[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Menagih Janji
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Akhirnya, perhitungan hasil perolehan suara capres dan cawapres tahap pertama telah melewati batas 50%. Dari hasil tersebut, ada dua kandidat yang sudah merasakan ketenangan, yaitu Pasangan SBY-JK yang sudah dipastikan akan maju ke putaran kedua pilpres dan pasangan Hamzah-Agum yang dipastikan tidak akan maju ke putaran kedua pilpres tahap kedua. Selebihnya, tentu saat ini masih dihantui rasa kebat-kebit karena angka perolehan yang masih susul-menyusul.

Kebetulan, suatu sore kemarin, saya tanpa sengaja mengikuti diskusi di sebuah radio swasta (Radio Berita 68 H, gelombang 89.75 FM Jakarta) dengan judul “Pemilu, Presiden dan Masa Depan Demokrasi Kita”. Pembicaraannya antara lain Pak Ignas, M. Nasution, Syaiful dan Eep Syaefullah F. Diskusinya menarik, tapi karena mendengarnya di radio jadi hasil diskusi secara lengkapnya tidak dapat saya laporkan disini.

Hal yang menarik adalah, jika kelak SBY dan JK akan menjadi presiden terpilih pilihan rakyat. Kenyataannya adalah, perolehan suara dari Partai Demokrat yang tidak banyak di DPR, akan membuat kedua orang tersebut mengalami kesulitan untuk menjalankan roda pemerintahan, terutama jika berhadapan dengan DPR/MPR yang kritis. Karenanya, koalisi tidak akan terhindarkan. Efek domino dari koalisi ini adalah, akan terjadi kembali praktik dagang sapi. Dengar-dengar sih, praktik dagang sapi memang tidak akan terhindarkan karena sebenarnya, kubu SBY-JK memang tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup ahli (menguasai ilmu dan bidang yang spesifik di kabinet) sehingga memerlukan “pinjaman” tenaga ahli dari luar kubu mereka. Ini masih cuplikan dari salah satu pembicara di diskusi tersebut.

Lalu apa sih jeleknya presiden dan wapres dari sebuah kubu partai bersuara kecil di DPR? Jika seorang presiden dan wapres berasal dari sebuah kubu atau koalisi dengan partai dengan jumlah suara besar, maka ada jaminan bahwa presiden dan wapresnya akan punya keleluasaan untuk menjalankan kebijaksanaannya di masyarakat tanpa harus risau dengan kecerewetan dari DPR. Bukankah jika ada ketidak setujuan atas suatu kebijakan tertentu, sudah lazim DPR melakukan voting untuk menyatakan setuju dan tidak setuju?

Nah, sekarang bayangkan jika ternyata anggota DPR dan MPR tersebut ternyata bukan berasal dari para pendukung kubu presiden dan wapres terpilih. Hasilnya, dari diskusi tersebut muncul kekhawatiran bahwa SBY-JK pada akhirnya hanya akan melahirkan kebijaksanaan yang bersifat “abu-abu”, yaitu tidak bertentangan tapi sekaligus juga tidak menyetujui. Akibat terparah dari politik abu-abu ini adalah muncul ketidak jelasan atas segala sesuatunya. Untuk menghindari kondisi seperti ini maka lobi-lobi dengan cara berkoalisi menjadi sebuah alternatif pilihan. Ada banyak prediksi yang berkembang siapa akan berkoalisi dengan siapa dan dalam hal ini saya rada malas membicarakannya karena semua masih bersifat prediksi.
Sebenarnya ada sebuah posisi yang lumayan penting untuk dilihat ketimbang melihat koalisi. Yaitu posisi oposisi.

Oposisi adalah sebuah kubu yang tidak berada di perahu yang sama. Tidak mesti bersifat berseberangan tapi tidak juga berarti senantiasa beriringian. Fungsinya adalah menjadi pengontrol dan penyeimbang. Tapi sekali lagi, hal ini gemanya akan terjadi (seharusnya terjadi) di lembaga legislatif kelak (DPR/MPR).

Lalu, berikutnya apa yang menarik jika ternyata diskusi yang berkembang tersebut melulu hanya membicarakan tentang lembaga-lembaga tinggi negara yang kita sebagai rakyatnya besar kemungkinan hanya akan menjadi penonton? Yang menarik adalah lahirnya sebuah wacana betapa pentingnya sebuah lembaga yang berada di tengah masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk menagih janji-janji para presiden dan wakil presiden terpilih.

Ya.
Saya setuju dengan wacana tersebut. Entahlah. Mungkin karena pengalaman mengajarkan bahwa menggantungkan harapan pada DPR pun tidak dapat sepenuhnya sesuai dengan harapan. Ini akibat lobi-lobi yang sering terjadi guna mencapai kata mufakat sebelum lahirnya sebuah persetujuan atas sebuah kebijakan. Dengan kata lain, kita memerlukan sebuah lembaga yang bisa menjadi mengingatkan para presiden dan wakil presiden terpilih agar tidak ingkar janji. Posisi ini bisa dipegang oleh capres yang tereliminasi (dan mengambil keputusan untuk berada di luar sistem) bisa juga dipegang oleh
Lembaga independen dalam masyarakat yang tentu saja punya kompetensi untuk itu.

Kebetulan, saya punya beberapa catatan dari apa yang pernah dijanjikan oleh para capres dan cawapres selama masa kampanye pilpres tahap pertama dari berbagai surat kabar. Berhubung ada dua orang pasangan capres dan cawapres yang menduduki posisi pertama dan kedua, maka janji kedua pasangan tersebut akan saya tulis disini.

Janji kandidat capres dan cawapres dalam masa kampanye Pemilu Presiden Tahap Pertama:

SBY-JK

di Bidang hukum: antara lain, meninjau ulang semua peraturan dan kebijakan yang menghambat kebebasan hidup beragama.
DI bidang ekonomi, antara lain meningkatkan pendapatan per kapita menjadi 1.731 dollar AS pada tahun 2009. Membangun infrastuktur perekonomian di wilayah Indonesia bagian timur, membuat stabil harga komiditas.
DI bidang pendidikan: pendidikan gratis bagi keluarga yang tidak mampu.
DI bidang sosial: Mengurangi angka kemiskinan

Di Bidang pemerintahan: Membentuk koalisi kabinet terbatas, TNI/POLRI harus memiliki anggaran khusus untuk menyelesaikan konflik, dan akan mengangkat salah seorang putra asli terbaik dari daerah PAPUA untuk duduk di pemerintahan,menanda-tangani masalah otonomi khusus Papua.
Di bidang lain-lain selain bidang di atas: Dalam 100 hari pertama presiden tidak boleh jalan-jalan ke luar negeri, menggelar komunikasi rutin satu hingga dua klai sebulan dengan kalangan pres, pemulihan citra TNI/POLRI.

Megawati-Hasyim Muzadi;
DI bidang hukum: Menghukum seberat-beratnya pengedar obat terlarang, mengambil langkah taktis dan strategis untuk memberantas korupsi.
Di bidang ekomomi: Memberikan kredit tanpa agunan untuk usaha kecil dan menengah, subsidi pupuk, memberdayakan koperasi.
DI bidang pemndidikan: Mengangkat 100.000 guru pertahun, pembebasan pajak atas buku bacaan, pendidikan gratis bagi yatim piatu.
DI bidang sosial: Mengurangi angka kemiskinan hingga 45 %, melindungi kelompok minoritas (awal kesepakatan partai Damai Sejahtera bergabung sebagai pendukung Megawati adalah janji Megawati untuk meninjau kembali kebijakan yang berhubungan dengan perijinan yang harus dimiliki untuk mendirikan rumah ibadat di tengah masyarakat).
Di bidang pemerintahan: syarat mentri harus loyal kepada negara dam pemimpin nasional, cakap, bersih.
DI bidang lain-lain selain bidang di atas: Melanjutkan trans Kalimantan.

--- 11 Juli 2004
Ade Anita.



[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved