[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Ibuku Keras Sedangkan Bapakku Tidak Romantis
Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004

Tanya: Assalamu’alaikum. Wr. Wb,
Saya ingin konsultasi masalah kedua orangtua saya. Saya (29) anak kedua dari 3 bersaudara perempuan semua. Semua sudah bekerja, tinggal adik saya yg belum menikah dan masih tinggal dengan ibu. Ibu saya adalah seorang ibu rumahtangga biasa sedangkan bapak saat ini sudah menjadi pensiunan.
Sudah lama ibu saya sakit2an dan semakin parah 2 tahun belakangan ini. Menurut kami sebenarnya penyakitnya disebabkan karena kejiwaan. Ibu mengalami kekecewaan mendalam terhadap bapak. Sebenarnya ibu pun pernah minta cerai 2 tahun lalu tapi kami berusaha agar hal itu jangan sampai terjadi.
Masalah orang tua saya sangat kompleks. Mungkin diawali dari perkawinan beda suku. Dimana ibu saya berasal dari suku yg memegang system Matriakhat (garis ibu) sementara bapak dari suku dg paham patriakhat (garis bapak). Walaupun sejak menikah sudah tinggal di Jakarta, tetap sifat-sifat bawaan (adat, mitos, dlsb) itu terbawa juga. Ibu sering merasa bahwa harga dirinya diinjak-injak dan gengsinya tinggi sekali – bahkan thd suami sendiri – yang menurut kami tidak masuk akal. Banyak masalah yg diawali oleh kesalahan komunikasi.
Seperti masalah keuangan, terutama, yang juga menjadi polemik tersendiri. Sebagai ibu rumahtangga yang tidak punya penghasilan, ibu merasa terkekang tidak bisa menggunakan uang sebebas-bebasnya, misalnya tidak bisa sering-sering pulang kampung (jauh di seberang pulau) dan tidak bisa mengirim uang untuk orang-tuanya (nenek) atau saudara-saudaranya yang miskin. Bisanya hanya mengirim dari uang zakat saja. Bapak juga menyimpan sendiri buku-buku tabungannya dan suka sembunyi-sembunyi menghitung uang (ini menurut ibu, lho). Hal ini bertolak-belakang dengan bapak yang bisa bebas mengirim/membantu siapa saja yang dikehendakinya. Padahal menurut bapak dia sudah membebaskan ibu untuk memanage uang gaji (tidak termasuk penghasilan lain-lain). Dan anehnya masalah ini tidak pernah dibicarakan mereka berdua, sementara kami merasa sungkan bicara soal uang ortu.
Keluarga besar kedua belah pihak juga mempertajam masalah. Ibu sering curiga dengan saudara-saudara. Menurut prasangka ibu, saudara-saudara bapak punya maksud jelek atau memanfaatkan sifat bapak yang –kata ibu, "kepalanya pun akan dikasih kalo buat ibunya/sodara-sodaranya”. Mungkin benar bapak dan saudara-saudaranya memang punya banyak salah dimasa muda dulu terhadap ibu, wallahu’alam -karena kami hanya mendengar versi dari ibu saja, bapak tidak.
Bapak adalah tipe yang pendiam dan kebapakan- sangat trampil mengurus anak dan keluarga, tapi bukan tipe yang romantis yang bisa memanjakan istri. Selama ini kami bangga dan sangat mengandalkan bapak yang multi-talented. Semua orang yang kenal bapak pasti suka dan mengandalkan dia. Dia bisa jadi seorang “handy-man” seperti Mac Gyver, atau bisa jadi “ibu” yang pinter masak enak dan jahit baju bagus. Mungkin karena latar-belakang masa kecil bapak juga yang bikin bapak jadi seperti itu. Bapak adalah anak laki-laki tertua yang dijadikan tempat bergantung Mbah putri – karena mbah kakung punya istri banyak dan nggak bisa diandelin. Akhirnya bukan Cuma Mbah putri, sodara2nya pun ngandelin bapak dalam segala hal, termasuk materi.
Sebagai perempuan saya bisa merasakan bahwa ibu menuntut perhatian dan ingin bermanja-manja pada suami. Hal ini tidak bisa didapat dari bapak. Kami mahfum karena bukan begitu sifat bapak. Tapi sebagai istrinya yang merasakan langsung, mungkin ini nggak bisa dimaklumi. Ibu sering merasa dilecehkan kalo sodara-sodara bapak tanpa permisi minta ini-itu ke bapak, atau bermanja-manja ke bapak…sementara ia nggak bisa seperti itu. Apalagi ibu gengsian, nggak mau mulai duluan. Sifat bapak yang serba bisa termasuk urusan domestik juga ternyata mengganggu ibu. Ibu jadi merasa dilangkahi haknya dalam mengurus rumah. Masalah-masalah domestik seperti warna cat rumah, hiasan dinding, bunga-bunga, segala furniture, dll memang bapak yang menentukan. Kata bapak, ibu nggak punya selera seni. Pilihannya jelek-jelek, yah… walaupun itu benar tapi pernyataan seperti itu sungguh menyakitkan ibu. Ibu jadi merasa useless-tidak bisa apa-apa. Padahal beda banget dengan latar belakang ibu sebagai siswi yang paling cantik, pintar dan popular di sekolah dulu.
Dendam yang tidak termaafkan bagi ibu adalah saat ibunya (nenek kami) sakit-sakitan dan akhirnya wafat. Saat itu memang kondisinya sulit bagi bapak karena urusan pekerjaan. Bapak saat itu sangat membutuhkan kehadiran ibu sehingga meminta ibu segera pulang dari rumah nenek yang sedang sekarat. Begitu ibu nurut pulang, eh kecolongan… nenek kami meninggal. Bapak memang mengijinkan ibu balik lagi untuk menghadiri pemakaman nenek, tapi ia sendiri tidak bisa ikut. Setelah urusan pekerjaannya beres sebenarnya bapak mengajak ibu untuk kerumah nenek lagi tapi ibu menolak dan baru bersedia pergi setahun kemudian. Masalah ini selalu diungkit-ungkit setiap ada kesempatan, misalnya beberapa waktu lalu saat sepupu bapak meninggal dan bapak langsung pergi naik pesawat. Ibu membanding-bandingkan dengan saat nenek meninggal. Padahal situasinya kan tidak bisa dibandingkan. Itu pun bapak pergi dengan perasaan takut perang lagi. Saya tidak menyalahkan ibu bersikap begitu, karena kekecewaan mendalam terhadap sikap bapak dulu.
Setelah bapak pensiun, saya perhatikan ibu mulai terang-terangan berontak. Ibu mulai berani terhadap bapak. Dari dulu ibu memang sering bersikap & berkata-kata kasar, terutama pada anak-anaknya (sampai sekarang adik saya masih suka curhat tentang kata-kata kasar ibu yang menyakitkan hatinya). Kami prihatin sekali melihat/mendengar ibu mulai bersikap dingin, kasar terhadap bapak. Mungkin ibu berpikir ini saatnya melakukan pembalasan saat bapak sudah tidak punya power karena sudah pensiun. Kami mahfum, dengan berkata-kata kasar begitu bisa membuat beban hatinya lega, tapi sakit hati juga dengernya lama-lama.
Menurut kami bapak sudah banyak mengalah. Setelah pensiun, ibu minta dibuatkan warung kelontong untuk usaha yang memang sudah dicita-citakan sejak dulu. Selesai dibuat dan baru berjalan sebentar, ibu sakit. Nggak mungkin kerja lagi. Akhirnya bapak yang gantian ngurus warung. Padahal bapak sama sekali tidak suka duduk diam jaga warung. Menurutnya tenaganya terlalu berharga untuk disia-siakan nungguin cepe’an. Tentu saja bapak punya cita-cita sendiri setelah pensiun, tapi terpaksa menjalankan pekerjaan yang tidak disukai demi ibu. Sudah kami pikirkan untuk menjual/mengontrakkan rumah-toko tersebut, tapi belum laku-laku juga.
Sudah berjalan setahun ini (atau mungkin lebih ?) bapak-ibu pisah ranjang. Ibu yang memisahkan diri. Alasannya kata ibu, bapak sering complain dengan mulut ibu yang bau (karena diabetesnya menyerang gusi sehingga busuk) jadi ibu malu. Tapi pernah juga ibu curhat sama saya katanya sudah “jijik” denger suara ngoroknya bapak. Bapak sendiri tidak pernah bicara apa-apa soal ini dan kami malu untuk bertanya pada bapak.
2 tahun lalu bapak pernah kabur dari rumah gara-gara tersinggung ibu memaki-maki saudaranya yang tidak tahu berterimakasih setelah dimasukkan kerja oleh adik ibu. Saat itu bapak baru saja pensiun sehingga mungkin nggak kuat mental. Selama 10 tahun lebih memang bapak bekerja diluar daerah, tidak tinggal bersama keluarga. Pertimbangannya adalah kasihan pendidikan anak-anak. Diluar Jawa mutunya (maaf) rendah. Hanya sesekali ibu ikut bersama bapak, tapi tidak pernah lama karena ibu nggak betah. Untungnya bapak sangat mandiri. Tapi agak bingung juga saya dengan pernyataan ibu, katanya, “ Ah, biar aja bapak sendiri, toh dia bisa ngurus dirinya sendiri. Nggak butuh ibu.”
Saat bapak pulang, entah benar atau tidak tindakan kami, kami mengumpulkan seluruh keluarga dan memanggil sodara bapak juga sodara ibu. Maksud kami adalah ingin meng-clear-kan masalah. Memang akhirnya masalah tersebut selesai sampai disitu. Tapi ternyata nggak. Bapak sangat tersinggung karena merasa dirinya disidang dan ditelikung oleh istri & anakanaknya sendiri. Katanya, selama puluhan tahun bekerja diluar dihormati, dituruti kata-katanya oleh orang banyak, begitu pensiun keluarga sendiri pun tidak hormat lagi. Apa ini yang namanya “post-power syndrome” itu ? Tak ada sedikit pun maksud kami melecehkan bapak.
Sejak peristiwa itu, hubungan ibu dengan bapak yang semula memang sudah penuh kecurigaan jadi bertambah dingin. Bapak semakin takut melakukan apa-apa dan lebih senang pergi jauh-jauh dari ibu. Sebaliknya ibu justru merasa bapak berlaku seenaknya, nggak peduli dengan dirinya mentang-mentang punya mobil (jadi bisa pergi, sementara ibu kan nggak bisa nyetir) dan uang banyak.
Awalnya saya sering menjadi tempat ibu curhat terhadap ketidak-adilan sikap bapak sebagai suami dan kepala keluarga. Dan saya terpengaruh. Sementara kakak tertua saya menjadi tempat curhat bapak. Kami merasa aneh. Seperti buah simalakama, tidak mungkin kami bisa memilih antara bapak atau ibu. Kami sayang keduanya. Untungnya saya dan kakak cukup akrab dan saling mengkomunikasikan masalah oang-tua ini. Ternyata apa yang ibu ceritakan pada saya tidak sepenuhnya benar. Banyak fakta-faakta lain yang tidak diceritakan dan pengaruhnya besar untuk menggiring saya kearah kesimpulan yang ibu kehendaki.
Akhirnya saya dan kakak berusaha bersikap netral. Setiap ibu cerita, kita nggak langsung percaya sebelum dikonfrontasi ke bapak, demikian sebaliknya. Sikap anak-anak yang seperti ini membuat ibu marah karena kehilangan dukungan. Jadi sekarang ibu jarang curhat lagi, akibatnya ibu jadi lebih pendiam, pemurung dan penyakitnya tambah parah.
Kami sekeluarga, terutama saya dan kakak, sudah benar-benar bingung bagaimana harus bersikap ? Sudah sering saya coba menasehati ibu agar melupakan masa lalu dan melepas beban hati dan pikirannya. Kakak pun sudah minta ibu untuk memaafkan bapak. Tapi ibu tidak bergeming. Kami sedih sekali. Kami Cuma berharap kalau memang sudah dekat waktunya bagi ibu, supaya ibu insyaf dari segala rasa benci, dendam, dengki yang dipendamnya selama ini dan minta ampun karena telah bersikap kasar terhadap suaminya sendiri. Menurut agama Islam kan itu dosa besar, bukan ?
Mohon pencerahannya apa yang harus kami lakukan ? Apa kedua orang-tua kami harus diajak konseling ? Bagaimana bila mereka tidak mau ? Apa ibu-bapak masih punya kesempatan hidup bahagia sebelum mereka ‘pergi’ ? Karena Cuma itu yang kami harapkan…..
Terimakasih atas perhatiannya. Mohon maaf sudah mengajak pada persoalan kami yang rumit dan membaca berlembar-lembar surat kami.
– Wassalamu’alaikum.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu ‘alaikum wr wb,

Ukhti yang disayangi Allah, saya ikut prihatin dengan kondisi yang menimpa keluarga ukhti. Sudah cukup banyak usaha yang ukhti dan kakak ukhti lakukan tapi hasilnya masih kurang memuaskan. Ibu dan bapak tetap tidur berpisah .. apakah mereka masih punya kesempatan hidup bahagia sebelum mereka ‘pergi’?
Karena ukhti mengharapkan mereka dapat hidup bahagia… Tapi… pernah nggak ukhti iseng-iseng nanya ke bapak dan ibu (dalam kesempatan yang berbeda) apa yang dimaksud bahagia menurut pandangan mereka. Kalau ukhti sudah pernah bertanya ke bapak dan ibu, apakah pengertian ‘bahagia’ menurut mereka itu sama dengan apa persepsi ukhti tentang ‘bahagia’? Jangan-jangan bapak dan ibu punya pengertian yang berbeda tentang makna bahagia. Dan mungkin pula pengertian mereka juga berbeda dengan pengertian bahagia menurut ukhti ataupun kakak ukhti sendiri.

Ngomong-ngomong pernah nggak ukhti bertanya ke ibu tentang hal positif yang dimiliki bapak menurut ibu , dan juga sebaliknya bertanya ke bapak tentang hal positif yang dimiliki ibu menurut bapak. Kalau belum, tolong jajaki hal-hal positif apa yang mereka ingat. Ajak mereka mengingat tentang hal positif yang dimiliki pasangannya, pembicaraan jangan diarahkan ke kekurangan masing-masing. Oh ya, apa ibu dan bapak masih suka ketemu kalau lagi ada di rumah? Kalau mereka masih tinggal serumah dan masih sering ketemu, sempatkan (ukhti, adik dan kakak ukhti) untuk mengingat-ingat kenangan manis yang pernah mereka alami. Misalnya kenangan manis atau lucu (tapi tidak negatif) mereka waktu kali pertama bertemu dan ketika sedang melakukan “pendekatan” (kalau mereka dulu melakukan PDKT dahulu sebelum menikah), atau kenangan waktu melahirkan putri-putrinya yang ia cintai, atau berbagai topik yang mengingatkan bahwa telah begitu banyak masa indah yang mereka lalui. Tapi pembicaraan itu nggak perlu ukhti lakukan khusus satu hari, seperti dalam konseling. Ukhti, adik dan kakak ukhti harus berusaha mengajak bapak dan ibu berbicara bersama mungkin sambil menonton TV, atau pada kesempatan berkumpul bersama dalam suasana santai dan bercengkerama, atau ketika sedang menanti shalat isya, atau waktu-waktu santai lainnya. Bisa juga dibantu dengan melihat album kenangan yang mereka miliki, atau sesuatu yang menimbulkan perasaan bernostalgia di masa-masa indah dahulu. Seperti menanyakan, “Eh, sekarang lagu Setangkai Anggrek Bulan dinyanyikan lagi loh ama Chrisye. Waktu dulu lagu ini keluar, bapak dan ibu sudah bertemu belum yah?”.


Kedua orang tua ukhti membutuhkan waktu yang lebih berkualitas untuk ngobrol sesama mereka dan juga dengan ukhti, adik dan kakak ukhti. Tapi obrolannya yang santai saja, jangan membuat acara ngobrol seperti acara diskusi yang serius. Ngobrol yang santai tentang kenangan indah waktu ukhti masih kecil dan bapak sama ibu membantu ukhti membuatkan sesuatu (misalnya) mungkin akan bisa membangkitkan kenangan yang manis dari diri mereka. Seperti, “Eh, ingat nggak waktu aku dulu pertama kali belajar naik sepeda?” atau, jika punya keponakan kecil (entah itu anak kakak yang sudah menikah atau anak ukhti yang masih balita), lontarkan cerita, “Wah, si fulan ini lucu deh kalau sedang mengeryitkan hidungnya. Eh, dulu aku waktu masih kecil seperti ini nggak sih bu?” Lalu arahkan pembicaraan untuk mengeksplorasi bagian yang lucu dan menariknya saja, hindari ke arah bagian yang buruknya (jadi jika mulai terasa akan memasuki bagian yang sensitif, belokkan pembicaraan ke arah lain). Karena diskusi yang serius tentang hubungan mereka justru akan membuat mereka semakin tegang.

Dengan demikian fungsi ukhti, adik dan kakak ukhti ini lebih banyak untuk mencairkan suasana, supaya hubungan mereka dan juga ukhti, adik dan kakak ukhti dengan mereka menjadi lebih cair. Tapi yang perlu diingat jangan hanya ngobrol santai untuk sehari dua hari saja, setelah hari-hari itu berlalu lalu kalian kembali asyik dengan memasang muka serius. Usahakanlah acara ngobrol santai ini acara yang dinikmati bersama, misalnya kalau ada kesempatan ajak mereka shalat maghrib bersama. Kalau perlu ukhti N bisa janjian dengan kakak untuk mengajak mereka shalat maghrib bersama, misalnya hari sabtu sore, atau hari lain waktu ukhti, adik atau kakak ukhti bisa menyempatkan waktu bersama. Sekarang kan ada banyak acara pengajian yang cukup “nyaman” untuk diikuti oleh orang-orang baik tua maupun muda. Misalnya, ajak ke pengajian AA GYM di Masjid Istiqlal atau At Tiin yang diselenggarakan setiap satu bulan sekali itu. Atau pengajian Adz Zikra-nya Ustad Arifin Ilham, atau pengajian masjid-masjid besar lain yang mengundang ustad cukup ngetop yang memang dikenal santai dan materinya tidak berat (cari info sendiri yah, seperti Masjid Pondok Indah misalnya). Jadikan acara ini sebagai acara rekreasi keluarga. Diperjalanan, usahakan untuk menggandeng tangan mereka, tapi jangan memaksakan mereka untuk bergandeng tangan. Berlakulah seperti seorang anak yang menyayangi orang tuanya dan menginginkan untuk tetap bersama orang tua. Ceritakan betapa inginnya ukhti, adik atau kakak ukhti mendapat kesempatan bersama seperti ini. Itu hanya sebagian dari cara yang bisa ukhti, adik dan kakak ukhti kembangkan untuk kembali mengingatkan mereka akan masa-masa manis di masa lalu, dan masih ada kesempatan untuk menikmati masa-masa yang manis di masa datang, sampai waktu kita dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Tapi hal yang perlu diingat di sini adalah pentingnya peran ukhti, adik dan kakak ukhti sebagai ‘pencair’ suasana. Bantu agar suasana menjadi cair, pada awal jangan paksakan mereka untuk saling berbicara. Mungkin mereka pada awalnya hanya menjadi pendengar dari celoteh anak-anaknya saja, lalu berkembang menjadi peserta aktif lamban laun. Jadi biarkan semuanya mengalir bersama waktu, dan biarkan mereka merasakan bahwa mereka adalah ‘pasangan’ dan putri-putri mereka hadir karena adanya diri bapak dan ibu sebagai pasangan yang mencintai putri-putrinya. Bantulah ia menemukan makna dari kehidupan ini dengan cara yang santai. Karena mereka nanti akan dapat berpikir sendiri, dan akan merasakan ketulusan putri-putrinya yang mereka cintai.

Biarkan semua mengalir perlahan, jangan paksakan dengan diskusi yang serius seperti sesi konseling. Karena bapak dan ibu ukhti adalah orang yang sudah dewasa dan sudah mapan kepribadiannya. Mereka tidak ingin adanya interupsi dari pihak luar. Ia hanya akan melakukan perubahan, kalau internal system keluarga (dalam hal ini adalah ukhti, adik atau kakak ukhti) yang mencoba melakukan pendekatan. Jadi jangan paksakan membahas masalah ini dengan paman, uwak dan keluarga luas untuk membuat rapat keluarga. Hal ini justru akan membuat mereka semakin tegang. Tapi, ukhti, adik dan kakak ukhti-lah yang harus bertemu dan membahas bagaimana cara membuat bapak dan ibu bisa mengenang kenangan manis mereka. Buatlah strategi pendekatan yang halus dan jangan melakukan perubahan yang drastis. Misalnya, bila kakak ukhti jarang datang ke rumah bapak dan ibu, dan kebetulan kakak ukhti datang, cobalah kakak ukhti untuk mengatakan bahwa ia kangen sama bapak dan ibu. Ajak ngobrol santai, dan sebagainya. Dengan demikian, sebenarnya yang mesti ikut mengadakan perubahan itu adalah bukan hanya ibu dan bapak, tapi ukhti, kakak dan adik ukhti juga. Jadi, jika selama ini kalian punya perasaan sungkan, atau malu, atau diam-diam saja terhadap apa yang kalian rasakan, kalian juga harus merubah agar mulai sekarang kalian menjadi sosok yang lebih terbuka, tulus dan lebih lepas dalam mengungkap perasaan dan ekspressi bahasa tubuh dan lisan.

Karena ukhti juga harus menyadari bahwa hal-hal di atas, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan apabila ukhti, adik dan kakak ukhti juga mempunyai hambatan untuk berkomunikasi dengan bapak dan ibu. Alhamdulillah dari cerita ukhti di atas, tampaknya ukhti, adik dan kakak ukhti masih mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dan mampu berkomunikasi dengan mereka. Jadi tetaplah berusaha untuk menjalin komunikasi yang santai (relax) dengan kedua orang tua ukhti. Nikmatilah percakapan yang dilakukan, jangan melakukan seperti robot. Biarkan percakapan mengalir ke arah yang positif, juga alihkanlah pembicaraan bila pembicaraan itu sudah mengarah alirannya ke arah saling menjelekkan atau hal yang negatif lainnya.

Jangan lupa, berdoa setelah shalat wajib dan juga setelah shalat tahajud. Mohonlah pada Allah SWT agar ia membukakan rahmat-Nya untuk kedua orang tua ukhti dan mohonlah agar ukhti, adik dan kakak ukhti diberikan kesempatan untuk menjadi pihak yang mencairkan dan menyatukan kedua orang tua ukhti sehingga mereka dapat merasakan kebahagiaan di akhir hidupnya.

Mungkin sekian dulu ukhti N, selamat mencoba dan jangan berputus asa dalam berdoa dan bertindak untuk menyatukan kedua orang tua ukhti. Mudah-mudahan kebahagiaan akan menyertai ukhti sekeluarga di masa-masa yang akan datang, amiin.

Wassalamu ‘alaikum wr wb
Ade Anita dan I.R. Adi


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved