[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Antara Harapan dan Realita
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Hik…Hik…Hik… tulisan tiga huruf yang berulang-ulang itu kerap aku temui di layar monitor ketika aku dan teman-teman melakukan aktifitas chatting. Bisa jadi, bagi beberapa orang itu hanya sebaris tulisan datar biasa dan bagi beberapa orang yang lain merupakan cetusan dari suasana hatinya. Sama seperti arti tulisan itu bagiku. Itulah gambaran suara hatiku. Sejak pengumuman hasil sementara PEMILU Capres dan Cawapres ditayangkan dalam teks berjalan di televisi, selalu kurasakan perasaan sedih dan sulit untuk menerima kenyataan.

Jika pada pemilu legislatif lalu aku kerap merahasiakan siapa parpol yang aku pilih, maka pemilu capres dan cawapres kali ini, jujur aku katakan pada banyak orang siapa capres dan cawapres pilihan hatiku. Dia adalah Pak Amien Rais dan Pak Siswono. Ada banyak alasan mengapa aku meletakkan pilihanku pada mereka berdua. Utamanya adalah karena aku percaya mereka adalah sosok yang amanah, paling bersih, dan paling mencintai rakyatnya.

Beberapa tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan Pak Amien. Waktu itu aku masih mengikuti suamiku di Sydney. Ketika itu, Pak Amien masih duduk sebagai dewan pakar ICMI. Beberapa kali dia melakukan dialog dengan para mahasiswa dan warga negara Indonesia di Sydney. Tentu saja atas undangan ICMI cabang Sydney. Orangnya sangat bersahaja, pintar dalam ilmu pengetahuan dunia, dan pandai pula dalam pemahaman ilmu agamanya. Subhanallah. Dalam seringnya pertemuan dengan WNI yang ada di Sydney tersebut, kerap kali dia mengemukakan kesedihan hatinya melihat ketidak-adilan yang dialami oleh masyarakat di tanah air, Indonesia. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang dalam karena usahanya menahan emosi sekuat tenaga, dia bercerita tentang ketimpangan di bumi Irian Jaya. Pak Amien dengan gaya bahasanya yang akrab di telinga siapappun, bercerita bagaimana masyarakat Irian yang tinggal di sekitar Freeport, harus mengais-ngais sisa-sisa makanan dari para tenaga kerja asing yang hidup sangat berkecukupan. Bagaimana orang-orang yang berkoteka itu, harus merelakan menukarkan barang-barang pusaka keluarga turun-temurun mereka berpindah tangan ke tangan orang asing yang menginginkannya hanya karena orang-orang berkoteka tersebut ingin mencicipi bagaimana rasanya sekaleng Coca Cola.

Tidak berhenti sampai disana cerita beliau. Di beberapa daerah lain, ketidak adilan juga terjadi. Para petani jeruk di Kalimantan, pada akhirnya harus patuh pada harga borongan yang ditentukan oleh pemerintah kala itu (Orde Baru) sehingga mereka yang semula bangga menjadi petani jeruk pada akhirnya putus asa dan ramai-ramai membakar hasil panennya. Nasib para tenaga kerja di perkotaan pun sama tragisnya dengan mereka yang tinggal di pedesaan. Buruh di pabrik, harus hidup jumpalitan agar upah sangat minim yang mereka dapatkan dari bekerja seharian bisa mencukupi kehidupan keluarganya. Pak Amien, juga dengan emosi tertahan bercerita bahwa dia pernah bertemu dengan seorang kepala keluarga yang menjadi buruh pabrik. Bapak ini bercerita bahwa istrinya yang punya anak balita, terpaksa harus mencampur susu bubuk untuk anaknya dengan air tajin (air cucian beras yang telah dimasak) agar anaknya dapat kenyang dan tidak menangis seharian karena lapar. Sementara si bos dan orang-orang besar yang duduk di kursi pejabat, menghambur-hamburkan uang mereka yang terasa tidak mendapat tempat lagi di dompetnya dengan bepergian ke luar negeri dan tidak bisa tidur jika belum makan dan minum makanan import yang untuk membelinya paling dekat harus di Singapura.

Karena kekritisan Pak Amien terhadap pemerintah Orde Baru, maka beberapa kali beliau masuk daftar orang yang ingin disingkirkan oleh pemerintah. Dari salah satu buku biografinya, diceritakan bahwa dia pernah sempat berpamitan pada istri dan anak-anaknya karena idealisme yang dia miliki tidak akan dia cabut dan ralat lagi hanya untuk menyenangkan penguasa kala itu; resikonya tentu saja ada selentingan kabar bahwa dia akan ditembak mati secara misterius.

Bahkan ketika banyak orang mengecam beliau sebagai tokoh yang ambisius, saya tidak sependapat. Bagi saya alasan dia maju sebagai capres sangatlah logis. Jika ingin melakukan perubahan bagi negeri ini, tidak cukup hanya duduk di MPR dan DPR saja. Meski itu jabatan ketua MPR sekalipun. Karena penentu jalannya roda pemerintahan dan penentu kebijakan untuk menentukan arah pembangunan berada di tangan Presiden sebagai eksekutif tertinggi. Jika di pemilu 1999 banyak orang yang memberi semangat pada Pak Amien bahwa untuk menjalankan roda pemerintahan, biarlah Pak Amien sebagai ketua MPR menjadi pembuat rel keretanya dan BU Mega yang menjalankan Keretanya dengan menjadi masinis. Pada kenyataannya, tidak dapat demikian. Meski si pembuat rel membuat rel sebanyak-banyaknya, tapi kekuasaan mau kemana kereta dibawa tetap berada di tangan masinis. SI pembuat rel tidak dapat berbuat banyak. Untuk melakukan perubahan, maka kita harus duduk di kursi mereka yang punya akses untuk itu! Jika tidak, maka harus puas sebagai penonton. Jangan kecewa jika skenario yang ditonton tidak sesuai harapan dan jangan sombong jika sesuai, karena sebagus apapun film, dia tetap sebuah tontonan yang bersifat sementara.

Bahkan ketika banyak orang yang menganggap Pak Amien adalah tokoh yang plin plan karena sebentar mendukung seseorang tapi tak lama kemudian justru menjatuhkannya. Atau sebentar bicara A tapi kemudian diralat lagi dengan bicara B. Saya kembali bisa mengerti. Islam memang menolak loyalitas buta. Jika ada sesuatu yang salah dan tidak benar, meski itu sesuatu yang kita amat sayangi sekalipun, meski imbalannya kita akan memperoleh malu besar sekalipun, meski dampaknya kita akan kehilangan segala sesuatunya sekalipun, kita tetap harus mengatakan bahwa itu salah dan tidak benar. Kebenaran sejati hanyalah milik Allah dan apapun yang kita pilih dan kita bela akan kita pertanggung-jawabkan di akhirat kelak. Itu sebabnya kemurnian hati nurani harus tetap terpelihara di dalam diri, sehingga mudah bagi kita untuk meminta fatwa pada hati nurani kita sendiri jika kita bertemu persimpangan pilihan.

Ah. Semakin banyak saya tulis alasan mengapa saya memilih Pak Amien, akan semakin menambah kesedihan hati saya melihat realita yang tampaknya harus saya hadapi dari hasil PEMILU. Rasanya harus diakui bahwa idealisme tinggal idealisme. Kenyataan berbicara lain. Bisa jadi, Pelangi di matamu telah mempengaruhi para pemilih hingga yang dipandang bukan lagi idealisme dan rekam jejak seorang sosok (track record). Seperti yang dikatakan suami saya, “Kita telah berusaha, Allah yang menentukan. Tapi usaha kita berdasarkan hati nurani yang benar itu, insya Allah telah dicatat. Mungkin Allah punya rencana lain. Wallahu’alam. Sekarang saatnya untuk tawakkal.” Jika pada beberapa teman mereka berhenti berharap dan berdoa bagi Pak Amien, saya mungkin insya Allah tidak berhenti berdoa dan menaruh harapan. Setidaknya, agar idealisme, kepedulian dan sikap kritis beliau tidak pernah luntur. Dan semoga idealisme, kepedulian dan sikap kritis kita semua juga tetap terpatri di dalam diri. Hingga suatu saat nanti, negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan dan Panji Islam berkibar dan menebarkan pesonanya bagi seluruh penghuni bumi. Aamiin.

--------7 Juli 2004
Ade Anita ([email protected])


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved