|
Rencana Pernikahan dan Uang yang Berputar Sekitar Rencana Pernikahan Tersebut Uneq-Uneq - Monday, 26 July 2004
Tanya: Assalamu Alaikum Wr.Wb
Sebelumnya saya mau memperkenalkan diri dulu ya mba. Nama saya G. Umur saya baru 21. Langsung aja ya mba. Begini. Insya Allah bulan depan nanti G akan melangsungkan pernikahan. Itupun jika calon suami G nanti diperpanjang masa kerjanya (masa kerja calon suami G bulan April) jadi dari sekarang G udah mau mempersiapkan semuanya namun yang menjadi kendala tidak lain hanya masalah uang.
Mba. Dia tidak punya apa-2. Walaupun dia bukan dari golongan kebawah. Namun untuk mewujudkan impian indah itu dia tidak punya uang yang cukup.Isi dompetnya aja sekarang G tau ada berapa, termasuk yang di ATM. Jadi untuk beli mas kawin aja dia belum bisa. Justru yang sudah ada dana utk itu semua ada di tangan saya. Walaupun jumlahnya ga besar tapi G rasa cukup. Untuk selebihnya baru nanti diusahakan
lagi. Yang jadi masalah buat G sekaligus G mo tanyain :
Rencana saya, saya ga mau membebani dia dengan masalah uang. G tau dia laki-2 harus bisa berusaha sendiri. Tapi G tau mba. Cuma dari kerja aja dia dapat uang selebihnya nol dan G tau banget uang itu berapa jumlahnya yang dia terima setiap bulan. Maksud saya, saya mau berencana seolah uang saya itu uang dia dan dia nanti bilang sama orang tua dia dan juga orang tua G bahwa itu uang dia dan G juga ga papa ko karena (awalnya) G yakin uang itu pasti balik ke G lagi dari resepsi.
Tapi ternyata waktu G iseng tanya mama tentang pernikahan kata mama uang itu adalah uang yang dari pihak laki-2 untuk pihak perempuan dan diberikan untuk keperluan pernikahan dan nantinya uang itu menjadi hak mama sepenuhnya. Jadi seolah G udah "dibeli" dengan uang yang
nantinya akan diberikan calon suami itu ke pihak wanita. Disini saya tidak bisa terima, bagaimana mungkin kalo itu bisa terjadi sedangkan uang yang sekarang aja uang G sepenuhnya ?(Ituloh mbak, rencana saya untuk memberi pada calon suami uang saya padanya untuk diakui di depan ortunya dan ortu saya bahwa itu uang calon suami sendiri karena aslinya calon suami tidak punya uang). Apa itu sah
mba ? dan bagaimana hukumnya ? dan bukan lagi masalah ikhlas apa ga. Yang namanya manusia pasti merasa ga dihargai apabila dari awal mau mulai hidup baru harus pihak wanita yang .. yah .. begitulah mba ...
cuma masalah itu aja mba ... lucu ya ... atau malah sepele ? tapi buat G ini menyangkut perasaan G sebagai wanita ... itu aja ... untuk waktu dan perhatiannya G ucapkan terima kasih
Wasalam
G
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti Yang Dirahmati Allah. Sebelumnya, saya ucapkan selamat dulu buat ukhti atas rencana pernikahannya bulan depan. Semoga setelah kalian menikah kelak, Allah akan menjadikan keluarga baru ukhti menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Amien.
Sebelum saya berbicara panjang lebar tentang kasus ukhti, ada yang ingin saya jelaskan dahulu disini, yaitu tentang persoalan uang di seputar pernikahan dalam sudut pandang Islam. Dalam Islam, ada dua persoalan uang (materi) yang mencuat. Yang pertama adalah berkaitan dengan masalah mahar dan yang kedua berkenaan dengan biaya yang muncul di saat penyelenggaraan pernikahan itu sendiri (baik akad maupun mengumumkan perkawinan tersebut).
Mahar adalah semacam pemberian atau hadiah yang diberikan oleh mempelai laki-laki pada waktu akad nikah. Mahar ini adalah sesuatu yang halus yang menaburkan benih cinta dalam memulai kehidupan yang baru. Dan pemberian ini sesuai dengan kemampuan yang memberi, karena itu tidak terlarang kalau pemberian itu sedikit atau banyak, selama masih dalam batas-batas kemampuan. Pemberian ini merupakan lambang yang nilainya tidak terletak pada besar kecilnya, melainkan terletak di dalam perasaan orang yang memberikannya dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya (istrinya). Dan orang yang dermawan ialah orang yang mau memberikan sebagian dari apa ayng dimilikinya, oleh karena itu sama saja nilai spiritual sebentuk cincin besi yang diberikan oleh orang miskin dengan satu kereta emas atau perak yang diberikan oleh orang yang kaya raya. Bagaimana pun mahar adalah sesuatu yang tidak boleh pihak wanita dihalangi untuk mendapatkannya. Allah berfirman,
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….” (An Nisa:4)
Urusan mahar ini bukan semacam tukar menukar barang dagangan antar bapak (mengawinkan anak perempuan agar perusahaan kelaurga menjadi lancar dan besar misalnya), tukar guling antar keluarga (tuan B mengawinkan anak perempuannya dengan A, agar A juga mengawinkan anak perempuannya dengan tuan B), apalagi jika terjadi hal yang lebih nista dari itu (mengawinkan anak perempuan sebagai tebusan agar hutang keluarga lunas). Hal ini karena dikhawatirkan dalam pernikahan tersebut di atas tidak ada mahar (maskawin) yang diberikan. Karenanya, mahar yang berupa cincin besi itu adalah baik dan mahar kereta emas juga baik, selama hal itu mudah bagi suami untuk mendapatkannya. Iyadh berkata, “Seluruh ulama memperbolehkan mahar dengan apa saja asalkan kedua suami istri itu rela.” (HR BUKhari)
Sekarang yang kedua adalah masalah uang yang terjadi di seputar menyelenggaraan pernikahan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa pasti ada biaya yang harus diselenggarakan untuk penyelenggaraan pernikahan tersebut. Setidaknya, pasti ada biaya yang dikeluarkan untuk urusan administrasi di KUA kita dan biaya lain untuk acara makan-makan tanda syukuran sekaligus pengumuman pernikahan tersebut.
Untuk kasus ukhti, hal-hal di atas haruslah dipahami terlebih dahulu. Ada bagian dari uang yang berputar yang memang menjadi hak ukhti sepenuhnya (yaitu mahar) dan karena ini adalah hak yang harus ukhti terima maka tidak boleh keluar dari kantong/dompet ukhti tapi harus datang dari pihak calon suami. Besar kecil tidak menjadi persoalan selama itu diberikan dengan keikhlasan. Jadi pernyataan kamu yang mengatakan :
“Jadi untuk beli mas kawin aja dia belum bisa. “
haruslah dipikirkan lagi. Karena sebanyak apapun uang yang kamu miliki, yang namanya mas kawin tidak boleh kamu sendiri yang mengusahakan pengadaannya. Harus dia sendiri yang mengusahakannya. Jikapun ternyata bentuknya sangat sederhana, yah, memang jangan dilihat dari mahal atau tidaknya tapi keikhlasannya. Kalau memang mampunya sebegitu, jangan dipaksakan atau dimanipulasi lagi hanya karena khawatir takut ditertawakan atau dilecehkan orang. Intinya adalah jujur dan ikhlas dan bukan perkara jual beli seperti yang ukhti prasangkakan.
Seterusnya, untuk nyelenggarain pesta perkawinan, yang sangat sederhana sekalipun, tetap ada biaya yang harus dikeluarkan dan sekali lagi ini bukanlah persoalan jual beli tapi lebih cocok dikatakan sebagai kesepakatan. Secara syariat Islam, tidak diperinci bagaimana penyelenggaraan pengumuman pernikahan (walimah perkawinan) tersebut selama hal itu diselenggarakan dalam keadaan aman dari fitnah serta dengan memperhatikan kewajiban menutup aurat. Artinya ini masuk wilayah muamallah.
”Walimah itu adalah hak (benar). Menyelenggarakan walimah untuk yang kedua adalah kebaikan dan menyelenggarakannya untuk yang ketiga adalah suatu kesombongan.” (HR Thabrani)
”Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah, yang orang kaya diundang sedang orang miskin tidak diundang, dan walimah itu adalah hak…” (HR Muslm)
Disinilah mulai masuk kontribusi budaya setempat berkenaan dengan penyelenggaraan acara walimah perkawinan (pengumuman pernikahan) tersebut. Awalnya masuk sisi budaya dalam sebuah perkawinan di Indonesia sebenarnya bermula dari keinginan para orang tua untuk menasehati anak yang akan dilepas dengan sebuah kemasan nasehat yang bisa lebih berkesan (maklum, kalau dinasehati dengan omongan biasa mungkin si anak dikhawatirkan sudah kebal). Kemudian berkembang menjadi sebuah perhelatan yang dilakukan dengan dua buah tujuan, yang pertama adalah untuk memberi-tahu pada banyak orang tentang kegiatan perkawinan tersebut dan yang kedua adalah usaha kolektif mengumpulkan cidera mata dari pada undangan agar bisa lebih bermanfaat. Yang kedua ini, awalnya diberikan oleh para undangan/tamu untuk membahagiakan pengantin baru dan keluarganya tapi belakangan lebih banyak menjadi sebuah keharusan yang harus diberikan oleh para tamu ketika datang ke undangan perkawinan seseorang. Juga ada sebuah pergeseran, dari semula si tuan rumah menerima dengan ikhlas karena cindera mata tersebut merupakan tanda ikut berbahagia, kini cindera mata tersebut menjadi sesuatu yang sangat diharapkan (“istilahnya, tidak ada kesan tanpa kehadiran kado anda”). Bahkan pada banyak masyarakat pesta perhelatan perkawinan dipandang sebagai alternatif mengumpulkan uang yang lebih efektif.
Itu sebabnya, waktu acara seserahan (atau lamaran), selain pihak pria menyerahkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pihak wanita yang bertugas untuk menyelenggarakan acara pestanya seperti sepatu untuk acara resepsi, bahan kain kebaya, makanan, buah, long torso, jilbab, perhiasan, dll, juga pihak pria diminta untuk juga memberikan bahan keperluan pesta seperti beras, ketan, buah, bumbu-bumbu dan yang tak kalah pentingnya, uang sebesar sekian rupiah. Maksudnya, uang itu untuk patungan penyelenggaraan pesta (nantinya dialokasikan untuk bayar katering, sewa tenda, sewa kursi-piring dll pokoknya urusannya ortu deh mau bikin pesta kayak apa). Tapi sekali lagi, ini semua adalah acara adat budaya di indonesia. Tidak termasuk aturan yang diatur oleh syariat Islam dan bisa jadi beda lagi modelnya dengan yang terjadi di negara lain.
Karenanya, untuk kasus ukhti, jika ukhti ingin membantu calon ukhti yang menurut ukhti tidak punya uang yang cukup yah silahkan saja selama itu bukan bantuan untuk membeli mahar. Mahar harus diusahakan oleh calonmu sendiri secara mandiri, kamu tidak boleh membantunya. Misalnya bantu dia melengkapi kekurangan pesta nikahmu. Seperti patungan beli bahan kebaya; atau sepatu; atau bikin undangan atau bahkan membantu kekurangan uang yang diminta oleh ortumu waktu lamaran (sekali lagi, ini bukan proses jual beli ukhti, tapi urunan untuk meringankan beban keluarga dua belah pihak waktu menyelenggarakan pesta; dan ini tidak diatur oleh syariat Islam tapi wilayah budaya setempat). Besarnya uang, ukhti bisa tanyakan pada ortu ukhti berapa kurangnya (biasanya, ortu sudah punya gambaran kasar pengeluaran yang akan mereka keluarkan; silahkan tanya berapa besarnya dan mulai berhitung apa saja yang bisa ukhti bantu dalam hal ini; apa menutupi biaya kateringnya, atau biaya tendanya, dll).
Untuk tromol uang dari para tamu yang datang (aku nggak jelas sebenarnya yang ukhti maksud dengan perolehan di perkawinan itu apa, jadi aku buat beberapa kemungkinan jawaban ajah deh .. semoga ukhti paham).
Nah ... uang yang ada di dalam tromol uang yang biasanya nangkring di meja penerima tamu, hmm .. penggunaannya terserah kesepakatan ukhti, calon ukhti dan ortu kalian. Ada ortu yang karena gembira anaknya menikah tidak memikirkan berapapun yang mereka keluarkan. Jadi, meski mereka sudah habis2an keluar uang ngawinin anaknya, uang dari para tamu di tromol uang itupun mereka berikan pada anak mereka yang jadi mempelai.
Tapi ada juga ortu yang gembira sih udah pasti, tapi kesulitan ekonomi tetap harus ditanggulangi. Jadi, mereka berharap pendapatan dari para tamu lewat tromol uang ini bisa mengganti uang yang mereka keluarkan untuk pesta yang telah usai. Untuk itu, anak harus tahu diri, hitung2 balas budi deh atas jerih payah ortu...^_^
Ada juga ortu yang dari awal sudah meminta sekian rupiah dari pihak pria untuk nyelenggarain pesta nikah anaknya. Mereka merasa dari uang pemberian ini sudah cukup untuk mengadakan pesta. Lalu ketika pesta usai, mereka merasa bahwa uang dari tromol uang para tamu itu bukan lagi hak ortu tapi hak anak, sama seperti hadiah yang diterima oleh mempelai... nah... anak bisa ngambil seluruh uang tersebut, ortu ikhlas kok karena memang merasa bahwa di awal mereka sudah diberi modal untuk menyelenggarakan perhelatan tersebut terlebih dahulu. Saya tidak tahu, di keluarga ukhti seperti apa sistem budaya yang dianut ? Selain itu, ukhti juga harus terus terang pada ortu ukhti bahwa calon ukhti tidak hebat dan semampu yang mereka sangkakan dan meminta ortu ukhti untuk membantu dengan ikhlas dan tidak banyak memberi tuntutan yang terlalu membebani kalian yang akan menjadi mempelai. Ukhti juga harus mengatakan terus terang bahwa ukhti dan calon ukhti membutuhkan uang perolehan tromol uang di meja tamu itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga baru kalian. Hindari menggerutu di belakang karena sebuah prasangka hanya akan melahirkan sebuah ketidak-ikhlasan. Sedangkan sebuah kejujuran, meski mungkin terasa pahit di awalnya, tetap akan menghasilkan sesuatu yang manis dan menghangatkan sebuah hubungan silaturahim.
Semoga Bermanfaat
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|