|
Dikau Kudamba, Bunda! Jurnal Muslimah - Tuesday, 07 September 2004
Kafemuslimah.comAssalaamu 'alaikum, Bunda tercinta...
Apa kabar Sang Maha Pencinta dalam pengecapanmu sekarang? Apa Dia baru terlelap? Oh, pasti tidak! Dia tak pernah pejamkan Mata... Ataukah Diri-Nya tengah tak tentu arah melayang-layang? Ah, mustahil! Kita slalu dijaga oleh-Nya... Ya, ku yaqin, Dia lagi Memiara, Mengasihi, dan Menyayangi kita dari atas sana.
Tujuh langit kuamati, selusin lilin kunyalakan.... Daku cari dikau di dalam mimpi. Daku buru pula dikau di luar mimpi, di sebelah mimpi, di depan mimpi, di atas mimpi, di bawah mimpi.... Oh, kudapati dikau di lubuk kalbu!
Bunda.... Setiap kali kulukis surga di kanvas fana, wajahmu slalu tergambar. Di atas kertas putih kutorehkan: basah bibir dari senyum kita, derai air mata dari tangis kita, kecut peluh dari wajahku yang terserap serabut handuk hadiah ultah darimu, terang sinar dari selusin lilin kita di malam kelam, pedas sambal goreng dari hangat tungku bebatuan di tengah hutan tempat kita bercengkerama, manis semangka segar dari hijau kebun peninggalanmu, lembar demi lembar surat balasanku dari tumpukan kartu pos kirimanmu... surat2 cintaku padamu.
Dengan Surat-Surat kutemani kau di liang lahat... Aku tidak mengatakan bahwa orang yang meninggal di jalan Allah ini sudah wafat! Sebenarnya engkau hidup, walau terkadang aku tidak menyadarinya. (Lihat al-Baqarah [2]: 154.)
Kini kusadari, Bunda, kau 'mati syahid' berkafan cindai. Walau jasmanimu tak tersentuh tanganku, rohanimu teraba hatiku! Siraman air zam2mu suburkan mawar2 merah di jantungku. Alhamdu lillaaah... Aku merasa selalu nyaman dan tenteram berenang di rahimmu. Senyummu kurasa manis senantiasa ketika perutmu kutendang-tendang. Air matamu yang segar, dan tangisku yang melengking, semoga pertanda husnul khatimah... berujung surga. (Aamiiin.)
Sekarang longoklah lagi sosok anakmu ini, Bunda! Inilah bunga mungil yang dulu kautanam di rahimmu nan sunyi itu. Kini tumbuh semi dan mekar... Aku bukan lagi bayi yang menetek. Sungguhpun liurku mengucur deras setiap kali membayangkan ke-ibu-an Bunda, tiada setetes pun ASI yang kuharap akan terperah darimu. Keindahanmu lebih dari cukup untuk menjadi ilham pelepas dahagaku. Dengan mencium wanginya bau keringat ketiakmu, alhamdu lillaah... aku dapat minum dari peluhku sendiri!
Oh, Bunda... Aku cinta padamu. Aku merindukanmu dan mengenangmu dengan segenap kebisuanku dan sepenuh kecerewetanku.
Simaklah denyut2 urat nadi Ais ini, Bunda! Inilah email2 pendek yang dulu kautanam di rahimmu nan maya itu. Kini berkembang berlembar-lembar, bersurat-surat... Ais bukan lagi kencur cengeng yang membanjiri mail-box-mu. Walaupun air mataku berjatuhan bak air terjun Niagara setiap kali membacakan keayuan Bunda, tiada setetes pun tangis yang akan kukirim ke alamatmu. Handuk kado ultah darimu lebih dari cukup untuk mengisap bulir2 kenangan yang mengental di rongga dada. Dengan merasai mesranya kecupan bibirmu yang menjulur dari lubuk kalbumu, alhamdu lillaah... ananda bisa tersenyum di depan Tuhan!
Ya Rahiim! Inilah setetes air hina yang Kau embusi Ruh Suci-Mu. Inilah segumpal darah yang Kau ajari penggunaan pena, Kau ajari apa-apa yang tak aku ketahui... Kepada-Mu kuhaturkan puji dan puja. Hamba-Mu bukan lagi membenam dalam rahim Bunda, insan mulia yang penuh kasih dan sayang.
Bunda... Aku mengasihimu dan menyayangimu dengan segenap kekalemanku dan sepenuh keribetanku. Dikau sungguh kudamba.
Aku ingin menjadi engkau, menjadi ibu. Aku berniat mencabut serangkum bunga, sampai ke akar2nya sekalian. Aku hendak menanamnya di rahimku dan menyiraminya dengan air buah2 ranum dari lubuk hatiku, agar mekar selalu... Maka kubuka gerbang kalbu. Agar madu yang kuproduksi di dalamnya menyembur keluar. Hingga memancur hebat dan menghujan lebat, mengguyur kuntum2 mawar.
Bismillaahir rahmaanir rahiim....
Aisha Chuang , penulis buku Manajemen Cinta Musim Dingin (2003) dan Nikmatnya Asmara Islami (2004). [ 0 komentar]
|
|