[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Siapa Mau Beli Mukena?
Jurnal Muslimah - Thursday, 26 February 2004

(by Mawar-WS)

“Bu, tolong beli mukena ini!” kata seorang ibu lirih yang tiba-tiba sudah ada di antara ibu-ibu kampung Banjar yang sedang ngobrol. Tanpa diminta ibu itu langsung memperlihatkan mukena yang dibawanya. Masih baru.

“Lo, kenapa mukenanya dijual bu?” tanya bu Er keheranan. Bukankah mukena pakaian takwa muslimah ? Sarana menghadapNya ?

“Iya bu, nanti sholatnya bagaimana ?” timpal bu Ran.

Ibu itu tak tahan membendung butiran bening di matanya. Dia menangis. Semua jadi prihatin. Tapi juga bingung, kenapa dia mesti menjual mukenanya ?

“Lo ibu kenapa ?” tanya bu Sar.

“Kelihatannya ibu bukan dari kampung ini yah ? Memang ibu dari mana ?” yang lain ikut menimpali. Ibu yang ternyata bernama bu Ais itu masih belum mampu membendung tangisnya. Ibu-ibu yang lain saling berpandangan. Ada yang mengangkat bahu, ada yang geleng-geleng kepala, semua tidak mengerti apa yang terjadi pada bu Ais.

“Coba diminum dulu bu, biar rada tenang!” ucap bu Er yang rumahnya dijadikan tempat ngumpul ibu-ibu kampung itu mempersilahkan bu Ais untuk minum.

Wajahnya pasi. Tubuhnya kurus dan tak terawat. Usianya masih muda tapi tertutupi oleh keadaan yang pelik hingga tampak tua dan lusuh. Semua iba melihatnya.

“Ibu-ibu kan tau semua sekarang serba mahal. Harga barang-barang terus naik, kalau sudah naik susah untuk turunnya. Sementara saya hanya buruh cuci. Ketika semua kebutuhan rumah tangga melonjak tinggi, ibu-ibu pemilik cucian tidak lagi membiarkan cuciannya saya yang lakukan, mereka lebih suka mencuci sendiri, demi penghematan katanya.” Bu Ais mulai bertutur dengan sesekali terdengar isakannya.

Ibu-ibu yang lain tampak krasak-krusuk, membenarkan keluhan bu Ais. Semua juga merasakan imbas itu. Ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk. Rakyat kecil jadi ikut menunduk. Orang ‘gedean’ memang tidak merasakan hal itu, mereka akan tenang-tenang saja ketika rakyat kecil berebutan minyak tanah, karena ada isu embargo minyak. Atau mereka juga tenang-tenang saja ketika melihat antrian yang panjang di tengah teriknya mentari, rakyat kecil disetiap kelurahan menanti beras yang murah yang tak jarang berasnya pun kualitas rendah, rakyat mau apa ? demi perut keluarga, mereka hanya bisa menerima.

“Saya lagi butuh uang untuk membeli minyak tanah juga kebutuhan yang lainnya,” lanjut bu Ais.

“Tapi kenapa mesti menjual mukena ?” tanya seorang ibu muda berbaju biru lengan pendek dengan wajah yang berbedak putih, bedak dingin, penampilan yang menunjang “keademan pribadi” di tengah teriknya mentari. Ibu-ibu yang lain mengangguk. Pertanyaan yang dari tadi meringkuk dibenak mereka. Semua menanti penjelasan bu Ais.

“Saya nggak punya barang berharga untuk dijual. Saya tidak sanggup membayar angsuran mukena ini, tinggal 1 bulan lagi. Sementara anak-anak saya butuh makan”

“Kalau ibu menjualnya, ibu sholat bagaimana ?”

“Insya Alloh saya masih punya satu lagi, meski sudah lusuh dan compang camping,” tutur bu Ais. Sedari tadi ia hanya menundukkan kepalanya, tak sanggup menatap wajah-wajah yang ada dihadapannya saat ini. Berjuta rasa malu menghujamnya. Tapi keterpaksaan lebih menawannya dan mendesak-desak untuk berbuat, apapun itu asal halal jadi prinsipnya, meskipun banyak mengorbankan batinnya.

Kembali terdengar krasak-krusuk dan bisik-bisik dari kelima ibu-ibu kampung itu. Siapa yang akan membantunya ? Semua merasa iba. Tapi ini kan tanggal tua. Tanggal 25, tanggal tipis-tipisnya dompet. Masih ada seminggu lagi untuk terima setoran dari gaji suami. Semua menggeleng, tak punya simpanan sebelumnya.

“Memang berapa sisa tunggakannya bu?” seorang ibu yang dari tadi nyimak angkat bicara.

“Tunggakannya 25 ribu. Harga mukena ini 100 ribu, yah ga papa deh saya jual 50 ribu aja. Mukenanya belum pernah dipakai koq,” jelasnya.

50 ribu ? wah, ga ada uang nih, desah bu Sar dalam hati. Lantas dia masuk ke dalam rumah untuk kemudian kembali lagi dengan membawa tas kresek hitam, berisi serba sedikit kebutuhan untuk sekedar menyambung hidup hari ini.

“Maaf ibu, kebetulan saya lagi nggak punya uang, tanggal tua, kebetulan saya punya ini, mungkin bisa sedikit membantu.” Bingkisan itu diserahkannya ke bu Ais, tapi bu Ais tak mau menerimanya.

“Maaf bu, terima kasih. Saya nggak biasa meminta-minta,” tuturnya lembut.

“Oh nggak, ini pemberian tulus!” jelas bu Sar takut ada salah paham.

“Terima kasih ibu. Maaf, sejak kecil saya diajarkan untuk tidak menerima pemberian begitu saja,” bantah bu Ais kalem. Tangisnya tak terdengar lagi. Senyumnya mulai mengembang.

“Mungkin ibu-ibu memang belum punya uang, nggak papa koq, Insya Alloh saya bisa menjualnya ke ibu-ibu yang lain. Maafkan saya kalau sudah mengganggu dan membuat resah ibu-ibu. Permisi.”

DENGAN MULAI MEWUJUDKAN
IMPIAN TERDEKAT,
AKU INGIN MEMBUKTIKAN
AKU BISA MENANG KARENA
UJIAN DATANG TENTU UNTUK
SEBUAH PENINGKATAN

MENUMBUHKAN POHON MALU
KEPADA ALLAH SWT
YANG AKARNYA MENGIKAT HATI
DAN DAUNNYA MEMASAKKAN
OKSIGEN ISTIQOMAH
DAN KEBERADAAN-NYA SEBAGAI
PENEDUH PRASANGKA YANG KECEWA

(Mei 2002)

“Kisah by Mawar-WS (Puisi by Mentari-ZH)”
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved