|
Masaklah dengan Bumbu Cinta Jurnal Muslimah - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com “Wah, agak aneh juga ya Ci, kalau lagi dingin-dingin begini anak nggak mau makan? Alhamdulillah anak-anakku hampir semuanya jagoan makan. Cuma si sulung yang nggak terlalu bernafsu makan dan pemilih, karena dulu waktu bayi dibiasakan makanan instant. Kalau adik-adiknya, semua doyan makan karena Inna biasakan mereka makan masakan Inna sendiri. Mungkin karena masakan sendiri punya bumbu khusus ya, yaitu bumbu cinta”
Aku termangu didepan layar komputer membaca email sahabatku yang tinggal di seberang lautan sana. Sebagai ibu yang baru punya satu anak berumur 6 bulan, wajar saja aku begitu panik saat anakku mogok makan. Berbagai jenis produk makanan bayi kuberikan, tetapi selalu dimuntahkan atau dia melengos, tak mau melihat makanannya. Bayiku hanya mau ASI. Ah, anandaku, betapa Bunda sedih memikirkanmu...
***
Aku mengingat-ingat kembali masa kecilku. Apa sih yang dimasak Ibu, sehingga kami empat bersaudara ini dulu selalu ribut berebut makanan buatan Ibu? Ibuku tidak pernah membiasakan anak-anaknya jajan diluar, jatah uang jajan diberikan secukupnya saja setiap awal pekan, bahkan disiplin menanyakan berapa rupiah kami menyisakan uang jajan kami untuk ditabung. Sebagai gantinya, di akhir pekan Ibu akan membuat menu masakan khusus. Sebetulnya menu itu biasa saja seperti mie goreng, bakso, siomay, roti dan kue-kue atau sejenisnya. Tapi bagi kami ada suatu kegirangan dan nikmat tersendiri saat makan masakan Ibu. Semua makanan kami makan dengan lahap. Entah beliau memakai bumbu apa dalam masakannya, namun seingatku Ibu selalu membisikan kata basmallah setiap kali akan mengulek bumbu, biar enak, begitu kata ibu.
Kebiasaan membuat makanan sendiri itu juga bermula ketika suatu hari aku dan adikku menceritakan kepada Ibu perlakuan salah seorang kerabat terhadap kami. Saat itu umurku masih sekitar tujuh tahun, aku dan adikku bertandang ke rumah salah seorang kerabat yang anaknya berulang tahun. Kami begitu takjub melihat kue tart coklat besar dengan lilin warna-warni menancap ditengahnya. Tapi sampai acara selesai, kue tart itu tak juga kunjung dibagikan. Adikku dengan polosnya merengek minta kue itu. Sambil membelalakan mata kerabatku bilang bahwa kue itu tidak untuk dibagikan. Sedihnya adikku, yang harus menyimpan liurnya kembali.
Seminggu kemudian kami kembali main ke rumah kerabatku itu, aneh, tiba-tiba kerabatku menawarkan kue tart yang ternyata masih dalam keadaan hampir utuh diatas meja. Tentu saja aku dan adikku sangat senang. Masing-masing kami mendapat sepotong besar. Ibu belum pernah memberi kami kue selezat itu. Sebelum makan, kerabatku berpesan supaya kami menghabiskan potongan besar yang diberikannya. Wuih siapa yang nggak mau menghabiskan kue bertabur coklat lezat itu??? Kami segera melahap sesendok besar potongan kue, tapi...tiba-tiba kami memuntahkan kembali potongan itu ke piring kami. Wajah adikku pucat pasi. Kue itu ternyata sudah busuk dan tengik. Kami menaruh piring yang masih berisi kue itu di meja dan segera berlari pulang, tak menghiraukan kerabatku yang marah-marah. Hingga saat ini masih terngiang di telingaku serapahnya “Dasar anak kampung, dikasih makanan enak nggak mau!” Kalau memang kue itu enak mengapa mereka sendiri tidak mau memakannya, dengusku saat itu. Waktu mendengar cerita itu, Ibu menangis sedih. Beliau menasehati kami, meski kami bukan orang kaya, tapi jika kami melihat makanan dan menginginkannya maka kami harus memberitahu Ibu, supaya Ibu bisa memasakkannya untuk kami.
Sampai saat usia dewasa, kami tidak pernah melewatkan makan masakan rumah, meski sebelum pulang kantor atau kuliah kami sudah sempat kenyang jajan diluar.
***
Tangis bayiku memecah lamunanku. Dia sudah bangun dan tentunya merasa lapar sekali. Segera kubuka lemari es melihat bahan apa saja yang dapat kuolah untuk makan siangnya. Anandaku, Bunda akan masak makananmu dengan bumbu cinta, mesin-mesin pabrik kaku itu tentu tak bisa meramu makananmu dengan rasa cinta dan sayang, tidak juga dengan lantunan doa mengiringinya.
Dengan membaca basmallah, aku mulai mengolahnya.
Melati Salsabila
The Netherlands
“Terima kasih Mbak Inna di Jepang, untuk inspirasi cerita dan resep bumbu cintanya” [ 0 komentar]
|
|