|
Hukum Bermusuhan Dengan Teman Kerja Uneq-Uneq - Wednesday, 15 September 2004
Tanya: Assalamu'alaikum wr.wb,
Dear Kafe muslimah,
Sudah bbrp bulan ini saya sedang ada masalah dengan teman sekantor yang duduknya disebelah saya. Dia yang mulai mendiamkan saya tanpa saya sadari selama berhari2. Setelah saya sadar didiamkan olehnya, saya beranikan diri untuk menelpon dia dari rumah untuk cari tau duduk masalah sebenarnya. Ternyata masalahnya sepele sekali, cuma salah paham. Saya pun sudah minta maaf padanya. Tapi ternyata keesokan harinya dia tetap mendiamkan saya sampai sekarang.
Anehnya, biarpun saya dimusuhi dia suka memakai barang2 pribadi saya. Sangking kesalnya waktu itu saya sindir dia, " Orangnya dimusuhin...tapi kok barang2nya dipake... nggak tau malu banget.." begitu. Akhirnya yang tadinya perang dingin jadi perang terbuka deh... saya menyesal sudah keceplosan ngomong begitu. Untuk minta maaf lagi kayaknya saya beraat sekali karena pastinya dia akan tambah menjadi-jadi menginjak2 harga diri saya (saya lebih tua bbrp tahun, jabatan saya pun lebih tinggi darinya walaupun beda divisi).
Saya selalu mohon ampun pada Allah SWT. atas perasaan marah, dendam dan benci yang saya pendam berbulan2 ini. Saya berharap Allah yang Maha membolak-balikkan hati supaya menyejukkan panasnya hati ini.
Mbak Ade, dkk... mohon beri saya petunjuk apa hukum agama Islam bagi orang yg bermusuhan spt kami selama berbulan2. Bgmn dg saya yg sudah minta maaf tapi tidak dimaafkan bahkan diintimidasi & dikucilkan dari pergaulan kantor (Sifat dia cukup supel sementara saya pendiam, shg dia punya banyak kesempatan untuk menarik sekutu).
Saya jadi stress selama bbrp bulan ini di kantor dan jadi malas kerja. Mohon mbak Ade bisa menunjukkan saya dalil2 yang shahih mengenai masalah ini dan apa doa2 mustajab yang bisa saya amalkan untuk mendamaikan hati ini dan membuka/menyelesaikan masalah ini.
Terimakasih banyak sebelumnya
wassalamu'alaikum wr.wb,
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullhi Wabarakatuh
Bisa jadi, saat ini ukhti sedang diuji Allah tingkat kesabarannya. Seorang muslim (ah) itu, diumpamakan seperti seekor lebah. Keberadaan dia di lingkungan tempatnya tinggal, tidaklah mengganggu siapapun, bahkan justru memberi keuntungan pada siapapun. Dari tubuhnya, orang bisa mendapatkan madu yang amat baik bagi kesehatan; dari kegiatan yang dilakukannya, membantu para bunga untuk berkembang biak karena adanya penyebaran putik. Lebah sendiri, hanya mengkonsumsi yang terbaik dari lingkungannya dan menghasilkannya pun yang terbaik pula. Subhanallah.
Dari hikmah kehidupan seekor lebah ini. Seyogyanya kita belajar bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain. Bagaimana caranya?
Ada beberapa petunjuk yang tersebar di Al Quran dan Al Hadits tentang bagaimana seharusnya seorang muslim itu berinteraksi dengan orang lain.
Misalnya, hendaknya kita hanya mengatakan yang baik-baik saja atau lebih baik diam. Jika memang dengan diam ternyata tidak menyelesaikan masalah, maka kita boleh melindungi diri dengan melakukan pertahanan atau perlawanan, dengan cara yang lebih baik, dengan catatan jika kita mampu bersabar dan berserah diri pada Allah SWT dan memberi maaf pada mereka maka itu lebih baik. Kita juga dilarang untuk membicarakan keburukan teman atau orang lain; pun dilarang pula untuk menghadirkan prasangka buruk pada orang lain, dan lain-lain.
Adapun hubungan ukhti dengan teman ukhti. Tentu saja permusuhan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Apalagi hanya karena masalah sepele. Ya sudah, maafkan saja dan maaf disini, sebisa mungkin dilakukan dengan tulus ikhlas. Jangan lagi diingat-ingat keburukan yang pernah dia perbuat pada ukhti.
Misalnya; meskipun dia tidak bercakap-cakap dengan ukhti, anggap saja ukhti tidak merasa bahwa beliau bersikap seperti ini. Terus saja ajak dia bercakap-cakap dengan kalimat yang baik dan santun. Jika dia mau meminjam atau mengambil sesuatu dari meja ukhti dan melakukannya dengan masih tetap menutup mulutnya (tidak minta ijin atau berkata-kata), ya sudah, biarkan saja. Katakan saja padanya sambil tersenyum ramah, “Mau pinjam yah? Ya sudah silahkan, jangan lupa nanti kembalikan lagi yah. Makasih.” Katakan saja ini setiap kali dia hadir di meja ukhti untuk mengambil sesuatu milik ukhti; kelak dia akan sadar bahwa seharusnya dia minta ijin dahulu dan mengucapkan terima kasih. Kita berprasangka baik saja, mungkin dia selama ini lupa untuk mengucapkan kalimat ijin dan permintaan terima kasih.
Niatkanlah maaf yang ukhti berikan pada teman ukhti itu, sebagai pemberian maaf karena Allah semata. Jangan diingat lagi, apakah dia seorang yang berpendidikan lebih rendah dari ukhti, ataukah seorang yang menjadi bawahan ukhti di tempat bekerja, atau mungkin seseorang yang lebih buruk, lebih bodoh, lebih pendek, lebih miskin, atau lebih apa saja yang menurut ukhti lebih rendah kualitasnya dibanding diri ukhti, lupakan itu semua dan jangan diingat lagi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya manusia itu sama kedudukannya di mata Allah SWT, yang membedakan manusia satu dengan manusia yang lain hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing.
Nah. Mengapa harus memandang rendah orang lain sehingga merendahkan kualitas kita sendiri di mata Allah SWT? Lebih baik kita merendahkan hati kita sehingga meninggikan kualitas kita di hadapan Allah SWT.
Adapun perilaku dia yang ukhti anggap memancing kesabaran dan emosi, jangan hiraukan. Karena jika ukhti layani, maka bisa jadi ukhti sendiri yang rugi karena beberapa hal. Pertama, ukhti jadi terbawa ajakan syaithan untuk menanggalkan pakaian sabar; kedua, ukhti jadi sama dengan dia, yaitu sama-sama membesar-besarkan hal yang sebenarnya sepele; ketiga, permasalahan yang semula kecil ini akan melebar menyentuh hal-hal lain sedikit demi sedikit sehingga tanpa terasa akhirnya telah menghubungi banyak hal yang tak terduga. Kalau sudah begini, tentu kalian berdua yang akan rugi sendiri. Jadi sekali lagi, maafkan dia dengan niat ikhlas karena Allah semata, lupakan semua kelakuan buruk yang dia lakukan pada ukhti, lalu bersabarlah dan terus berusaha berbuat kebajikan pada siapapun dan dimana pun.
”Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang dia sedikana untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (qs Ali Imran: 133-134)
”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, sera berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” “(Qs, Al-A’raf: 199)
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati dengan niat karena Allah, kecuali Allah pasti meninggikan derajatnya.” (HR Muslim dengan sanad dari Abu Hurairah)
”Barangsiapa ingin ditinggikan bangunannya (di surga) dan diangkat derajatnya, hendaklah ia memaafkan orang yang menzhaliminya, memberi orang yang enggan memberinya, dan menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.” (HR Hakim dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab ra)
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|