|
Bingung Antara Memilih Sendiri atau Dijodohin Uneq-Uneq - Wednesday, 25 August 2004
Tanya Assalamualaikum. Begini mbak, yang ingin saya tanyakan:
Saat ini saya sedang dihadapkan pada masalah pernikahan. Orang tua saya menjodohkan saya dengan seseorang yang saya sendiri belum tahu kepribadiannya, hanya mendengar yang baik2 aja dari orang lain sebut sja Mas Adi. Awalnya saya langsung menolak, dan itu membuat saya dan
ibu saya bertengkar. Pertengkaran ini membuat serasa pintu surga tertutup bagi saya dan dunia semakin terasa sesak. Tapi alhamdulillah masalah dengan ortu bisa reda, dengan saya mau melakukan ta'aruf terlebih dahulu sebelum saya mengambil keputusan.
Alasan saya menolak sebenarnya kurang logis. Saat ini juga saya masih menyukai seorang ikhwan yang saya kenal sejak saat saya masih skul. Dia sedikit banyak membimbing saya dalam beragama dan merupakan motivator bagi saya untuk beragama lebih baik baik. Mungkin sebut saja dia Mas Abdi.
Setiap ingin melupakan ikhwan tsb selalu ada saja yang membuat saya teringat kembali. Saya tahu saat ini saya sedang zina hati, dan sulit bagi saya melupakan ikhwan tsb seperti cinta bertepuk sebelah tangan, yang tidak ada jaminan dan kepastian kalau ikwan tsb akan melamar saya dan meminta saya menjadi pasangan hidupnya dalam suka maupun duka. Dilain pihak ada seseorang yang berniat menikahi saya tapi setelah beberapa kali taaruf dengan mas adi, saya semakin meragukan agamanya.
Wallahualam, iman seseorang hanya Allah yang tahu.
Nah sekarang :
1. Saya merasa rasa suka saya pada mas abdi adalah karena akhlaknya, agamanya. Apakah suka ini adl termasuk suka karena Allah SWT?
2. Bagaimana saya harus bersikap dan apa yang harus saya perbuat thd mas adi?
3. Bagaimana saya harus bersikap dan apa yang harus saya perbuat dengan rasa suka saya pada mas Abdi?
4. Seberapa parah zina yang sudah saya lakukan?
Tolong kasih saya pencerahan yah mbak ade. Saya benar2 bingung dengan masalah hati saya ini. Jazakillah atas perhatian dan jawabannya
wassalam
jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
1. Insya Allah iya. Cinta itu bertingkat-tingkat. Tingkatan yang tertinggi adalah cinta pada Allah; lalu cinta pada Rasul-Nya; lalu cinta pada sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk kita cintai (umumnya bersifat wajib dan aturannya tertera di Al Quran dan Al Hadits); dan yang terakhir cinta pada sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya (umumnya sifatnya sunnah).
Rasul kita, Muhammad saw telah memberi petunjuk lewat haditsnya, bahwa yang paling baik dalam memilih jodoh adalah melihat pada agamanya. Dalam perkembangan fakta selanjutnya, petunjuk ini memang terbukti benar adanya. Karena, agama seseorang itu memang terpengaruh dari agama temannya (terlebih teman hidup yang menjadi pasangan kita dalam rumah tangga). Dan sebagai suami, maka kepemimpinan yang baik tentu harus bersumber dari pemahaman agama yang baik pula. Ketaatan pada suami bersifat mutlak, tapi kemutlakan itu akan gugur jika suami ternyata bertindak tidak sesuai dengan kaidah dan syariah agama Islam. Jadi, apa yang ukhti cari untuk suami ukhti, insya Allah sudah benar. Kita memang harus mendahulukan akhlak yang baik ketika memilih calon pemimpin kita.
2. Terhadap mas Adi. Saya tidak tahu segi mana ukhti meragukan agamanya. Apakah sebatas karena mas Adi ini seseorang yang tidak ikut tarbiyah (ini masalah umum yang dihadapi oleh akhwat tarbiyah yang selalu meragukan ikhwan yang non tarbiyah); atau memang mas Adi sama sekali tidak pernah shalat, malu akan Islamnya, dan melanggar semua kaidah dan syariah agama Islam yang dianutnya (seperti suka minum, tidak pernah puasa, suka judi, pamer aurat dan sebagainya)?
Jika yang pertama yang terjadi (yaitu ragu karena mas Adi ternyata tidak ikut tarbiyah), coba tanyakan padanya apakah dia berkeinginan untuk ikut kegiatan pengajian rutin? Ajak dia diskusi tentang masalah agama atau masalah sosial politik dan mulai arahkan agar dia mulai berpihak pada Islam (usahakan diskusi berlangsung dua arah yah ukhti, jangan pernah menjadi pembicara tunggal dalam sebuah diskusi). Juga ajak dia untuk aktif mendalami ilmu agama dengan mengajaknya berdiskusi tentang isi ceramah di masjid anu, isi materi di buku agama anu, dll. Perkenalkan pula dia dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang ukhti ikuti selama ini.
Hmm.. Saran saya di atas ini memang terdengar seperti sedang menganjurkan untuk berdua-duaan. Padahal tidak. Karena semua saran saya di atas tentu harus ukhti barengi dengan aturan Islam tentang khalwat dan etika Islam dalam pergaulan pria dan wanita. Yang ingin saya tuju dari saran di atas adalah, menjajagi kecenderungan bersama. Jika, Mas Adi ternyata seseorang yang mungkin bukan tarbiyah tapi punya kecenderungan untuk meningkatkan keimanannya ke arah yang lebih baik (istilahnya hanif); insya Allah dia akan menyambut baik sambutan ukhti di atas. Dia akan enjoy-enjoy saja ikut berproses dengan ikhlas (bisa jadi dia selama ini belum berhasil bertemu dengan lingkungan yang mendukung kecenderungan tersebut). Kondisi ini insya Allah amat baik ukhti, karena itu artinya, ukhti diberi kesempatan oleh Allah untuk berdakwah padanya. Selanjutnya, berpulang pada ukti sendiri, apakah ukhti ingin melanjutkan dan menerima amanat tersebut atau tidak?
Sebaliknya, jika dia memang tidak punya kecenderungan untuk ke arah meningkatkan keimanannya, maka dia akan merasakan ketidak nyamanan dalam melakukan komunikasi dengan ukhti. Terlebih jika dia menemukan bahwa ternyata begitu banyak benturan akibat perbedaan yang dia temui bersama ukhti jika dia bertahan melakukan apa yang selama ini dia lakukan (seperti dia merasa bahwa kelak ukhti akan melarangnya minum minuman keras, padahal dia anggota alkohol fans club; dll. Biasanya, orang yang tidak gemar ibadah tidak akan pernah bisa cocok dengan mereka yang gemar beribadah). Dengan begitu, otomatis perbedaan ini akan membuatnya mundur tanpa diminta oleh siapa pun. Kalau sudah begini, ukhti tidak usah repot lagi kan mencari cara penolakan?
Lalu jika, yang ukhti maksud dengan meragukan keberagamaannya karena memang mas Adi sama sekali tidak pernah shalat, malu akan Islamnya, dan melanggar semua kaidah dan syariah agama Islam yang dianutnya (seperti suka minum, tidak pernah puasa, suka judi, pamer aurat dan sebagainya), ukhti harus katakan pada orang tua ukhti kenyataan tersebut dan ini merupakan alasan penolakan yang paling bisa diterima. Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anaknya dan tentu tidak ingin menghancurkan anaknya.
3. Terhadap mas Abdi (wahh… milih contoh nama kok bisa mirip-mirip gini? Kenapa nggak disebut bejo gitu agar terasa bedanya?). Ukhti harus melihat dulu kesungguhan dari mas Adi dalam proses di atas. Lalu mulai pikirkan apakah ukhti akan meneruskan atau menolaknya. Karena ukhti tidak boleh mempertimbangkan dua orang dengan proses yang sama dalam satu waktu. Jika, ukhti memutuskan untuk meneruskan proses ta’aruf ukhti dengan mas Adi, maka otomatis mas Abdi tereliminasi.
Saya bisa saja menyarankan pada ukhti agar mencari tahu dahulu (tentu saja lewat orang lain) apakah mas Abdi ini punya kecenderungan pada ukhti ataukah tidak? Saran ini sangat tidak bijak karena jika ukhti tahu bahwa ternyata mas Abdi punya kecenderungan menerima ukhti sebagai istrinya kelak; nanti ukhti bingung sendiri dengan pilihan ukhti, terlebih jika ternyata mas Adi perkembangannya ternyata baik. Kecuali jika perkembangan mas Adi ternyata buruk.
4. Wallahu’alam bi showaf.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|