|
Tanggapan Uneg2 Muallaf I & II : Pengalaman Pribadiku Sebagai Muallaf Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
kafemuslimah.com
Assalamu’allaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Yth Mbak Ade.
Membaca uneq-uneq yang berkaitan dengan muallaf saya tergerak untuk membagikan pengalaman saya kepada Mbak Ade. Saya baru masuk Islam 5 bulan yang lalu. Saya mengenal Islam dari kakak perempuan saya yang sudah terlebih dahulu memeluk Islam.
Mungkin bagi orang yang Islam sejak lahir, khitan adalah hal biasa dan bukan masalah besar karena dilakukan sewaktu mereka masih kecil. Tapi bagi saya (mungkin juga yang lain?) yang masuk Islam di usia dewasa, khitan menjadi masalah besar dan cukup memberatkan. Sehingga membuat saya baru benar-benar memeluk Islam 5 bulan yang lalu, padahal niat itu sudah ada semenjak 2 tahun yang lalu.
Niat saya untuk segera memeluk Islam sempat tertunda-tunda karena sejujurnya khitan saya pandang memberatkan. Memberatkan karena kejadian itu barkaitan langsung dengan alat pibadi saya dan dilakukan ketika sudah dewasa. Saya malu harus memperlihatkan alat pribadi saya kepada orang lain dan malu orang lain melakukan sesuatu terhadap alat pribadi saya. Namun sebab yang paling utama yang memberatkan saya untuk segera berkhitan (walaupun saya malu untuk mengakuinya) adalah karena saya takut untuk dikhitan, takut merasakan sakit saat dikhitan.
Sempat beberapa kali saya diajak ikut khitanan massal dimana terdapat juga beberapa muallaf dewasa yang ikut serta. Namun saya urung mengikutinya karena saya merasa privasi saya (sebagai pasien dewasa) tidak dilindungi, kami dikhitan beberapa orang secara bersamaan dalam sebuah ruangan oleh sejumlah dokter dan paramedis, dimana tidak ada sekat diantara kami. Ditambah lagi orang-orang yang bukan dokter dan paramedis dapat bebas keluar masuk ruangan. Belum lagi orang-orang yang ada disitu tidak henti-hentinya menatap kami yang sedang gelisah menunggu giliran. Saya jadi merasa menjadi sebuah tontonan.
Sempat juga beberapa kali saya sudah menunggu di ruang tunggu rumah sakit/klinik/praktek dokter namun begitu perawat memanggil nama saya untuk masuk ruang periksa, saya diam saja dan kembali mengurungkan niat. Karena belum bisa meredam rasa takut dan malu yang menghantui saya.
Melihat saya yang berulang kali urung untuk berkhitan, kakak saya sempat berkomentar dengan keras (kira-kira intinya begini:) “Kalau kamu mau masuk Islam, kamu wajib dikhitan. Kalau kamu tidak berkhitan, kamu bukan Islam. Kalau kamu tulus mau masuk Islam, kamu pasti bisa menghilangkan rasa takut dan malu kamu.” Sebagai seorang mantan perawat kakak saya kemudian juga menjelaskan proses khitanan dan menyakinkan saya untuk tidak perlu merasa takut kesakitan karena dunia medis sudah punya prosedur untuk itu.
Setelah “dimarahi” dan diberi tahu prosedurnya oleh kakak, barulah saya memantapkan diri untuk berkhitan. Ditemani kakak, saya mengunjungi sebuah klinik yang baru dibuka dan sepi, hanya saya pasien yang menunggu waktu itu. Setelah diminta menunggu beberapa saat, perawat muslimah berjilbab mempersilahkan kami masuk ruang periksa. Di dalam seorang dokter perempuan muslimah yang juga berjilbab menyambut kami dengan ramah, memperkenalkan dirinya dan perawat yang mendampinginya, dan menanyakan apa yang dapat dia bantu. Kakak lah yang kemudian menerangkan maksud kedatangan kami. Keramahan dokter dan perawat cukup menurunkan rasa ketakutan saya, sekalipun tidak sekaligus hilang sama sekali. Karena saat diperiksa tekanan darah, tekanan darah saya ternyata cukup tinggi mencapai 150 sehingga saya diminta untuk berbaring menunggu tekanan darah kembali normal.
Karena keramahan dan kelucuan dokter, perawat, dan kakak saya yang tak henti-hentinya melucu berangsur-angsur saya mulai merasa santai dan 30 menit kemudian tekanan darah saya kembali normal. Dan kemudian saya dikhitan yang ternyata tidak menyeramkam dan menyakitkan seperti yang saya bayangkan.
Demikian pengalaman saya. Bagi orang yang tidak mengalami, perasaan malu; berat; mungkin juga takut saat harus berkhitan untuk masuk Islam di usia dewasa seperti saya, mungkin tidak terbayangkan. Tetapi, seperti muallaf yang pernah mengirimkan uneq-uneq kepada Mbak Ade; sayapun mengalami yang mereka rasakan. Hanya dengan niat yang tulus untuk masuk Islam dan menjadi muslim yang utuhlah yang membuat saya (kami?) melupakan segala perasaan itu dan melaksanakannya.
Wassalamu’allaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Piere guro
[ 0 komentar]
|
|