|
Keputusan Terakhirku Muslimah & Media - Monday, 20 September 2004
Kafemuslimah.com Sudah sejak dua atau tiga minggu ini aku selalu ragu, di pemilu pilpres putaran terakhir ini, pilih siapa yah? Luntang lantung pikiran dan analisaku mengembara. Ibarat seseorang yang hanya ingin membeli sepatu. Ada banyak sepatu yang menarik hati, beragam model dan bentuk serta bervariasi pula kegunaan dan manfaatnya. Tapi apa daya, uang di kantong amatlah sedikit. Lagipula, ada keterbatasan lain yang kumiliki yang tidak bisa dikutak-katik lagi, yaitu ukuran kaki.
Itulah gambaran kebimbangan yang kumiliki menjelang pemilu pilpres tahap kedua. Secara teori, dengan semua pengetahuan yang aku miliki (dan mungkin jumlahnya amatlah sedikit), aku tahu bahwa sebaiknya aku memilih satu di antara pilihan-pilihan yang tersedia. Pilihanku ini, insya Allah akan memberi kontribusi yang lumayan diperhitungkan bagi negara kita, Indonesia.
Fuuuhhh… Justru harapan ini yang membuatku kian gamang. Pilih siapa yah? Pilih apa dong?
Maka, mulailah usaha untuk menelusuri informasi seputar kedua kandidat capres tersebut dilakukan. Siapa itu Megawati dan SBY, siapa pula Hasyim Muzadi dan Yusuf Kalla. Apa latar belakang pendidikan mereka (karena ini insya Allah akan memberi gambaran cara mereka berpikir dan mengeluarkan kebijaksanaan), apa status social ekonomi mereka dan apakah kekayaan yang mereka peroleh itu diperoleh sesuai dengan kepantasan seorang pejabat (keempat orang ini termasuk pejabat loh). Apa rencana mereka dan bagaimana komitment dan sumbangsih mereka selama ini terhadap rakyat Indonesia dan yang terakhir yang tak bisa dianggap sepele adalah, siapa saja yang berada di sekeliling dan di belakang mereka (boleh percaya atau tidak, tapi keputusan dan kebijaksanaan yang dilahirkan seseorang itu dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya. Itu sebabnya Ali bin Abi Thalib mengatakan, bahwa agama seseorang itu bisa terlihat dari agama teman dekatnya, untuk menggambarkan bagaiman pengaruh dari teman dekat bisa sedemikian mempengaruhi cara pandang dan cara pikir seseorang).
Memilih presiden ternyata lebih rumit daripada memilih sepatu. Pernah dahulu, kira-kira dua atau tiga tahun yang lalu, di tengah pasar yagn hinggar bingar ramai dan hujan gerimis yang terus turun membasahi jalanan, aku terpaksa harus membeli sepatu semata dengan pertimbangan terpaksa membeli karena pertimbangan kata “daripada”. Yah, daripada kakiku lecet lalu terluka (aku punya penyakit dimana jika sudah luka perlu waktu cukup lama untuk kembali pulih seperti semula.. kata orang sih, punya bakat diabetes… entahlah). Daripada pulang ke kamar yang berkarpet dengan kaki penuh lumpur lalu kena omel pemilik kamar, lebih baik aku beli sepatu baru yang sederhana (kejadian ini waktu aku sedang berada di kota Melbourne dimana aku menyewa sebuah penginapan, kamar yang berkarpet karena Melbourne memang mirip kota Hujannya Australia, dingin dan rajin hujan sehingga untuk mengurangi suasana dingin dan lembab, pemilik kamar menggelar karpet di setiap kamar yagn disewakannya). Yah… pendek kata, semua pertimbangan “daripada-daripada” ini akhirnya melahirkan keputusan.
Memilih presiden tentu sulit jika dikenakan pertimbangan “daripada-daripada”. Presiden yang kita pilih itu, akan menjadi pemimpin di negara kita untuk insya Allah lima tahun ke depan. Darinya kelak akan lahir kebijakan vital yang berpengaruh besar, bukan hanya bagi partai pendukungnya tapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Yah, kita sedang mempertaruhkan 155 juta nasib di pundak seorang pemimpin tersebut. Kesadaran inilah yang membuat kegamanganku kian memuncak. Bingung euy.
Akhirnya, dua minggu ini aku kian rajin tadarus Quran. Bukankah Allah menjanjikan bahwa sesungguhnya shalat dan Tadarus Quran akan memberi ketenangan pada jiwa kita yang kebingungan? Seperti air sejuk yang akan membasahi kekeringan dan kemarau dalam diri yang kehilangan arah tujuan untku melangkah.
Tanggal 20 September 2004, akhirnya datang. Pukul 09.00 WIB, aku masih memasak. Waktu berlalu dan terus berjalan. Keramaian di jalan-jalan mulai berkurang. Rupanya orang-orang yang berduyun-duyun datang ke TPS telah berkurang jumlahnya. Pukul 12.30 WIB, selesai shalat dan mengaji, aku mengajak anak-anakku menuju tukang es kepala muda. Masih ada waktu setengah jam untuk menghasilkan keputusan, siapa yang akan kupilih. Matahari bersinar sangat terik. Angin kemarau yang bertiup kencang beberapa kali sama sekali tidak memberikan suasana kesejukan. Justru debu dan butiran tanah halus berwarna merahlah yang disebarkannya ke segala penjuru. Beberapa gadis remaja dan ibu-ibu yang bergerombol di dekat TPS berteriak setiap kali angin datang berhembus kencang. Mata mereka kemasukan debu. Beberapa orang terdengar memaki angin. Beberapa orang menghujat matahari yang terik. Beberapa orang tampak tak peduli. Beberapa orang memanggil-manggil namaku.
“Bu Ade.. Ayo, cepat. Masih ada waktu lima belas menit lagi nih sebelum waktu buat nyoblos ditutup. Ayo, cepat, mana kartu pemilihnya?” Aku tergugu dan tersenyum. Kali ini, tidak ada lagi rasa ragu, gamang dan gelisah. Aku sudah tahu siapa yang akan kupilih. Aku melangkah pelan menghampiri TPS 39, TPS tempatku mencoblos. Sambil tersenyum, aku menghampiri gerombolan ibu-ibu yang tampak berkerumun. Melewati mereka dan menghampiri petugas TPS yang semuanya adalah tetangga di dekat rumah.
“ Saya memilih untuk tidak memilih. Tidak usah tunggu saya, silahkah ditutup saja.” Semua orang di sekelilingku menatapku dengan pandangan terpana.
“Loh, kok? Golput maksudnya?” Aku mengangguk.
“Yaaa….. payah deh.” Kompak suara itu keluar terdengar. Dalam hati aku istighfar, Allah, ampuni jika aku salah mengambil keputusan. Tapi, semua pertimbangan tersebut lahir dari sebuah pertimbangan panjang. Bukannya aku tidak percaya pada pemimpin organisasi tertentu yang sudah mengeluarkan ketentuan lewat pertimbangan dan ijtima matang mereka. Bukan pula karena rasa sentimenku sebab calonku, Amin Rais, tidak lolos ke putaran ini. Bukan pula karena kekecewaanku karena melihat perselingkuhan politik yang terjadi berkenaan dengan koalisi antar partai dengan alasan atau argumentasi yang tidak masuk diakalku. Ini semua adalah bagiku adalah permainan politik. Juga bukan karena kesombonganku menilai rendah kemampuan kedua pasangan terbaik pilihan rakyat Indonesia. Ah.. siapa pula Ade Anita itu hingga merasa diri ini punya kesempatan untuk bisa berlaku sombong?
Jika hari senin, si A berkata tidak akan berteman dengan B karena B ini, ini dan ini. Tapi di hari selasa, A akan sepenuh hati membela B karena B itu, itu dan itu. Aku tidak bisa menerima pemikiran seperti ini. Jika aku mengikuti saja apa kata A, maka itu artinya aku sudah menanda-tangani kesepakatan untuk berlaku seperti kerbau dicocok hidungnya. Padahal di akhirat kelak, akulah yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang telah tangan, kaki, mata dan mulutku ini keluarkan. Apakah bisa kita berkata dengan enteng kelak, “saya berbuat seperti ini karena saya mengikuti anjuran A?”
Boleh saja di bulan April kemarin misalnya, beredar edaran yang sebenarnya mengandung Kampanye Hitam oleh pihak-pihak tertentu (sampai dengan bulan lalu, selebaran ini masih aku simpan) lalu bulan September ini pihak-pihak tertentu bersuara paling keras mengecam penyebar-luasan selebaran dan informasi yang berisi Kampanye Hitam terhadap kandidat yang dijagokannya. Mungkin di bulan April lalu masih hangat dalam ingatanku diskusi hangat dengan beberapa teman yang membela partai A dan menghujat partai B dengan segala keburukan dan kebobrokannya. Tapi dengan mudah di bulan September ini teman-teman dari partai A mengungkapkan semua kebaikan yang dimiliki oleh partai B, menyebar luaskan semua sisi baik B sama seperti hal sebaliknya yang dilakukannya di bulan april (narasumber berita terkait: silahkan simak berita kampanye yang ada di Koran-koran).
Ah… aku tidak bisa berbuat seperti ini. Bahkan kertas selebaran yang masih kusimpan itu terpaksa aku buang karena merasa bingung, kenapa begitu cepat sekali angin berubah haluan. Aku bukanlah selembar bendera yang arah kibarannya bisa diubah dengan sangat mudah oleh angin yang datang berhembus.
Boleh saja, disodorkan pertimbangan bahwa memilih itu adalah mempertimbangkan manfaat dan mudharat. Jika dihadapkan pada pilihan yang semuanya buruk, maka kita harus melihat mana yang paling sedikit memberi manfaatnya. Itulah yang tidak kita pilih. Tapi apa iya seperti ini? Lalu bagaimana jika kita ada di dua pilihan seperti kondisi yang terdapat di dalam sebuah peribahasa. Mana yang akan kalian pilih, masuk ke mulut Harimau atau masuk ke mulut Buaya? Duhh.. Masa iya aku harus mempertimbangkan bahwa jika masuk mulut Harimau, maka binatang ini akan mencabik tubuhku sedikit demi sedikit sebelum menelan keseluruhan sedangkan jika masuk mulut Buaya maka secara utuh dan bulat tubuhku ini akan dimasukkan ke dalam mulutnya, dibiarkan berada di dalam mulutnya hingga kehabisan udara dan mati mendadak. Keduanya pilihan buruk tapi yang satu bisa langsung mati dengan tubuh utuh terlebih dahulu sedangkan yang lain mati dengan tubuh terpisah-pisah. TIDAK. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Eh, btw, Aku jadi ingat lelucon yang sering diguyonkan oleh banyak orang jika dihadapkan pada pilihan seram tersebut. Aku akan duduk bersimpuh berdoa sambil memejamkan mata dan khusyu memohon agar memperoleh kematian yang khusnul Khotimah (hehehhe, nanti pelan-pelan aku akan buka mataku dan melirik kedua hewan tersebut yang ternyata juga sedang bersimpuh mengucapkan doa mau makan. Saat inilah aku akan berlari kencang, kencang dan kencang. Hehehhehe).
Jadi, sekali lagi. Akhirnya aku kemarin golput. Beberapa suara kecewa masih aku dengar.
“Wah, payah. Kalau begitu, jika nanti ada apa-apa dengan presiden kita, kamu tidak berhak memberi komentar, toh kamu tidak memilihnya kemarin?” (duhh, padahal pilihan ini aku ambil justru karena ingin memberi penekanan, bahwa presiden terpilih tidak berhak meng-atas namakan seluruh rakyat jika ingin mengambil sebuah kebijakan yang vital. Ada aku yang golput, artinya, aku tidak memilih dia dan itu artinya dia tidak bisa memakai kata “seluruh rakyat.” (jumlah Golput di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 20 –23 % dari keseluruhan rakyat Indonesia, dengan cirri-ciri antara lain, tidak datang mencoblos atau ikut mencoblos tapi menyebabkan suara tidak sah. Jumlah Golput terbesar terjadi di Malang, Semarang, Yogyakarta, Palembang, Jakarta dan Bali. Sumber berita: Republika, 21/9/2004)
Dan pada akhirnya, kita semua akan mempertanggung-jawabkan apapun yang kita pilih di akherat kelak. Siap nggak siap, harus siap.
Selamat untuk rakyat Indonesia yang telah melakukan pemilihan umum dengan tertib dan tenang. Insya Allah, jika tidak ada kejutan yang luar biasa, Susilo Bambang Yudhoyono akan menjadi Presiden ke –enam kita, didampingi oleh Muhammad Yusuf Kalla (hasil perhitungan quick count LP3ES, SBY-YK diperkirakan akan mengunggguli Mega-Hasyim dengan 60,80 dan 39,20. Quick Count oleh Polling Center, SBY-YK mengungguli Mega-Hasyim dengan 60,21 dan 39,79. Sedangkan Quick Count yang dilakukan oleh kubu Tim Mega-Hasyim, SBY-YK tetap unggul dengan 54,30 dan 45, 70).
--- 21 September 2004 ([email protected])
Saya tahu, tulisan ini bisa jadi akan menuai beberapa protes atau pertanyaan seperti artikel yang serupa yang pernah tayang seusai pemilu pilpres tahap pertama. Mohon jangan kirim lewat japri ke email saya, tapi tulis saja di bagian komentar, agar kita semua bisa mendiskusikannya. Makasih)
[ 0 komentar]
|
|