saya pikir akan saya garis bawahi (dan sangat berharap ukhti penanya memperhatikan, menyimak dan merenungkannya baik-baik). Point-point itu adalah sebagai berikut:
1. ”… Ketertetarikan saya itu sampai membuat saya memberanikan diri untuk menawarkan diri untuk dinikahi.…. Namun dia belum menerima tawaran saya. Melihat penolakannya itu tidak membuat saya patah semangat.” . Jika ukhti mau sejenak saja memperhatikan point yang saya garis bawahi ini, sesungguhnya, yang sedang ukhti ceritakan dalam e-mail ukhti, seluruhnya adalah berbagai macam usaha yang ukhti lakukan untuk menolak sebuah kenyataan yang sebenarnya dan berusaha untuk mewujudkan keinginan ukhti semata. Tak peduli lagi bagaimana reaksi orang lain.
Itulah yang sedang ukhti coba lakukan dari kemarin hingga sekarang. Itu sebabnya, penolakan dia yang secara tegas terhadap ukhti, ukhti artikan karena dia belum siap menikah untuk saat ini karena masih ingin A, B,. C, dst. Mengapa ukhti tidak mencoba menerima kenyataan bahwa penolakan yang dia lakukan itu bukan karena alasan a, b, c dst tapi karena memang dia tidak punya kecenderungan terhadap ukhti. Coba perhatikan jawaban-jawaban dan reaksi dia selama ini:
”… Namun, ketika saya menanyakan kembali sejauh mana hubungan kami, dia selalu menjawab kami hanya sebatas teman.”… ….. Jawaban-jawaban seperti ini sama sekali tidak lazim keluar dari seseorang yang memang menaruh minat. Jawaban ini merupakan jawaban jujur bahwa di hatinya kedudukan ukhti tidak istimewa, tidak ada tempat khusus untuk ukhti, karena ukhti memang kedudukannya sama seperti teman-temannya yang lain.. hanya teman biasa. Tidak lebih. Ini kenyataan yang sebenarnya. Dia sudah menyampaikannya dengan sangat terus terang dan saya tidak melihat alasan lain selain keterus terangan ini. Sudah. Jangan lagi berkelit mencoba untuk menyenangkan diri sendiri dengan menolak kenyataan yang sebenarnya telah nyata di depan mata.
Dalam etika sopan santun, seseorang yang santun memang harus membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Jadi jika dia membalas sms atau e-mail ukhti dengan cara yang baik, itu memang sudah seharusnya dia lakukan. Karena itulah sopan santun yang harus ditegakkannya agar tali silaturahim tidak terputus. Bisa jadi hubungan jarang dilakukan memang karena kesibukan masing-masing, tapi jangan menyenangkan hati sendiri dengan memberi harapan hampa bahwa dia tidak memulai “menyapa” karena dia sibuk. Karena bisa jadi, hal ini dia lakukan karena dia memang tidak ingin hubungan yang hanya teman ini berlanjut ke arah lain. Bisa jadi, dia ingin hubungan pertemanan ini seterusnya tetap sebagai teman. Tidak lebih. Tapi sekali lagi, karena hari esok adalah hak prerogatif Allah untuk menentukannya, maka dia tidak secara tegas mengatakannya (dan sekali lagi memang dalam etika sopan santun inilah hal yang benar. Terlalu terus terang terkadang hanya menyakitkan hati orang lain, jadi perlu diplomasi khusus). Itu sebabnya dia mengatakan bahwa dia tidak menutup kemungkinan jika situasi di masa depan berubah. Tapi tetap dalam hal ini, ukhti harus (maaf yah ukhti, maaf sekali) : tahu diri!.
2. “…. Lalu apa yang sebaiknya saya lakukan? Untuk terus maju, kayaknya saya udah berusaha maksimal, sampai-sampai teman-teman disekitar saya pun mengingatkan kengototan saya. Tapi, untuk mundur, rasanya ga rela… ga rela!…”
Hmm…. Ukhti. Biar bagaimanapun ukhti harus belajar untuk menerima kenyataan. Hal ini merupakan pembelajaran hikmah kehidupan tentang takdir. Ada takdir yang kita inginkan terjadi pada diri kita. Ada juga takdir yang sebenarnya ingin agar tidak terjadi pada diri kita. Untuk itulah kita harus punya cita-cita, lalu semangat untuk mewujudkannya, serta usaha yang maksimal untuk meraihnya. Tapi, pengetahuan kita terhadap segala sesuatu itu tidak pernah sempurna. Kita punya banyak keterbatasan. Juga punya banyak kekurangan. Allah Yang Maha Sempurna-lah yang memiliki pengetahuan apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Karenanya, kita wajib berusaha sekaligus wajib bertawakkal. Artinya, hasil akhirnya serahkan pada Allah, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatunya. Jadi, Jika sebuah usaha maksimal sudah kita lakukan dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Belajarlah untuk menerima kondisi ini dengan ikhlas. Percayalah bahwa ada sebuah rencana “besar” lain yang sedang menanti ketika keikhlasan itu telah hadir. Allah sangat mencintai-Nya hamba-Nya. Dia selalu memberi yang terbaik.
Demikian semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekhilafan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|