|
Perjuangan si Sepah Muslimah & Media - Monday, 02 August 2004
kafemuslimah.com Pepatah yang telah sangat lazim itu, bunyinya ”Habis Manis Sepah Dibuang”. Perlu waktu lama untukku pribadi memahami arti peribahasa tersebut. Hapal sih hapal, tapi untuk mencontohkannya secara real dalam kehidupan nyata ternyata tidak semudah menghapalnya. Aku ingat, ketika SD (Sekolah Dasar), daya nalarku belum mampu mencari contoh dari peribahasa tersebut. Mungkin karena sebagai bocah SD, dalam sudut pandangku kehidupan ini hanya berisi sesuatu yang indah-indah dan mudah-mudah saja. Belum terlihat sisi beratnya, apalagi kompleksitasnya. Jadi, kalau waktu itu ditanya apa contoh nyata dari pepatah “Habis Manis Sepah Dibuang”, jawabanku satu, “Makan Tebu”.
Orang tuaku memang bukan petani tebu. Tapi dulu kami punya kebun yang tidak terlalu luas dimana tanaman tebu adalah salah satu tanaman yang ditanam di atasnya. Ketika batang tebu telah cukup besar, mandau (kapak besar khas Sumatra) menebasnya. Membuang semua suluh dan pelepahnya hingga daging di dalamnya yang berwarna putih kekuning-kuningan itu terlihat. Berserat-serat dan terlihat menyimpan air. Itulah air tebu. Untuk menikmatinya, kita tinggal menghisapnya. Persis seperti menghisap tulang Iga di Soup Tulang. Rasanya manis dan segar. Ada juga mesin pembuat minuman tebu. Bentuknya seperti penggilingan daging, atau mungkin seperti mesin pembuat mie. Ada roda penggiling yang diputar sehingga batang tebu tersebut bisa digilas di tengahnya dan mengalirlah air tebu yang dikandungnya. Air tersebut ditampung di sebuah wadah. Setelah disaring, air tebu tersebut siap diminum. Biasanya para penjual air tebu menampung air tebu tersebut di dalam batang bambu dengan diameter besar. Tapi sering juga terlihat menampungnya di dalam sebuah kotak minuman yang telah diberi es batu.
Jika batang tersebut sudah kering (tidak menghasilkan air lagi), yang terlihat adalah serat-serat yang keriput dan kurus karena telah terisap. Praktis tidak bisa lagi dipakai atau digunakan untuk apa-apa lagi. Alias harus dibuang. Dari sinilah aku mendapatkan ide contoh nyata dari peribahasa “Habis Manis Sepah Dibuang”.
Dalam perjalanan waktu, seiring dengan pertambahan usia, tentu pengalaman hidup juga bertambah banyak. Dalam pertambahan tersebut, ternyata contoh nyata dari peribahasa “Habis Manis Sepah Dibuang” ini ada banyak sekali. Tertebar dalam berbagai macam peristiwa. Biasanya peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa yang berhubungan dengan penganiayaan atau penelantaran. Pahit memang. Sangat jauh berbeda dengan tolak berpikir kejadian makan tebu di atas. Jika makan tebu menghasilkan kesenangan pada banyak orang, maka dalam kehidupan nyata ternyata konotasi peribahasa tersebut melulu adalah sesuatu yang menyakitkan. Ironis yah. Tapi memang itu kenyataannya.
Kejadian terbaru yang terjadi di Indonesia hari-hari terakhir ini dan hangat dibicarakan oleh banyak orang adalah contoh nyata dari peribahasa “Habis Manis Sepah Dibuang”. Inilah peristiwa Tragedi Buyat. Sebuah peristiwa yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di Teluk Buyat, yang terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Tenggara.
Adalah PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) yang dituduh mencemari lingkungan. PT NMR adalah sebuah perusahaan pertambangan emas dari Amerika yang mendapatkan ijin dari pemerintah untuk menambang emas yang terdapat di teluk Buyat. Perusahaan yang beroperasi cukup lama ini, pada bulan Oktober 2004 mendatang berencana untuk menghentikan operasinya di Indonesia (tidak memperpanjang masa kontraknya) dengan alasan cadangan emas yang terdapat di teluk Buyat tersebut sudah tidak lagi mencukupi untuk ditambang. Di tengah persiapan kepergiaan tersebut, mencuatlah protes warga yang menjadi masyarakat di kampung nelayan yang tinggal di pantai sekitar teluk Buyat. Pasalnya, selama beberapa tahun ini, warga dan LSM sebenarnya sudah berteriak-teriak tentang kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari sistem pembuangan limbah perusahaan pertambangan tersebut. LSM yang konsen pada masalah lingkungan (WALHI) telah melakukan penelitian sejak tahun 2001 dan melihat pencemaran lingkungan yang terjadi di sana. Masyarakat nelayan, tentu saja tidak mengerti apa-apa. Yang mereka rasakan hanyalah bahwa kian hari mereka harus kian jauh mencari ikan. Lalu mulailah satu persatu warga diserang penyakit kulit. Gatal-gatal, bersisik dan benjol-benjol di sekujur tubuh. Bukan hanya penyakit kulit yang tidak bisa diatasi tersebut, tapi penyakit tersebut ternyata menulari bayi yang ada di dalam kandungan. Seorang bayi yang baru dilahirkan, ternyata kondisi kulitnya juga mengenaskan. Merah, bersisik dan terdapat benjol-benjol kecil di sekujur tubuh mereka. Sudah jatuh korban meninggal akibat penyakit kulit tersebut. Itu sebabnya masyarakat, dibantu oleh LSM, mengajukan protes kepada pemerintah dan PT NMR.
Ya.
Tidak bisa lagi sistemnya “Habis Manis Sepah Dibuang”. Masyarakat adalah manusia, yang punya hak untuk hidup layak dan dihargai. Dan Negara kita adalah negara yang berdaulat. Jujur…. Sebenarnya, saya kesal dengan peristiwa ini. Mengapa pemerintah mau saja diperlakukan seperti batang tebu yang telah menjadi sepah. Dimana posisi warga negara kita di mata pemerintah sehingga negara lain yang ingin menguras habis kekayaan negara kita bisa seenaknya menghisap habis semua sisi manis yang kita miliki dan lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan sampah yang tidak bisa digunakan bahkan harus kita bersihkan sendiri?
--------- Agustus 2004
Ade Anita ([email protected])
[ 0 komentar]
|
|