[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Bermula Dari Asbak Plastik
Muslimah & Media - Tuesday, 21 September 2004

Kafemuslimah.com Berencana untuk dinas luar kota atau pergi ke luar kota atau rekreasi di luar kota? Dimana akan menginap? Pertanyaan ini kerap hadir di kepala mereka yang berencana untuk menginap di luar kota. Tempat menginap ini memang sesuatu yang sangat vital selain urusan mengisi perut dan keluar ongkos untuk bepergian itu sendiri. Sulit rasanya membayangkan bepergian ke luar kota tanpa punya gambaran dimana akan menginap nanti. Kecuali jika memang siap mental untuk “menggembel” alias tidur di sembarang tempat yang gratis, termasuk pos hansip. Tapi… ah… masa iya sih? Nggak deh.

Sudah lazim rasanya jika rakyat Indonesia itu sangat senang dengan yang serba gratis. Istilah kerennya, “suka nggak mau rugi!” Jika ditugaskan ke luar kota, dapat sih dapat anggaran akomodasi, ada deh insya Allah di dompet. Aman dan anteng. Tapi kalau ada tawaran untuk menginap gratis, apa salahnya jika anggaran itu disimpan untuk beli oleh-oleh? Jadi, kalau ada rencana ke luar kota maka hal pertama yang akan terpikirkan adalah, “Di sana ada siapa yah yang bisa ditumpangi?” Lalu usaha pertama yang akan dilakukan sebelum keberangkatan itu adalah, menghubungi si empunya rumah untuk berkata, “Boleh nggak aku tingal di rumahmu?”. Setelah itu, baru deh mulai memesan tiket, mengepak koper, dan sambil tersenyum manis menatap anggaran akomodasi yang sekali lagi bisa diselamatkan. “Alhamdulillah, kamu insya Allah aman di dalam dompetku.”

Tapi bagaimana jika tidak ada seorang pun yang dikenal di kota tujuan? Bagaimana jika kita betul-betul merupakan contoh nyata seperti yang diistilahkan oleh Sting (penyanyi dari Inggris) sebagai “I’m Alien In New York” alias tidak kenal siapa-siapa dan tidak punya siapa-siapa di kota yang kita tuju tersebut. Waaahhh….

Ya sudah. Apa boleh buat. Buka dompetmu dan liriklah anggaran akomodasi yang sedang tidur nyenyak di dalam dompet dengan aman. Ini saatnya untuk memanfaatkan mereka. Toh, sejak awal memang seharusnya dia disalurkan untuk menutupi biaya akomodasi. Lalu mulailah acara awal kedatangan di kota tujuan dilakukan. Keluar masuk penginapan mencari kamar dan menginap di sana sesuai dengan kebutuhan. Hingga saatnya pulang kembali ke rumah pun tiba. Sebelum cek in, apa yang lazim dilakukan oleh seseorang sebelum meninggalkan kamarnya? Bebenah dan tidak lupa meraih buah tangan yang tersedia di dalam kamar.

Film tentang orang muda di Amerika yang pernah punya penggemar muda yang terkenal, Friend, pernah mengangkat kebiasaan orang-orang yang sering mengutil barang-barang di tempat mereka menginap dalam sebuah parody yang lucu (ini bisa berarti kabar baik yah, ternyata kebiasaan mengutil itu bukan monopoli kebiasaan orang Indonesia saja yah?). Letak sindiran lucu yang diangkat dalam film tersebut adalah, mencari-cari sisi lemah dari sebuah peraturan yang dibuat oleh Hotel terhadap para konsumen mereka.

Yaitu seperti, ada tulisan:
1. “Dilarang membawa atau menghilangkan barang-barang pecah belah yang terdapat di dalam kamar hotel.” Lalu apa yang dilakukan oleh Ross, Monika, Phoebe dan kawan-kawannya? Mereka memang tidak mengambil guci mungil tempat menyimpan garam dan merica, tapi… kalau mengambil tissue kan boleh. Kenapa tidak pindahkah saja garam dan merica tersebut di dalam tissue? Kan lumayan jadi punya persediaan garam dan merica gratis? Mereka juga mengambil semua barang-barang yang terbuat dari plastik, salah satunya adalah asbak plastik.
2. “Dilarang membawa handuk yang disediakan untuk membersihkan badan selama anda menginap”. Ross langsung mengatakan, bahwa lantai di depan kamar mandi terlihat basah dan kotor. Dia langsung mengepel lantai tersebut dengan handuk hingga handuk yang disediakan oleh hotel terlihat sangat kotor dan dekil. Lalu, Ross bertanya pada teman-temannya, “Ada yang mau mandi dengan handuk ini?” Tentu saja teman-temannya bergidik jijik menolak. “Ross, itu kan sudah jadi lap pel” Ross tersenyum dan meminta teman-temannya untuk melihat selebaran peraturan hotel, apakah tertera tulisan tidak boleh mengambil lap pel disana? Tentu saja tidak ada dan handuk kotor itupun berpindah tempat ke koper mereka. Jadi souvenir untuk dibawa pulang.
3. ”Dilarang membawa barang –barang yang disediakan berpasang-pasangan yang disediakan untuk para tamu hotel.” Ini yang lucu. Sudah pada tahu kan bahwa para anggota Friend ini hidup bertetangga dan memang sangat akrab di apartemen mereka. Jadi, muncullah ide kerja sama yang sangat baik di antara mereka. “Kamu tahu tidak? Yang dilarang itu kan membawa serta barang-barang yang disediakan berpasang-pasangan. Bagaimana jika aku membawa yang sebelah kanan saja? Itu, boleh kan? Tidak tertulis di peraturan kan?” Walhasil, Joe membawa sendal kuning sebelah kiri, Monika membawa yang sebelah kanan, Ross membawa sepatu tidur yang sebelah kiri sedangkan Rachel yang sebelah kanan. Dan masih banyak lagi kekonyolan untuk mencari sisi lemah dari sebuah peraturan.

Fiuhh… saya sampai terpingkal-pingkal menonton akal-akalan konyol yang dilakukan oleh sindiran film tersebut. Tapi pagi ini, saya sama sekali tidak bisa terpingkal-pingkal lagi membaca sebuah berita di surat kabar. Mungkin karena film hanyalah sebuah khayalan, walau mungkin mengangkat fenomena yang sungguh terjadi di tengah masyarakat, hingga tawa saya masih bisa terkembang. Maka tawa saya langsung hilang dan berganti dengan kernyitan kening.

Bayangkan, barang-barang milik Pemkot Tangerang yang disediakan oleh Pemkot bagi para anggota DPRD di rumah dinasnya, ternyata ikut raib seiring dengan kepindahan para anggota DPRD yang telah habis masa tugasnya (Republika, 22/9/2004). Duh… masa iya sih, mereka tega mengangkut barang-barang yang disediakan untuk kelancaran tugas mereka selama ini ke rumah pribadi tempat mereka harus pulang kembali? Kalau para penghuni hotel sering membawa serta barang-barang milik hotel untuk “souvenir gratis dan pribadi”, masih masuk akal mengingat memang orang Indonesia itu punya penyakit “nggak mau rugi”. Para penghuni hotel ini kan merasa sudah membayar, menggunakan anggaran akomodasi yang semula akan diamankan, jadi ditambah dengan penyakit kikir dan tidak mau rugi tadi, masuk akal jika mereka mencari sesuatu untuk mengobati luka hati karena terpaksa mengeluarkan anggaran akomodasi. Tapi ini, para calon mantan anggota DPRD? Mereka sudah lima tahun hidup serba gratis di rumah dinas tersebut. Listrik dibayarin, telepon gratis, tempat tidur sudah tersedia, pokoknya asli cuma tinggal bawa koper dan badan saja deh. Kenapa pula mereka mengangkut barang-barang yang disediakan gratis oleh negara tesebut?

Huh. Memalukan.
(Nggak usah diceritakan yah, kisah tentang Umar bin Abdul Aziz ketika menerima tamu di malam hari di saat dia sedang bekerja lembur. Malu hati ini jika mengingat pertanyaan Umar kala itu pada sang tamu.
“Apakah yang ingin engkau bicarakan itu terkait dengan urusan negara?”
“Tidak amirul mukminin. Sama sekali tidak berhubungan.”
“Apakah yang ingin engkau bicarakan ini terkait dengan masalah rakyat di luar sana?”
“Tidak amirul mukminin. Rasanya tidak ada hubungannya dengan rakyat.”
“Apakah yang ingin engkau bicarakan ini persoalan umat?”
“Sekali lagi, tidak ada hubungannya dengan persoalan umat. Yang ingin aku bicarakan denganmu adalah masalah pribadi antara kau dan aku.”
“Jika begitu, tunggu sebentar. Biarlah aku matikan dahulu lampu yang ada di atas kita ini.” Fuuuhhh.. Lampu ditiup, ruangan gelap gulita. Sebuah tanda tanya besar hadir di kepala sang tamu. Bagaimana tuan rumah ini, mengapa tidak sopan menerima tamu dengan bergelap-gelap ria?
“Wahai amirul mukminin, aku tamumu. Mengapa kau padamkan lampu di ruangan ini, apakah engkau tidak menghormati aku sebagai tamumu?”
“Tidak. Jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Aku melakukan ini karena sebuah kesadaran. Lampu ini diberikan oleh negara padaku karena aku memegang mandat untuk menjalankan negara ini. Minyaknya dibiayai dari uang rakyat dan cahayanya seharusnya dihabiskan hanya untuk ketika saya sedang mengurus persoalan umat, karena merekalah yang membiayai semua ini lewat pajak. Sedangkan yang kita bicarakan, tidak ada hubungannya dengan negara, dengan rakyat apalagi persoalan umat. Ini masalah pribadi antara kau dan aku. Ketahuilah tamuku, aku hanyalah seorang yang rakyat biasa seperti halnya semua rakyatku di luar sana. Aslinya, aku tidak punya harta apa-apa. Jadi, jika ingin membicarakan masalah pribadi, maka yang kau temui adalah aku yang tidak punya apa-apa.”)

---- 22 September 2004 ([email protected])

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved