|
Labirin Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004
Kafemuslimah.com Matahari bersinar sangat terik di luar. Hampir sebagian orang yang berjalan di luar sesekali menghapus tetesan keringat yang mengalir, terkuras oleh panasnya sang bola api raksasa tersebut. Debu dan lalat saling beterbangan kesana kemari bersama rombongan angin siang yang tercipta dari lalu lalang kendaraan yang berseliweran. Di sebuah kampung, di sebuah rumah dan di sebuah ruang keluarga yang sederhana, di siang hari yang terik itulah kami berkumpul. Aku dan beberapa orang temanku. Di hadapan kami ada setumpuk majalah dan surat kabar, serta sebuah baki tempat menaruh sebotol minuman dingin yang telah berembun dan beberapa gelas. Terlihat juga kudapan makanan ringan yang mulutnya tidak lagi ditutup.
“Jadi, menurut kalian apa yang menyebabkan anak-anak tersebut bunuh diri?” Aku bertanya pada tamu-tamuku ini.
“Banyak De. Macem-macem. “
“Macem-macemnya itu apa?”
“Ya.. sekolah, ya duit, ya keluarga, ya teman, campur-campur deh.”
“Iman juga ngaruh.” Teman-temanku ramai memberikan komentar.
Aku mengundang teman-temanku ke rumah memang untuk mendiskusikan kasus bunuh diri yang banyak terjadi pada anak-anak belakangan ini. Memang bukan sebuah diskusi resmi tapi hanya sebuah acara kumpul-kumpul bareng sambil ngobrol (tapi topiknya aku arahkan). Teman-teman yang kuundang ini terdiri dari berbagai golongan Status Sosial Ekonomi dan Latar belakang Pendidikan yang juga beragam. Kesamaan mereka hanya satu. Mereka semua sudah menikah dan punya anak (kebetulan anaknya seumur dengan salah seorang anakku dan juga satu sekolah). Dalam setahun belakangan ini, setidaknya tercatat di media massa telah terjadi sebelas kasus bunuh diri pada anak-anak.
- Kasus pertama yaitu Kanita (15 th), yang tewas gantung diri di rumahnya di Jl Gardu PTG, Srenseng Sawah, Jakarta Selatan dengan motif yang tidak diketahui.
- Kasus berikutnya yang adalah kasus yang sangat terkenal, yaitu kasus Haryanto (12 th) yang mencoba gantung diri. Pada tanggal 25 Agustus 2003, Murid kelas VI Garut, Jawa Barat ini ingin mengakhiri hidupnya karena malu tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler senilai Rp 2500. Alhamdulillah Heryanto bisa diselamatkan.
- Pada tanggal 27 Januari 2004, Keinginan untuk memiliki televisi yang tak berhasil dipenuhi membuat Usuf Ambari bin Ejen (13 th) gantung diri di Kecamatan Ciidaun, Cianjur, Jawa Barat.
- Nurdin bin Adas (12 th), pada tanggal 8 Februari 2004 ditemukan tewas gantung diri di rumah kakaknya di Bayongbong, Garut, Jawa Barat. Diduga dia bunuh diri karena tak kuat menahan kerinduan kepada mendiang ibunya.
- Tanggal 14 Februari yang oleh banyak remaja yang terkontaminasi budaya barat sering dirayakan sebagai hari valentine atau hari kasih sayang merupakan hari yang terlihat sangat buruk bagi Nazar Ali Julian (13 th) di tahun 2004 lalu. Perceraian orang tuanya membuat anak ini kian merasa beban pikirannya terlampau berat dan tak tertahankan. Maka Nazar pun memilih jalan bunuh diri dengan cara menusukkan pisau ke perutnya. Nazar alhamdulillah berhasil ditolong dan dilarikan ke rumah sakit.
- Pada tanggal 25 Mei 2004, murid SMP PGRI Setu, Bekasi, Jawa Barat, Irfan Khairul Fazri (13 tahun) nekad gantung diri. Diduga hal ini disebabkan Irfan merasa tertekan karena belum membayar SPP.
- Dua hari kemudian, yaitu pada tanggal 27 Mei 2003, Mevi Susanti (15 th), siswi kelas 2 SMP di Tangerang, Jawa Barat, ini nekad menenggak obat nyamuk. Alhamdulillah dia berhasil diselamatkan. Penyebab gadis kecil ini mencoba bunuh diri adalah persoalan sepele, yaitu dia kecewa karena tidak boleh menonton acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI).
- Sedangkan besoknya, 28 Mei 2004 di tempat yang berbeda, sekitar pukul 10.00 WIB hari itu, sepulang bermain Nisa (7 th) menjumnpai kakaknya, Baroroh Barit (13 th) tergantung tewas di kamarnya di rumah mereka di kelurahan Jampiroso, Temanggung Jawa Tengah. Motifnya tidak jelas.
- Dan pada tanggal 3 Juni 2004, Aman Muhammad Soleh (14 th) siswa kelas VI SDN 04 Karang Asin, Cikarang Utara, Bekasi, nekad menenggak dua sachet racun tikus. Siswa SD ini malu karena belum membayar uang Ujian Akhir Nasional (UAN). Dia alhamdulillah berhasil diselamatkan.
- Sedangkan Khodijah (12 th), murid kelas V SDN Klampok 2, Warnasari, Brebes, Jawa Tengah, nekad membakar dirinya sendiri dengan bantuan minyak tanah. Pada hari itu, Rabu, 9 Juni 2004, Khodijah yang sedang bermain karena sekolahnya memang libur sementara murid kelas VI UAN, dihardik ayahnya agar segera menyusul ibunya yang bekerja sebagai pemetik bawang merah di Toko Surabaya tak jauh dari rumahnya. Sesampainya disana, ibunya, Karsih, yang sedang bekerja dibantu adik Khodijah, Sriharyati (10 th) malah marah besar padanya. Karena tak kuat dimarahi, Khodijah pulang ke rumah yang letaknya hanya beberapa meter dari Polsek Warnasari. Tak berapa lama kemudian warga dikejutkan oleh teriakan dari Khodijah yang tampak berlarian ke halaman rumahnya dengan tubuh dan pakaian yang rata terbakar api. “Saya anak yang tidak disayang oleh orang tua. Ibu saya lebih menyayangi adik-adik saya, jadi lebih baik saya mati.” Ujar Iptu Miswanto, yang ikut menolongnya menirukan pengakuan Khodijah. Khodijah akhirnya meninggal pada malam harinya (Sumber: Republika, 11/6/2004)
“Uh, saya sampai merinding deh De dengernya.” Maryani, temanku berkomentar setelah aku bacakan daftar panjang mereka yang bunuh diri tersebut. Maryani memang ibu-ibu yang paling polos di antara kami. Dia mengaku hanya lulus SD meski sempat mengecap bangku SMP selama satu setengah tahun.
“Jangan merinding dulu, aku minta komentarnya. Coba lihat deh alasan-alasan mereka yang bunuh diri. Kebanyakan tuh alasan yang sangat sepele kan? Yang nggak bisa liat AFI, yang nggak bisa ikut Study tour. Semuanya nggak masuk akal, itu menurut aku. Nah, menurut kalian gimana?” Aku bertanya pada teman-temanku.
“Nggak masuk akal itu menurut kamu De. Itu karena kamu nggak pernah punya masalah berat dalam hidupmu. Kamu kan sudah biasa hidup senang dan termasuk orang ada. Beda dengan kami.” Santi, ibu-ibu yang lain menimpali. Dia lulusan SMEA dan pernah bekerja sebagai SPG (sales Promotion Girl) di sebuah toserba.
“Eh, sama saja lagi. Aku juga begini-begini saja kok kondisinya.”
“Beda. Nih. Kamu pernah nggak nggak punya duit sama sekali, belum bayaran sekolah, nggak punya ongkos buat sekolah dan di rumah juga nggak ada makanan buat ganjal perut? Nggak pernah kan? Nah, mereka semua tuh pernah mengalaminya. Begitu juga dengan kami-kami ini.”
“Betul. Kadang, kita-kita yang miskin ini kalau dibicarakan oleh mereka yang ahli di tv-tv tuh ngerasa kok bahwa sebenarnya mereka yang berbicara tentang kemiskinan itu sebenarnya belum pernah tahu apa rasanya miskin dan benar-benar susah. Bagi orang miskin, hidup tuh rasanya memang Cuma kayak benang kusut. Susah dan emang nggak ada harapan buat bisa hidup enak. Kan, kamu tahu sendiri kan. Benang kusut yang kelibet-libet (tergulung-gulung hingga terlilit, red), nggak ketahuan ujung dan pangkalnya pokoknya tahunya tuh udah kelibet ajah. “
“Iyah betul. Nih, bayangin. Dari lahir, kami harus menerima bahwa hidup tuh susah. Mau makan, mau sekolah, mau mainan, mau pakaian, sepatu, semuanya nggak bisa begitu saja diraih. Yang ada Cuma harus ngerti bahwa orang tua tuh susah. Padahal kebutuhan buat macam-macam kan banyak. Mau minta siapa lagi? Tetangga kiri kanan juga susah. Sodara juga pada susah. Jadi, kalau hari kemarin susah dan hari ini susah, sudah pasti deh hari esok tuh sudah pasti susahnya. Yah mau apa lagi? Mau hidup sekarang kok, atau besok atau sampai tahun depan tetap saja kami bakalan susah. Ya udah, buat apa lagi hidup?”
“Tapi kenapa harus bunuh diri? Kan bisa usaha dulu gitu?” Aku bertanya lagi pada mereka.
“Usaha itu Cuma punyanya orang berada lagi De. Kami-kami yang miskin ini mah percuma. Yah kayak benang kusut. Kita tahu bahwa itu benang ada ujung dan pasti ada pangkalnya, Cuma sudah nggak ketolong lagi. Sudah terlalu kusut jadi nggak bisa lagi ditegakkan. Nggak ada jalan. Jadi putus asa.”
“Eh, nambahin. Kadang-kadang juga, lingkungan tuh ngaruh lagi. Nih, kayak gue waktu di sekolah dulu. Dulu, kalau kagak bayaran satu bulan nih, nama kita di tulis di papan tulis di depan kelas. Kalau dua bulan, dikasih surat peringatan. Tiga bulan nggak bayaran, nama kita bakalan dipajang di depan kantor kepala sekolah. DI papan pengumuman sekolah. Tuh. Kebayang nggak sih malunya? Ya bayangin aja. Seumpama nih, kita punya musuh. Lah, tunggakan kita ama sekolah tuh jadi senjata musuh kita buat nyerang. Eh, nggak usah banyak bacot deh loh, urus ajah tuh bayaran sekolah lo!. Tuh… malu kan? Belum lagi kalau di kelas ada gebetan. Wah. Minder abis deh kalau ketemu ama gebetan kita karena kita tuh jadi kayak parasit di sekolah. Maluu banget.” (Maaf jika kalimatnya kasar, teman-temanku memang kebanyakan orang betawi dan kami memang tinggal di perkampungan di pelosok kota Jakarta)
“Iyah bener. Bener. Sudah gitu teman-teman juga pada ngojokin. Kayak nggak bisa ikutan tour nih. Nanti pas ketemu diledekin, weee, kagak mampu lo ye jadi kagak bisa ikut tour. Istilahnya, kasian deh loh. Entar semua orang pada ngomongin tour, kita Cuma jadi kambing congeng doang. Entar diledekin lagi, kasian deh lo kagak tahu apa-apa, kagak ikutan sih.” Kemudian ramai-ramai teman-temanku berceloteh tentang penggalan masa kecil mereka yang sulit dan serba tidak enak.
Aku tercenung mendengar. Bisa jadi apa yang menjadi sangkaan teman-teman bahwa terkadang, apa yang diangkat oleh media, lalu dibicarakan secara luas di tengah masyarakat pada akhirnya hanya sekedar menjadi wacana ngerumpi saja. Jika pun ada sebuah aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang dan lagi-lagi disorot oleh media massa, hanyalah sebuah aksi panggung guna tujuan menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka peduli.
DI antara banyak kasus bunuh diri, hanya kasus Heryanto yang tampaknya mendapat perhatian banyak orang. Banyak artis yang datang mengunjunginya lalu memberi hiburan pada keluarganya, memberikan bantuan keuangan dan tak lupa memberikan tanda tangan bagi para penggemar yang karena mendengar mereka datang mengunjungi Heryanto juga ikut datang mengunjungi dan memenuhi rumah sakit untuk menonton sang artis pujaan. Kasus-kasus lain? WUSSHH… berlalu begitu saja.
Dari apa yang dikemukakan oleh teman-temanku aku jadi ingat apa yang dikatakan oleh Sosiolog UI, Imam B. Prasodjo, yang mengatakan bahwa anak-anak yang mengalami bunuh diri ini adalah mereka yang mengalami tekanan yang sangat serius. Baik itu tekanan sosial (social pressure) maupun tekanan kelompok (Group pressure). Tekanan ini bersumber dari banyaknya beban pelajaran, karena sekolah sangat berorientasi pada pelajaran normatif yangmenganggap nilai adalah segala-galanya. Para siswa tidak pernah dididik emotional inteligencenya. “Padahal, dari pendidikan emotional inteligence itulah, diharapkan anak-anak dapat memecahkan masalah-masalah hidup yang riil. Karena tak ada materi itu, mereka tidak punya life skill, rapuh jiwanya, sehingga mudah terguncang.” Katanya (Kompas, 16/6/2004). Adapun katup-katup pengaman yang dimiliki oleh seorang anak juga kondisinya serba tertutup. Katup masalah sosial pertama seorang anak adalah keluarga. Artinya, jika siswa mengalami masalah sosial dengan kehidupan sosialnya, ia berharap bisa memperoleh solusi di keluarganya. Namun, konsep ini tidak berjalan maksimal karena keluarga sudah tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat yang aman.
“Dalam contoh kasus anak yang mencoba bunuh diri karena tidak bisa ikut study tour, seharusnya di situlah peran keluarga, utamanya orang tua, untuk membesarkan hati si anak. Sebab, anak yang tidak dapat ikut tur bersama teman-temannya, secara psikis, dia tertekan karena kohesi kelompok yang kuat.” Kata Imam lebih lanjut.
“Sayangnya, keluarga tidak tahu betapa kecewanya si anak ini dan membiarkan masalah itu sehingga anak pun mengambil jalan sendiri.” Ujar Imam lagi.
Jika katup pengaman masalah anak adalah keluarga, maka katup pengaman bagi problem keluarga adalah komunitas. Mestinya, jika ada orang dewasa yang mengalami problem psikologis, tetangga-tetangganyalah ayng menolong. Namun, seringnya pola ini pun macet. Pasalnya, meski tetangga-tetangga tahu ada sebuah keluarga terbelit masalah, yagn muncul hanya ketidak pedulian. Perasaan tidak peduli ini, menurut Imam, bisa terjadi beberapa hal. Seperti takut dianggap mencampuri masalah rumah tangga orang lain atau mereka sendiri juga bermasalah sebenarnya. Mayoritas masyarakat Jakarta, dan masyarakat di pulau Jawa pada umumnya, hidup dalam suasana stres. Lilitan masalah ekonomi yang kian sulit diatasi, besarnya harapan yang dibebankan di pundak mereka, serta tuntutan lain benar-benar tidak sebanding dengan sumber daya yang dimiliki. Baik itu sumber daya milik pribadi maupun yang seharusnya menjadi milih publik. Kak Seto, dalam sebuah wawancara singkat di sebuah acara berita sore di stasiun tv swasta ANTEVE, juga menambahkan pergaulan dan televisi serta media massa ikut memberikan sumbangsih hingga kasus bunuh diri pada anak-anak terjadi. DI dunia tiap tahunnya tercatat sekitar 4 juta anak yang melakukan bunuh diri. Perilaku ini kebanyakan dipelajari dari lingkungan. Seperti melihat tayangan kekerasan di televisi, atau mendengar rumpian kasus ini yang ramai dibicarakan karena pesatnya arus teknologi komunikasi di media massa saat ini.
Aku melempar pandangan ke luar pintu rumahku. Matahari masih bersinar terik. Debu dan lalat masih asyik beterbangan kesana kemari. Disini, di rumahku, di sebuah kampung, di salah satu sudut kota Jakarta yang padat, di sebuah kota besar di Indonesia kami berkumpul dan berbincang-bincang.
Tahu labirin? Sebuah jalan berkelok-kelok dengan banyak sekat dalam sebuah kotak yang harus dilalui oleh seekor tikus putih untuk dapat mencapai sepotong keju kecilnya di ujung jalan berkelok tersebut. Kadang, bukan hanya keju itu saja yang bisa diperoleh oleh tikus putih, tapi juga pintu keluar yang bisa didorong untuk dapat terbuka sehingga udara luas kebebasan bisa dihirup. Permasalahan hidup ini boleh jadi seperti labirin. Penuh kelokan, dan kerap menghadirkan sebuah tembok yang tak bisa ditembus sebagai tanda bahwa jalan yang kita ambil salah dan hanya menghadirkan kekecewaan. Islam mengajarkan umatnya untuk bersabar dan terus berusaha. Jika bertemu jalan buntu, jangan marah dan putus asa karena setelah sekian lama menyusuri jalan pada akhirnya hanya menemui kebuntuan. Bisa jadi, karena ketidak tahuan kita maka kaki ini melangkah menuju ke jalan yang salah. Tapi hal ini bukan berarti bahwa segalanya berakhir begitu saja. Putar tubuh dan telusuri kesalahan yang lalu. Lalu ambil rute jalan baru dengan semangat baru. Mungkin di depan kita akan bertemu dengan potongan keju yang menjanjikan kelezatan dan pintu keluar yang didambakan. Tapi jika ternyata bertemu tembok buntu lain, itu artinya kita masih diberi kepercayaan untuk berusaha. Bukankah semakin banyak pelajaran yang kita ketahui kesalahannya semakin banyak pengalaman dan pengetahuan kita untuk melatih kebijaksanaan?
Wallahu’alam
------ Juni 2004
Oleh: Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|