|
Muallaf II: Jika Harus Dikhitan Oleh Calon Istri Sendiri Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Mbak Ade, saya seorang dokter PTT. Di tempat saya bertugas, saya bertemu dengan seorang pria yang baik, yang bagi saya dia lah yang selama ini saya nantikan menjadi suami pendamping saya. Kami saling mencintai dan Insya Allah kami akan menikah. Calon suami saya (pacar saya) pria non muslim yang sejak 6 bulan terakhir dia sudah mulai mempelajarai Islam; belajar sholat dan melakukan sholat. Syukur Alhamdulillah dua hari yang lalu dia mengatakan kepada saya bersedia masuk Islam dan juga berkhitan.
Masalahnya, tempat kami tinggal (tempat saya bertugas) adalah daerah non muslim, yang tidak mengenal tradisi khitan dan tidak ada seorang ahli khitan pun. Hanya ada dua dokter, saya dan senior saya yang juga perempuan (muslimah) yang sama-sama belum menikah. Sehingga hanya kami berdua saja yang dapat melakukan tindakan khitanan tersebut. Oleh karena itu calon suami saya meminta saya saja yang mengkhitan dirinya, dengan pertimbangan saya adalah calon istrinya. Dia malu dan tidak bersedia kalau orang lain (rekan saya) yang mengkhitan dirinya. Mbak Ade, boleh kah saya mengkhitan calon suami saya?
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Seperti halnya yang pernah saya katakan pada jawaban saya di kasus serupa (baca: Muallaf Tanya Tentang Sunnat dan Syahadat), maka kembali saya katakan bahwa pada dasarnya, Islam hanya mewajibkan khitan bagi para lelaki muslim atau yang baru menjadi muslim. Perkara siapa yang mengkhitan tidak dipermasalahkan. Hanya saja, sering kali ada sebuah budaya yang berkembang di masyarakat terkait dengan kepantasan, rasa malu, dan etika saja. Jadi, jika ukhti bertanya bagaimana jika ukhti sendiri, yang nota bene akan menjadi calon istrinya dan kebetulan berprofesi sebagai dokter, yang harus mengkhitan calon suami ukhti sendiri, dalam hal ini bisa dikatakan silahkan saja. Tapi ada beberapa catatan yang rasanya harus saya tulis di bawah ini (meski terus terang, bisa jadi catatan tersebut adalah masalah cabang; bukan masalah pokok dari Islam itu sendiri. Karena Islam lebih menghendaki memberikan kemudahan ketimbang kesulitan dan syari’at Islam dibuat lebih dalam rangka mewujudkan kebaikan (maslahat) dan menolak kemunkaran (kerusakan/kemunkaran). Jadi jika ukhti tidak berkenan dengan apa yang ditulis oleh catatan yang saya berikan di bawah ini, tidak mengapa).
Dalam etika profesional sebuah pekerjaan yang terkait dengan bidang memberikan jasa dan pelayanan bagi masyarakat atau orang lain, dikenal sebuah istilah empati. Bagi siapapun yang menjalankan profesi pelayanan dan jasa, maka sudut empati terhadap klien/pasien haruslah ditegakkan. Empati yaitu, menerapkan sebuah situasi bahwa kita memahami kondisi si klien/pasien tapi tetap menjaga batas sehingga tidak terbit rasa simpat atau keterlibatan emosinal di dalamnya. Jika dalam pemberian pelayanan ternyata lahir sebuah perasaan simpati atau terjadi sebuah kondisi dimana ada keterlibatan emosional antara klien/pasien dan si pemberi bantuan, maka usaha pelayanan/pemberian bantuan harus dihentikan. Bisa dengan cara mengalihkan pada tenaga pemberi bantuan lain atau dengan tetap melanjutkan usaha pemberian bantuan tersebut tapi dihitung bukan lagi sebagai usaha profesional tapi lebih sebagai usaha yang bersifat pribadi. Saya pikir, ukhti tentu lebih memahami masalah ini.
Memang betul, cepat atau lambat, insya Allah ukhti dan calon suami ukhti akan menikah. Artinya, apa yang semula dilarang untuk dipegang, dilihat, disentuh dan sebagainya menjadi boleh. Tapi ukhti harus ingat, semua itu baru sekedar rencana. Belum terjadi. Masih bakal calon. Permasalahannya adalah, biasanya, justru karena semua hal yang serba boleh setelah menikah tapi dilarang untuk dilakukan sebelum pernikahan, menjadi sebuah misteri yang mengasyikkan bagi siapa saja. Itu sebabnya, satu sentuhan yang sangat biasa dan sangat sebentar yang dilakukan sebelum menikah, bisa menimbulkan sensasi yang luar biasa dan tak terlupakan pada mereka yang sedang dimabuk cinta dan belum terikat dalam sebuah pernikahan.
Hmm. Maaf. Mungkin, ketika melakukan khitan tersebut, bisa jadi ukhti mampu bersikap profesional sebagai seorang dokter. Tapi bagaimana dengan perasaan calon suami ukhti? Apakah dia bisa menguasai dirinya agar tidak terasuki “sensasi perasaan indah” karena “tahu” bahwa sang kekasih hati sedang “melakukan sesuatu” dengan “alat pribadi”nya? Belum lagi perasaan ukhti sendiri setelah melihat “hal yang sepatutnya dilihat setelah menikah” tersebut.
Ah. Mungkin sayalah yang terlalu berlebihan dalam hal ini. Dengan demikian, maafkan saya. Maafkan atas semua kelemahan dan kebodohan saya. Tapi jika boleh menyarankan. Saya lebih baik menyarankan biarlah teman ukhti yang melakukan khitan tersebut. Jika dia memang seorang dokter, katakan pada calon suami ukhti, bahwa dia adalah tenaga profesional sehingga calon suami ukhti tidak perlu malu untuk dikhitan olehnya. Untuk pendamping teman ukhti, bolehlah diajak perawat (syukur jika ada perawat lelaki atau mantri). Insya Allah itu lebih mendatangkan kemuliaan bagi kalian berdua.
Tapi, rasanya, di kota kecamatan ada rumah sakit kecamatan yang mengenal tradisi khitan. Ini karena khitan adalah budaya yang sangat umum di Indonesia. Atau bisa juga pergi ke rumah sakit kabupaten.
Hmm.. . Sekali lagi. Saya tidak bermaksud untuk menyulitkan. Ambillah yang menurut ukhti lebih mudah, karena Islam menganjurkan untuk mengambil yang termudah, bukan yang tersulit. Ambil yang paling ringan, bukan yang paling berat. Ambillah yang longgar dan jangan memperketat. Selama hal itu memang mendatangkan atau mendekatkan pada kebaikan dan menjauhkan atau menolak pada kemunkaran (kerusakan). Wallahu’alam.
Ketika Nabi Mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab; bila engkau telah mendatangi mereka maka serulah mereka agar bersyahadat bahwa tiada Tuhan –yang haq untuk disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Jika mereka mena’atimu dengan hal itu, maka beritahukanlah pula kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam; jika mereka mena’atimu dengan hal itu. Maka beritahukanlah lagi kepada mereka bahwa Wallah telah mewajibkan untuk membayar zakat yang (prosesnya) diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka untuk dikembalikan (diberikan) kepada kaum fakir mereka.” (HR Bukhari)
Semoga berguna.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 1 komentar]
|
|