|
Wisuda Sederhana Jurnal Muslimah - Wednesday, 03 March 2004
Tgl 7 sept 2002 lalu, ada wisuda dikampus saya utk periode ke 3 (1 taun ada 4 kali). Sesuatu yang baru dan pemandangan aneh jika melihat wisudawan yang tidak memakai jas serta dasi dan wisudawati yang biasanya berkebaya juga bersanggul, sekarang hanya mengenakan baju hitam putih seperti laiknya mau ujian compre dan dilapisi baju toga. Sederhana, karena biasanya wisudawati (khususnya) tampil dengan glamournya, make up yang tebal-tebal (entah apa mereka bisa makan and minum dengan santai ato enggak),dan jalan pelan-pelan karena sempitnya kebaya yang dipake. Jadi pengen usil ngajak wisudawatinya lomba lari ..hehehehe
Pergantian rektor maka berganti pula peraturannya, bikin binun. Apalagi pergantian peraturan ini keliatan sekali pada saat pembayaran SPP. Para mahasiswa lama harus rela berjubel-jubel hanya untuk mendapatkan selembar cek tanda bukti SPP, bahkan ada yang sampai pingsan gara-gara sesaknya arus lalu lintas manusia di pintu masuk. Padahal pintu wanita dan laki-laki sudah dipisah, tapi kenapa malah yang jatuh korban justru di pihak wanita ?? terlalu semangatnya ataukah para mahasiswinya yang tidak sabaran ?? harusnya berganti rektor berganti juga cara pembayaran SPPnya, enggak perlu harus dgn selembar cek yang didapat dengan penuh perjuangan, bisa aja kan cek itu diganti dgn bentuk yang lebih bagus misalnya dgn kartu seperti ATM, tinggal ke Bank yang ditunjuk ato pos-pos pembayaran SPP yang tersebar di tiap-tiap fakultas. Kartu itu tinggal digesek atau di cap sesuai tahun, uang diberikan, beres.
Banyak mahasiswa di kampus saya yang menginginkan birokrasi kampus berjalan lebih fleksibel. Enggak ribet dan di ping pong kesana kemari, sampai-sampai ada temen saya di kampus yang ‘alergi’ datang ke rektorat, saking pandangan mengenai rektorat and the gank segitu menakutkannya. Terlalu jauh untuk dijangkau –pinjam istilah teman saya-, rakyat di bawah (mahasiswa maksudnya) gak pernah bisa menyalurkan aspirasi ke rector. Ucapan rektor adalah sabda, perintahnya adalah kewajiban, begitu kira-kira ungkapan yang tepat bagi birokrasi tertinggi kampus.
Menyedihkan. Bahkan saya yang sudah lama menghuni kampus ini tidak pernah merasakan kalau saya memiliki rektorat, apakah karena saya yang memang terlalu cuek ataukah apa ???
Berganti pemimpin berganti juga suasananya. Peraturan-peraturan yang lebih ketat, sistem glamour tidak terlalu ditampilkan. Pergantian suatu sistem ada yang diuntungkan dan ada juga yang merugi. Entah siapa yang merasa untung dan rugi, tergantung kebutuhan personalnya itu sendiri. Kalau saya, jujur saja saya merasa senang dgn salah satu sistem baru yang diterapkan sekarang yaitu performance saat-saat mengharukan yaitu ‘wisuda’, semuanya berpakaian sama tidak ada pamer-pameran baju terbaik dan make up tercantik yang sering membuat saya merasa kasihan dgn wisudawatinya (soale wajah mereka di’gambari’ macam-macam oleh periasnya), tapi yang membuat saya tidak begitu suka adalah wajibnya mengikuti wisuda padahal saya sempat berpikir tidak akan mengikuti acara ritual tersebut ya sekedar ujian lalu yudisium dan selesai ,apalagi lagu-lagu hymne yang dinyanyikan seperti lagu gereja (karena emang paduan suaranya kebanyakan anak nashoro) lalu juga acara yang lama, bisa-bisa ngebuat saya bete dan tertidur…hehehe.
YahhÂ….harapan tinggal kenangan, dan saya pun harus mengikuti ritual yang menjemukan itu.
(malam hari setelah melihat serombongan wisudawan wisudawati lewat di depan rumah dan berpikir Â… kapan saya lulus ya ??)
muth_mlg [ 0 komentar]
|
|