|
Ego Si Pedagang Air Jurnal Muslimah - Tuesday, 07 September 2004
Kafemuslimah.comManusia adalah makhluk Homo Homini Lupus dimana kita selalu membutuhkan orang lain, dan selalu harus berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. karena Allah lebih menyukai hamba-Nya dalam barisan, dalam lingkaran ukhuwah, dimana manusia selalu memenuhi kodrat dan fitrahnya sebagai manusia.
memiliki satu saja musuh sudah terlalu banyak,
punya teman seribu, terlalu sedikit.
dengan berteman dan memelihara persaudaraan kita telah menyambung sulur tali silaturrahmi, dan sulur itu pulalah yang Insya Allah juga kan dapat membantu menghantarkan kita menuju nirwana, dan mencium aroma surga.
Kakakku, intovert itu boleh, dan sah-sah saja, selama itu tidak terlalu. lihatlah kesekitarmu, ada banyak orang yang selalu siap tuk mengiringi tiap langkahmu. dan engkau takkan pernah sendirian di jalan dakwah ini saudaraku.
-----o0o-----
Ego Si Pedagang Air
Untuk: pedagang air yang mengaku introvert
Lelaki itu merana, menangis kepada bintang, berkeluh kesah kepada bulan, berduka lara dalam pena-nya.
Punggungnya seolah hampir tak sanggup menahan swepikulan air. Hampir saja air itu tumpah ruah dan kerjanya jadi sia-sia.
Lelaki itu berjalan perlahan, biar bimbang menyergap, ia tak gentar, bahkan menantang.
Tak sepatah bunga pun keluar dari bibirnya. Ia membisu, bahkan dengan kawannya sesama pedagang air yang ia temui di jalan..
Ia tetap lurus kedepan. Meski orang berlalu lalang, dan sapaan pun bertubi datang.
Tegap, kokoh, lurus kedepan.
Walau tertatih kadang.
Tidak! Dia tidak bisu!
Hanya enggan, pahamilah!
Ia hanya sekedar tak sanggup menundukkan ego kelelakiannya.
Karena ia pedagang air yang tak mungkin menjual air pada sesama pedagang air lainnya.
Tapi dia pun pernah berkata-kata, pada dinding-dinding sumur,
tapi tidak sepatah pun pada pikulannya.
kasihan dia, karena dinding tak dapat bicara,
dinding hanya bertelinga, tak tahukah dia?
Tak ada keluh kesah terlontar pada orang disekitar, hingga orang-orang itu buta, menganggapnya sebagai dewa atau prajurit harakiri, atau robot yang siap menampung segala program yang diinstal dalam otak besarnya.
Tanpa keluh sedikitpun.
Tanpa lelah sedikitpun.
"siap bilang dia tidak mengeluh?"
"siapa bilang dia tidak kelelahan?" kataku.
Dia...manusia.
Sekali lagi...Dia manusia!
Karena dia terlihat merana dalam gurat wajah polosnya;
karena dia menangis pada bintang;
karena dia berkeluh-kesah pada bulan;
karena dia berduka lara dalam pena-nya;
karena dia masih mau berkata-kata walau hanya dengan dinding berlumut.
Dan saat para pedagang mulai ribut dengan sikap lelaki itu,
aku bertanya, "kenapa tidak kalian pedagang menyelamatkannya dari arus deras air di pikulannya, bukan malah semakin memberatinya dengan ber-ember air lain yang siap menenggelamkannya, lalu kalian malah menyalahkan bintang, bulan, pena, dan dinsing atas apa yang terjadi pada mereka?!"
"Kalian terlalu mengangapnya tinggi!"
Dia bukan dewa;
dia bukan prajurit harakiri;
dia bukan robot!
Dia manusia!
Sungguh, benar, dia Manusia!
Memiliki kelemahan dan pula kelelahan.
Sungguh air mata hangat dari kedua pelupuk matanya, jauh lebih berharga berpuluh-puluh kati emas daripada sepikulan air dagangan dalam benaknya.
Karena air mata itu penuh kehangatan yang keluar dari lubuk hatinya...
Masih polos,...
Penuh kewajaran,...
Tanpa kepalsuan,...lugu aku mengharap.
Sebab sekarang, sudah jarang pedagang air mau mneumpahkan air, meski hanya setitik saja air mata.
karena dia lelaki, dan ego kelelakiannya yang tertinggi.
Hingga hanya Yang Di Atas menjadi saksi dalam setiap perbincangannya dengan bintang, bulan, pena, dan dinding berlumut yang bertelinga.
Lelaki itu hanya berharap, bintang, bulan, pena, dan dinding itu takkan bercerita dan menceriterakan 'kelemahannya' pada pedagang air yang lain, bahkan pada rumput sekeliling sumur.
Sungguh kasihan...
lambat laun lelaki itu pasti kan tenggelam, dalam air pikulannya sendiri.
Tapi egonya melarang untuk berteriak...hanya sunyi, dan terbungkam.
Dia tenggelam seorang diri, karena bintang, bulan, pena, dinding, tak mampu melawan kodrat, tuk mengulurkan tangan.
karena bintang bulan, pena, dinding,...tak punya tangan.
Tak punya tangan.
Semarang, 21 Juli 2004
Hesti Kurnia. K
[email protected] [ 0 komentar]
|
|