[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Siapa Bilang Saya Gadis Porno?
Muslimah & Media - Monday, 26 July 2004

Kafemuslimah.com Gadis itu masih sangat belia. Cantik, muda dan rona merah muda yang biasa hadir di wajah seorang gadis belia terlihat nyata di wajahnya yang cantik. Tubuhnya pun masih amatlah indah. Tak ada garis-garis seperti jeruk purut atau selulit di kulit tubuhnya seperti yang khas dimiliki oleh gadis yang telah beranjak dewasa. Yang ada adalah kulit yang kencang dan bentuk tubuh yang masih utuh sintal. Juga tak tampak sinar “loyo” seperti yang biasa hadir di wanita yang dewasa matang. Yang ada adalah keceriaan. Keceriaan inilah yang mendorong semangat hidup untuk selalu optimis dan berbahagia menghadapi segala sesuatunya yang dihadapi dalam hidup. Optimistik dan pikiran positif pada akhirnya memompa aliran darah ke seluruh tubuh lebih lancar sehingga hadirlah wajah yang dipenuhi rona merah muda dan sumringah yang membuat siapapun senang memandang. Itu yang dimiliki oleh para gadis belia dan memang itu yang dimiliki oleh kelebihan mereka dibanding gadis dewasa matang.

Mungkin itu pula sebabnya banyak media massa yang seakan berebut untuk mengabadikan masa muda para gadis belia tersebut sebagai penghias sajian media mereka. Jika diperhatikan, kian hari, pemain sinetron yang muncul di layar televisi kita setiap harinya selalu memunculkan deretan gadis-gadis yang masih belia. Tayangan sinetron pun banyak bertaburan dengan cerita-cerita seputar dunia remaja. Begitu juga dengan para model.

Terus terang, waktu saya masih SMP dahulu (era 80-an), selalu ada pandangan aneh bin ajaib jika ada teman sebaya yang sudah berani bertingkah seperti orang dewasa. Lipstik adalah sebuah tabu yang harus dihindari oleh pelajar SMP. Ajang model sudah ada dulu, tapi kebanyakan pesertanya adalah mereka-mereka yang hampir tamat SMU. Usianya berkisar antara 17 – 25 tahun. Kian ke depan, ternyata selera ini kian bergeser. Kebetulan adik saya langganan majalah gadis. Setiap kali muncul ajang pemilihan model, maka deretan nama gadis yang menjadi pesertanya adalah gadis-gadis yang masih sangat muda belia. Usianya berkisar antara 12 – 19 tahun. Juga jika kita jalan-jalan ke Mall-Mall, maka sudah menjadi pemandangan yang amat lazim jika melihat gadis SMP yang berdandan bak buruk merak. Lengkap dengan accesoris beraneka warna yang menghiasi tangan, leher dan kaki mereka. Industrialisasi memang telah berhasil merubah persepsi masyarakat terhadap gaya hidup yang pantas.

Tidak berhenti sampai disitu.
Eksploitasi kemudaan para belia tersebut ternyata tidak sampai disitu saja. Media massa kini juga mulai melirik lahan bisnis baru. Yaitu menjadikan sensualitas wanita belia sebagai komoditas yang sangat menjanjikan keuntungan.

Ya. Jangan kaget jika mode yang dikembangkan saat ini, sebenarnya adalah sebuah alur pembentukan persepsi dalam masyarakat bahwa adalah hak asasi semua manusia untuk memperlihatkan sisi tubuhnya yang terindah. Kalau sudah bicara hak asasi, artinya, tidak ada seorang pun yang boleh melarang tanpa alasan yang jelas. Jadi, jika ada seorang gadis yang wara-wiri dengan gaun super ketat dan super mininya, jangan protes dulu. Alasannya, jika suka boleh lihat kok, gratis, tapi jika tidak suka yah jangan dilihat, sama gratisnya (duh, jadi ingat slogan salah satu kampanye pilpres dulu nih, “biarkan rakyat memilih”, “biarkan masyarakat sendiri yang menentukan layak atau tidak layak”… hehehhe).

Dan itulah yang terjadi pada jawaban para gadis model yang telah memutuskan untuk mengambil jalur menampilkan sisi terindah dari tubuh mereka lebih sering dengan menjadi gadis model pakaian minim. Setidaknya itu yang berhasil terekam dari acara “Derap Hukum Khusus” di stasiun televisi SCTV, pada tanggal 13 Juli 2004 lalu dengan judul tema, “Pornokah Mereka?”.

Dengan pakaian yang amat minim mereka berpose tanpa malu-malu. Kebanyakan mengandalkan bentuk payudaranya yang memang aduhai karena berukuran maksi. Pengambilan gambar dilakukan di banyak tempat, di kolam renang, di atas ranjang, di bawah pancuran air, di atas ban, dan sebagainya. Bisa jadi, yang mereka pakai adalah barang dagangan yang sedang dipromosikan. Seperti memperdagangkan ranjang yang nyaman untuk tidur; atau mesin pompa air yang bagus keluar airnya; atau ban mobil yang handal dan terpercaya (apa hubungannya dengan gadis berpakaian mini yang duduk di atas ban tersebut yah?).

Proses pengambilan gambar para model tersebut, biasanya bermula dari redaksi media massa yang telah memilih dan menentukan mereka sebagai gadis model untuk sesuatu yang ingin ditawarkan. Setelah itu, fotografer dan para modelnya mencari lokasi pemotretan. Seterusnya, untuk gaya yang akan ditampilkan para model inilah yang menentukan apa yang sekiranya “indah”. Tapi kadang bisa juga mendapat arahan dari fotografer yang ingat dengan misi yang ingin dibawa dari pemotretan tersebut. Soal honor untuk para gadis tersebut, biasanya berkisar antara Rp 250.000 hingga Rp 500.000 persesi pemotretan. Tapi bisa juga tergantung dari nilai jual si model itu sendiri dan oplah media yang mengontrak mereka.

Dengan begitu sebenarnya ada hubungan mutualisme antara para gadis model dan produser mereka (media massa).
Bagi para mediamassa, mereka memanfaatkan para gadis belia ini untuk menaikkan oplah produksi mereka (seharusnya, ini usul pribadi saya, ada sebuah penelitian khusus yah. Apa benar, orang yang terdorong membeli ban merek tertentu karena kesengsem dengan gadis model yang duduk di atas ban yang diiklankan? Apa betul ada korelasi antara penjualan mesin printer yang meningkat dengan iklan gadis berpakaian minim yang sedang menggendong mesin printer tersebut? Hmm… no comment deh).
Sedangkan bagi para gadis belia tersebut, mereka memanfaatkan pada media tersebut untuk menaikkan popularitas mereka sebagai gadis model. Maklum, persaingan sekarang kian ketat, padahal semakin tinggi popularitas yang mereka miliki akan semakin membuat nilai tawar yang mereka miliki juga terderek tinggi.

Lalu, kalau ditanya apakah mereka tidak malu atau sungkan dengan ulah tingkah pose mereka tersebut? Jawabannya tentu saja tidak (kalau malu mah dah pasti mereka pensiun dini).
Lalu, apakah mereka merasa bahwa mereka sebenarnya termasuk kategori gadis porno? Sekali lagi jawabannya menurut mereka yah tidak. Kenapa? Ini beberapa alasan mengapa mereka tidak merasa sebagai gadis porno.

- Bagi masyarakat yang berpikiran negatif, tentu saja saya akan dipandang sebagai gadis porno, tapi bagi masyarakat yang berpikiran positif, apa yang saya tampilkan tersebut sama sekali tidak porno. Ini adalah seni dan keindahan
- Sebenarnya, tidak ada kan landasan apa itu porno? Kalau belum ada mengapa kami harus dituduh dengan sesuatu yang tidak punya landasan? Apa buktinya bahwa kami gadis porno?

- Porno itu kan tidak berbusana. Telanjang sama sekali. Sangat berbeda dengan apa yang kami lakukan dan tampilkan. Kami masih mengenakan busana kok, tidak seluruhnya tubuh kami terbuka. Itu sebabnya saya heran mengapa diberi cap gadis porno?


”tuingg…tuing…tuing…tuing...glek! Duh, belum apa-apa kok kita sudah diberi pilihan dengan stigma seperti itu yah? Nilai dan norma jadi berbalik gini? Jadi sebenarnya siapa yang salah?”

Ketidak jelasan standar ini memang tidak bisa dihindari meski sudah ada perangkat undang-undang yang mengatur hal-hal tersebut. Yaitu KUHP pasal 81 ayat 1 yang menyebutkan bahwa barang siapa berpose panas dan telanjang di muka umum akan dikenai sanksi pidana (ini ketentuan undang-undang untuk para gadis model); Serta UU Pres no. 40/99 yang berbunyi barang siapa menyiarkan gambar panas dan telanjang di muka umum akan bisa dikenai sanksi pidana. Perangkat undang-undang tersebut masih menyisakan celah yang bisa dikutak-katik masyarakat. Yaitu definisi telanjang dan panas. Telanjang itu kan artinya tidak berpakaian sama sekali (kalau istilah umumnya, “tanpa sehelai benang pun). Sedangkan argumen mereka yang berkecimpung di dunia tersebut di atas, mereka tidak seperti itu. Masih ada sisa-sisa benang yang cukup banyak yang menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Mereka juga berpose biasa-biasa saja, tidak berpose panas. Itu masih kata mereka loh. (”padahal kalau mereka diphoto ketika sedang dipanggang di atas bara api juga mereka tidak mau melakukannya, dan memang tidak ada seorang pun {bahkan mereka yang sangat tolol sekalipun} yang mau melakukannya. Jadi sebenarnya berpose panas itu apa yah definisinya?”

DI tengah kesimpang siuran pembelaan tersebut, dan proses pembentukan persepsi di masyarakat yang kian menyesatkan, saya pada akhirnya jadi tidak sabaran dengan proses a lot yang terjadi di DPR/MPR sana berkenaan dengan pembahasan RUU Anti Pornografi.

KENAPA RUU ANTIPORNOGRAFI TIDAK SEGERA DISAHKAN JADI UNDANG-UNDANG, TUAN-TUAN DAN NYONYA-NYONYA YANG DUDUK-DUDUK DI GEDUNG DPR SANA?? TUNGGU APA LAGI??

-------- 18 Juli 2004
Ade Anita ([email protected])


[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved