[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Serupa Tapi Tak Sama
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Lelaki tua di seberang jalan itu gemetar memegang kantong permen yang cukup besar untuk menampung uang receh pemberian orang-orang yang lewat. Usianya memang aku taksir sudah sangat tua. Pipinya tampak kempot, sebagai gambaran bahwa sebagian besar gigi gerahamnya sudah banyak yang tanggal. Rambutnya tampak berwarna abu-abu. Terburai tak teratur dan tampak kaku. Tak ingin rasanya memperkirakan kapan terakhir kali lelaki tua itu menaruh sampho untuk membersihkan rambutnya yang tampak sangat kotor tak terawat itu.

Tapi bukan itu yang membuat aku terpana, tak berkedip menatap keberadaan lelaki tua yang berprofesi sebagai pengemis di seberang jalan tersebut. Yang membuat aku terpana adalah, karena kemiripannya dengan seseorang yang sangat aku kenal sehari-hari. Kugosok-gosok mataku beberapa kali. Bahkan kacamata plus-ku sengaja aku bersihkan beberapa kali. Kaca dari kacamataku itu kini tampak sangat bening dan segera aku tenggerkan di atas batang hidungku. Lalu kembali aku menatap pengemis tua itu dengan seksama. Mataku pun sampai terpicing hingga nyaris terpejam.

“Subhanallah. Dia sangat mirip. Hampir saja aku menyangka dia adalah ‘dia’. Tapi mereka ternyata berbeda.” Ya. Aku kini yakin bahwa lelaki tua yang menjadi pengemis di seberang jalan itu berbeda dengan lelaki tua yang akrap dengan pandangan mataku sehari-hari. Tapi mereka ternyata berbeda. Perbedaannya adalah ketika lelaki tua yang menjadi pengemis itu mengucapkan kalimat untuk meminta belas kasihan orang lain. Tampak beberapa gigi seri di depannya sudah banyak yang bolong. Lelaki tua lain yang wajahnya begitu mirip dengan pengemis itu gigi seri depannya masih ada beberapa buah. Memang tidak berjajar rapi karena satu buah di antara deretan depan gigi seri tersebut tampak mencuat maju ke depan dengan sangat mencolok. Sehingga siapapun yang melihat lelaki tua yang aku kenal itu tersenyum, akan melihat sebuah gigi yang tampak mengintip malu-malu di akhir senyumnya.

Lelaki tua yang aku maksud terkhir ini adalah seorang tukang abu gosok. Dia setiap hari, selalu lewat di depan rumahku. Usianya memang sudah sangat renta. Dua keranjang abu gosok dipikulnya dengan bantuan tongkat pemikul di atas pundaknya. Jika sedang berjalan berkeliling kampung dari pagi hingga petang, langkahnya sangat tegap. Kakinya tidak pernah sekalipun mengenakan alas kaki. Itu sebabnya telapak kakinya tampak sangat datar dan lebar. Meski begitu, goresan-goresan yang menghiasi telapak kaki itu, adalah pertanda bahwa kakinya sudah sangat mengeras hingga tak lagi dapat merasakan panasnya jalan beraspal di siang hari atau tajamnya bebatuan jalanan yang tertapak. Lelaki itu memang memanfaatkan secara utuh “sepatu alam” pemberian Allah. Subhanallah.

Jika saja kalian sempat mendengar suara lelaki tua ini ketika sedang menjajakan abu gosok, perasaan kasihan mungkin akan segera terbit. Suaranya sangat memelas. Gemetar, tua dan lemah. Tapi jika rasa belas kasihan telah timbul di hati kalian, jangan pernah menaruh iba begitu mendalam sehingga kalian memberinya uang begitu saja. Pernah ada kejadian. Suatu hari, seorang ibu dari kalangan keluarga menengah sangat kasihan pada si tukang abu gosok. Serta merta dipanggilnya si tukang abu gosok dan dari dompetnya keluar uang lembaran lima puluhan ribu, melambai di depan mata si tukang abu gosok.

Melihat uang lembaran yagn cukup besar nilainya itu, si tukang abu gosok tidak serta merta menyambarnya. Wajahnya yang polos dan renta itu memandang lembaran uang tersebut dengan penuh tanda tanya.

“Wah. Ibu mau borong abu gosok saya yah? “ Ujarnya sambil tersenyum gembira.

“Tidak pak. Saya mau memberikan uang ini pada bapak. Kasihan bapak sudah tua.” Kontan wajah renta yang semula tersenyum itu terdiam kaku.

“Apakah ibu mengira jika sudah tua maka saya layak untuk jadi pengemis? Tidak bu. Terima kasih. Saya tidak ingin menerima apapun jika itu diberikan karena belas kasihan. Saya penjual, bukan pengemis. “

“Tapi buat apa saya beli abu gosok. DI rumah saya pakai sabun cair kok.” Si tukang abu gosok segera bersiap meletakkan kembali pikulannya di pundak dan mulai memanggul kembali keranjang abu gosoknya.

“Kalau begitu terima kasih bu. Saya pergi dulu.” Lalu lelaki tua itu pun berlalu dari hadapan wanita kaya yang dermawan tersebut.

Entah mengapa ketegarannya dan kesabarannya tersebut menerbitkan rasa kasih di hatiku. Pernah selama beberapa hari, suara rentanya tak terdengar sama sekali. Rasa khawatir segera terbit di hatiku. Sakitkah bapak tua itu? Atau jangan-jangan dia sudah meninggal dunia? Semuanya mungkin karena usianya memang sudah renta. Terlebih kebiasaan buruknya di masa muda dahulu yang kini merongrong masa tuanya. Bapak tua ini memang mengaku dahulu ketika masih muda adalah seorang perokok berat. Kini, ketika tiap-tiap rupiah yang terkumpulkan menjadi kian menipis dan harus berbagi kepentingan dengan keperluan hidup yang lain, kebiasaan merokoknya pun terhenti. Alhamdulillah. Tapi sayangnya sudah sangat terlambat. Karena pada akhirnya di masa tuanya sekarang, bapak tua itu mengidap penyakit batuk yang kronis. Tubuhnya pun kian ringkih. Kurus, tipis dengan napas tersengal-sengal.

Penantianku kian terasa mengkristal setelah lewat beberapa minggu tak mendengar suara teriakan “abu gosok” di depan rumahku. Aku memang tidak tahu dimana tepatnya bapak tua itu tinggal. Kami jarang ngobrol panjang lebar. Obrolan di antara kami mengalir singkat dan sekejap hanya sesekali bila aku membeli abu gosoknya tiap minggu. Hmm. Sebenarnya aku tidak begitu perlu dengan abu gosok tersebut (jaman sekarang sabun cuci piring sudah banyak yang canggih dalam perihal menghilangkan noda). Tapi membeli barang yang dijualnya berarti membesarkan semangatnya untuk terus berusaha mencari nafkah. Disamping juga bisa sebagai jembatan untuk menjalin tali silaturahim yang erat dengannya.

Kondisi ini sungguh sangat terbalik dengan kondisi lelaki tua yang menjadi pengemis di seberang jalan tersebut. Padahal mereka sama tuanya. Mereka juga sama rentanya. Bahkan wajahnya pun amatlah mirip (belakangan baru aku sadari bahwa tinggi pengemis tua itu lebih tinggi ketimbang bapak tua penjual abu gosok).

Jika bapak tua tukang abu gosok tetap giat berusaha meski harus menguras sampai titik maksimal kemampuannya, pengemis tua di seberang jalan sebaliknya. Dia memanfaatkan kerentaannya, ketua-annya dan semua keterbatasan yang diperolehnya di masa tuanya untuk menarik rasa belas kasihan orang lain. Mereka sama-sama gemetar jika berjalan, tapi arah langkah kaki mereka sungguh jauh berbeda. Dengan langkah gemetar, bapak tua penjual abu gosok itu keliling dari pagi hingga petang keluar masuk kampung mempertahankan pekerjaan halalnya. Sebaliknya pengemis tua itu, dengan langkah gemetarnya mondar-mandir kesana kemari di seberang jalan dengan menadahkan kantung permennya mengumpulkan rupiah demi rupiah dengan mengemis. Yang satu rajin, yang lain jadi terlihat malas. Yang satu sabar, dan yang lain jadi terlihat tidak sabar. Pada akhirnya, akan terlihat bahwa yang satu adalah mutiara sedangkan yang lain hanya sebutir kelereng belaka. Meski sama-sama putih dan berada di dalam lumpur, keduanya tetap berbeda. Serupa tapi tak sama.

Sama seperti setelah selama sebulan penuh ini kita menyaksikan penampilan para capres dan cawapres di berbagai media kampanye. Hahahahahahri Jumat ini, telah selesailah masa kampanye dan memasuki masa tenang. Tapi ada baiknya untuk sejenak melihat catatan kemarin guna menjelang hari pemilihan umum tanggal 5 Juli 2004 esok.

Jika melihat visi, misi, janji dan sebagainya dari mereka tampaknya akan sama dan serupa. Kesemuanya menawarkan corak perubahan yang kurang lebih sama dan juga mengkedepankan prestasi yang juga sama hebatnya. Dan kesemuanya juga sama mengaku sebagai sosok yang pro terhadap rakyat dan akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Tidak ada seorangpun yang tidak pernah turun ke pasar. Bahkan semuanya juga turun ke pesantren-pesantren dan mendatangi tempat-tempat umum lainnya. Plus hal yang juga baru adalah, semua capres tiba-tiba menganggap penting gelar “Haji/Hajjah” di depan namanya, dan mengenakan berbagai atribut keagamaan guna memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang taat beragama dan seorang yang cukup bisa diandalkan untuk memperoleh amanat karena memang seorang amanah.

Tapi ada satu yang membedakan mereka satu sama lain. DI antara mereka ada yang memang asli mutiara dan ada yang sebenarnya hanyalah sebutir kelereng dari kaca. Putih. Mengkilat, memikat pandangan mata tapi tetap hanya sebutir kelereng. Pertanyaannya, bagaimana menentukan yang mana mutiara yang asli dan yang mana hanya hanya sebutir kelereng? Itu pertanyaan yang harus dipecahkan oleh masyarakat.

Pada hari senin pekan depan, tanggal 5 Juli 2004 nanti, kita akan memilih teka-teki tersebut. Jika 155-an juta pemilih benar menggunakan hati nuraninya ketika memilih, maka terangkatlah mutiara asli. Dengan basuhan air, lumpur yang melekat di sekeliling tubuh mutiara tersebut akan tersingkirkan dan kilauannya akan menyenangkan hati dan insya Allah membawa kesejahteraan.

Tapi jika salah pilih, maka yang kita pilih tentu hanya sebutir kelereng. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh sebutir kelereng? Ada dua. Yang pertama menjadi permainan yang bisa disentil kiri kanan oleh mereka yang berpotensi sebagai pemain kelereng handal maupun yang pemula; dan yang kedua hanya menjadi pajangan rumah penghias mangkuk kristal di dalam lemari. Tak bisa digunakan tapi hanya bisa dilihat saja. Tak memberi manfaat lebih.

Kalau sudah begitu, mulailah shalat istikharah. Lalu buka kembali rekam jejak dan analisa yang jujur terhadap semua kandidat capres dan cawapres. Lakukan dengan hati yang bersih dan jika tiba saatnya nanti, pilihlah dengan nurani yang bersih. Apapun pilihan anda, menentukan masa depan Indonesia lima tahun mendatang dan apapun pilihan anda semua akan dipertanggung-jawabkan di dunia dan akhirat.
Allahu’alam.

--------- Jakarta, Juli 2004
Ade Anita ([email protected])

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved