|
(catatan untuk Hari Anak 23 Juli 2004): Mereka Yang Tercecer dan Terserak Jurnal Muslimah - Monday, 02 August 2004
Kafemuslimah.com Catatan satu: Matahari sudah hampir menyapu ubun-ubun kepala. Sangat terik. Beberapa lalat juga tampak mulai berpesta pora di beberapa tumpukan sampah yang menumpuk, menggunung di beberapa tempat. Beberapa lalat yang kekenyangan pada akhirnya memilih untuk menggerayangi betis kaki yang penuh koreng milik beberapa anak yang sedang bergerombol. Tapi tak ada yang peduli. Anak-anak tersebut tetap saja bergerombol, tertawa riang dan saling meledek satu sama lain.
Jika bagi kebanyakan orang, sampah adalah sesuatu yang harus dibuang dan disingkirkan maka tidak demikian mungkin bagi Indri, Hasan, Arya dan Sofie, Sebut saja begitu namanya. Bagi mereka, sampah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Rumah mereka berada di atas tumpukan sampah. Tempat main mereka adalah timbunan sampah tersebut. Memang tidak ada pilihan. Orang tua mereka adalah pemulung, gembel atau pengemis. Penjahat? Entahlah. Tak ada yang peduli. Filosofi yang mereka miliki adalah hidup untuk hari ini, besok bagaimana nanti dan hari kemarin, �EGP� (emang gue pikirin).
Jadi jangan heran jika pagi-pagi, dimana seharusnya banyak anak mulai bersiap-siap untuk sekolah, beberapa anak di atas tidaklah demikian. Mereka punya tugas yang harus dikerjakan. Tanpa mandi, mereka segera bangun dari tidur. Mengambil kantong permen besar, alat musik yang dibuat sendiri (hanya sebatang kayu yang ditempeli bekas tutup botol yang dibuat longgar dan ditempel sedemikian rupa hingga bisa saling bergesekan satu sama lain), lalu hanya bermodalkan sendal jepit mereka menuju perempatan jalan besar, masuk ke dalam metromini atau mikrolet dan mulai mengamen. Seratus dua ratus, seribu dua ribu, akhirnya uang mereka terkumpul setelah keluar masuk beberapa metromini dan mikrolet. Tiga perempat bagian uang tersebut diberikan pada orang tua mereka yang biasanya telah menunggu di pinggir jalan, sisanya boleh mereka miliki sendiri setelah sebelumnya para orang tua mereka tersebut memberikan sekantung minuman dan sebuah makanan pada mereka sebagai sarapan.
Dengan uang hasil bekerja tersebut, anak-anak tersebut mulai memasuki tempat Ding Dong. Lokasi permainan ini memang murah meriah. Dengan beberapa uang logam, maka permainan yang sama asyiknya dengan permainan PS (Play Stasiun) bisa mereka nikmati. Sisa uang bisa dibelikan jajanan apa saja yang mereka sukai. Sisanya lagi, � hmm.. patungan untuk menyewa VCD yang bisa diputar di VCD sewaan murah yang biasanya tersedia di rental-rental murahan. Jangan pernah menyangka bahwa mereka sedang patungan untuk menyewa VCD Sherina, atau VCD Joshua. Salah. Yang mereka tonton adalah VCD untuk orang dewasa. Mau tahu berapa usia Indri, Hasan, Arya, Sofie dan teman-temannya di atas? Berkisar antara 9 � 12 tahun. Masih kecil memang, tapi pengetahuan mereka tentang adegan film dewasa mengalahkan para pengantin baru.
Catatan Dua: Namanya Anggun. Tubuhnya mungil dan kulitnya hitam manis. Usianya belum genap dua tahun. Bicaranya pun masih cadel. Tapi sejak pagi dia sudah keluar dari rumahnya dan terus asyik bermain dengan teman-temannya, meski hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Kotoran berwarna kuning yang menempel keras di sudut matanya tampak sudah mengeras, dan sebuah bercak mengkilat tampak menggores menyamping mulai dari ujung lubang hidungnya hingga hampir mendekati telinganya. Itu adalah bekas ingus kering yang belum dibersihkan sejak pagi.
Ya. Anggun memang belum mandi sejak pagi. Tak ada yang ingat bahwa Anggun belum mandi siang itu karena semua orang punya kesibukan yang luar biasa. Rumah Anggun penuh sesak dengan kerumunan orang. Beberapa ratap tangis tampak terdengar keluar dari rumah kontrakan mungil tersebut. Beberapa orang tampak sibuk keluar masuk dengan wajah panik. Pagi ini, ibunda Anggun meninggal dunia. Innalillahiwainnailaihirojiun.
Itu yang menyebabkan tak ada seorang pun yang ingat bahwa Anggun kecil belum mandi siang ini.
Tapi tampaknya Anggun kecil menikmati kebebasan tanpa batas yang dia miliki siang ini. Dia asyik bermain. Tangannya telah berkali-kali membolak-balik adonan tanah basah yang diremasnya seperti sedang membuat roti. Beberapa kali, tangan yang belepotan tanah basah tersebut berusaha menyibak rambut yang turun menutupi mukanya. Hingga lukisan acak di wajah Anggun tampak didominasi warna coklat. Sungguh belepotan.
Dan hari semakin siang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Anggun kecil mulai merasa perutnya sakit karena lapar. Dari pagi, dia hanya mendapat satu buah roti kecil berisi kelapa dari tetangganya. Dengan langkah gontai karena lelah bermain, Anggun masuk ke dalam rumahnya yang mulai lengang dari kerumunan manusia yang dari pagi datang bertakziah.
�Mak� Anggun lapar nih. Makan Mak.� Suara Anggun melengking memenuhi ruangan tersebut. Tak ada yang menjawab, sebaliknya suara tangisan yang tadi mulai terhenti kembali terdengar. Seorang laki-laki setengah tua mendekati Anggun.
�Nak.. Emak sudah meninggal nak.� Dengan suara terbata lelaki tua itu mencoba untuk memberitahu. Tapi Anggun kecil tidak mengerti arti penjelasan itu.
�Jadi, emak Anggun tidak sempat masak lagi yah hari ini? Kenapa meninggalnya hari ini, Anggun lapar, kemarin juga Emak ngajak Anggun puasa.�
Emak Anggun memang meninggal tadi pagi. Almarhumah meninggal dalam keadaan hamil tujuh bulan. Bayinya juga ikut meninggal di dalam kandungan karena kurang gizi dan kurang oksigen. Keluarga Anggun memang amatlah miskin. Sebenarnya, penyakit Emaknya Anggun tidak berbahaya pada awalnya, tapi karena tidak ada biaya untuk berobat maka akhirnya terus bertambah parah setiap harinya. Bapaknya Anggun bekerja hanya sebagai seorang kuli sandang. Setiap pekan dia ikut kemana saja sebuah truk membawanya pergi bekerja ke pelbagai penjuru tempat. Baru sabtu dan ahad dia pulang. Uang yang diperoleh dari bapak oleh emak disisihkan untuk biaya sekolah anak-anaknya. Untuk makan, mereka sudah terbiasa makan hanya berlaukkan garam dan kerupuk. Tapi, setelah emak sakit selama beberapa minggu ini, terlebih sejak kandungannya dinyatakan lemah oleh bidan PUSKESMAS, emak menahan bayaran anak-anaknya agar bisa dipakai untuk biaya berobat. Bukan penyelesaian memang. Karena, Aisyah, Dini, Witri yang merupakan kakak kandung Anggun, mendapat teguran dari sekolah karena terlambat membayar buku dan uang sekolah. Akhirnya, dengan niat untuk menyekolahkan anak-anaknya dengan pengharapan mereka akan memperoleh nasib yang lebih baik dari dirinya di masa yang akan datang, Emak melupakan keinginan untuk berobat. Inilah pangkal bertambah parahnya penyakit Emak.
Catatan tiga: Jika kalian diberi buah simalakama, mana yang akan kalian pilih? Memakannya dengan resiko ayah meninggal? Atau Tidak memakannya dengan resiko ibu yang meninggal?
Ah.
Mungkin lebih baik jika kita semua berharap agar buah celaka tersebut tidak pernah ada di muka bumi ini.
Tapi resiko serupa dihadapi oleh Ibu Zahra. Uang di tangannya hanya sebesar Rp 200.000 rupiah. Dengan uang terbatas tersebut, ibu dua anak tersebut dihadapi dengan dua pilihan yang sama sulitnya. Pilihan pertama, dipakai untuk berobat. Suaminya sudah sebulan ini dinyatakan oleh dokter memiliki tumor di paru-parunya. Harus operasi jika ingin sembuh.
BU Zahra telah berusaha kesana kemari untuk mencari bantuan, bahkan dengan gigih dia telah meniti lika-liku jalan untuk mendapat bantuan resmi dari pemerintah. Tapi hasilnya, orang miskin seperti dia ternyata tetap tidak dapat memperoleh kelayakan apa-apa. Biaya operasi yang diminta oleh pihak rumah sakit sebesar Rp 20.000.000 ternyata hanya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar lima persennya saja. Sisanya, harus usaha sendiri. Tapi darimana? Tidak mungkin sisanya yang berjumlah jutaan itu diharapkan jatuh begitu saja dari langit. Akhirnya, untuk meringankan penderitaan suaminya, Bu Zahra meminjam kesana kemari untuk berobat jalan. Memang tidak menyembuhkan, hanya menghilangkan sakit sejenak. Penyakit suaminya terus bertambah parah. Bahkan kemarin sudah mulai batuk darah. Nafas suaminya kian megap-megap. Jeritan kesakitan mulai terdengar begitu sering keluar dari mulut suaminya tersebut. Alhamdulillah kemarin dia mendapat pinjaman dari hasil menggadaikan cincin kawinnya sebesar Rp 200.000. Cukup untuk dipakai membeli obat penghilang rasa sakit. Tapi BU Zahra dihadapkan pada sebuah pilihan lain dari penggunaan uang tersebut.
Pilihan itu adalah untuk dipakai membayar biaya masuk sekolah kedua anaknya. Yang besar, Fatur, tahun ini masuk SMP, sedangkan adiknya, Auliani, tahun ini masuk SD. Keduanya harus membayar uang pendaftaran, uang seragam, dan uang lainnya jika memang ingin bersekolah. Jika tak masuk sekolah tahun ini, artinya mereka berdua tidak akan bersekolah lagi seperti tahun lalu. Jika sudah terlalu lama meninggalkan bangku sekolah, bukan tak mungkin selamanya anak-anaknya tidak akan bersekolah lagi. Bu Zahra ingin anak-anaknya bersekolah. Tapi apa ada sekolah yang gratis? Semuanya harus bayar dan itu artinya, uang di tangannya yang sebesar Rp 200.000 itu harus digunakan. Tapi suaminya juga punya posisi yang mengenaskan. Setiap malam yang harus didengar Bu Zahra bukan lagi rintihan kesakitan, tapi sudah jeritan kesakitan.
Lalu siapa yang harus dipilih sekarang? Membantu suami atau membantu anak? Bu Zahra bingung dengan kedua pilihan tersebut.
Catatan empat: Hmm� apa masih kurang catatan yang harus ditulis disini. Buat apa terus mencatat jika hati nurani kita tidak tergerak untuk berbuat sesuatu?
----- Juli 2004 (semua kisah di atas bukan fiksi, tapi terjadi sesungguhnya, hanya semua nama yang digunakan adalah nama fiktif)
Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|