|
Tercekat Karena Uang Kaget Muslimah & Media - Saturday, 25 September 2004
Kafemuslimah.com Pernah ada seorang tetangga saya, yang hidupnya amatlah miskin. Rumahnya (jika memang bisa disebut sebagai rumah) terapit dua dinding tetangga kiri kanannya. Sebenarnya, lebih tepat disebut sebagai tanah kosong yang kebetulan berada di tengah-tengah tembok. Maka, dengan sanggahan bamboo, dibuatlah penyanggah untuk atap, diberi dinding anyaman bamboo maka jadilah sebuah rumah. Jangan pernah datang ke rumahnya di malam hari, karena jalan menuju ke rumahnya amatlah gelap gulita, dengan bau sumpek yang menyengat karena tempatnya yang sangat lembab (sama sekali tidak memperoleh pencahayaan matahari di waktu siang karena tempatnya yang sedemikian menyempilnya) dan sering kali beberapa kucing dan ayam memanfaatkan tanah lembab di gang menuju rumahnya untuk membuang kotoran. Pekerjaan tetangga saya itu sehari-harinya adalah cuci setrika pakaian, sedangkan suaminya menjadi kuli pengangkut barang di pasar. Anak-anaknya, kebetulan dia punya beberapa anak karena selalu gagal KB, tentu saja tidak bisa ditampung semuanya di rumah (dia punya 6 orang, tiga orang cucu karena dua orang anak perempuannya yang telah dewasa beberapa waktu lalu dicerai oleh suaminya sehingga terpaksa kembali ke rumah orang tuanya lagi, yah, tetangga saya itu, dengan tambahan anggota keluarga, tiga orang cucu tadi). Untuk menyiasati kekurangan tempat untuk menampung istirahat jika malam hari, maka tiga orang anaknya yang lelaki terpaksa tiap malam tidur di teras masjid dekat rumah.
Suatu hari, ada seorang teman saya yang cukup berada menitipkan uang zakal hartanya pada saya. Saya pun lalu menyodorkan tetangga saya itu pada teman saya yang cukup berada tadi. Dia setuju, maka berangkatlah kami menuju ke rumahnya. DI sepanjang jalan, tanpa sengaja saputangan wangi yang semula bersemayam di dalam kantung teman saya itu, keluar dan hingga di hidungnya. Yah, Siapapun yang tidak terbiasa tentu akan terganggu dengan bau lembab, sumpek dan pesing yang beredar di lingkungan kumuh tersebut. Sampai di rumah tetangga saya itu, teman saya memberikan uangnya. Tetangga saya langsung menangis tersedu dan mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga sambil membungkuk mencium tangan teman saya itu. Saya juga ikut terharu melihatnya. Sambil bercucuran air mata, tetangga saya mengucapkan terima kasih berulang kali dan terus berulang-ulang. Dia memang sedang dilanda kesulitan keuangan. Suaminya yang berbadan kurus kering jatuh tertimpa karung beras 50 kg hingga sakit selama dua bulan berjalan. Otomatis tidak ada masukan tambahan untuk mengasapi dapur sehari-hari, guna memberi makanan pada 11 mulut dan menutupi biaya hidup sehari-hari. Berapa tah upah buruh cuci setrika sebulan? Tentu saja tidak cukup, apalagi tiga orang anaknya masih duduk di bangku sekolah (dua anak perempuannya yang telah jadi janda juga ikut membantu menjadi buruh cuci setrika di rumah-rumah orang kaya). Sepulang dari rumah tetangga saya itu, di jalan, perlahan saya bertanya, sebenarnya berapa uang yang dia berikan pada tetangga saya itu, hingga tetangga saya itu sedemikian terharu dan berterima kasihnya? Teman saya terdiam dan berkaca-kaca. Lalu berkata,
“Yang saya berikan hanya sebesar Rp 300.000 saja.” Yah, kami lalu terdiam. Uang sebesar itu, insya Allah akan kembali lebih banyak lagi bulan depan, dan bulan depannya lagi, dan bulan depannya lagi. Karena itu hanya sebesar 2,5 % dari jumlah penghasilan teman saya setiap bulannya. Bisa jadi bagi teman saya yang bahkan tidak pernah bisa bertahan satu hari saja di tempat yang tidak ber-ac, uang sebesar Rp 300.000 itu tidak ada artinya. Jika dipakai untuk makan di restoran bersama dengan teman-temannya, cuma cukup untuk membayar sekali makan saja. Untuk membeli tas kulit yang selalu menghiasi pundak teman saya saja, uang sebesar itu masih sangat kurang. Tapi tadi kami disuguhi pemandangan betapa besar rasa terima kasih tetangga saya menerima uang sebesar itu. Jadi, saya bisa mengerti jika teman saya tidak bisa berkata banyak selain merasa terenyuh.
Pemandangan trenyuh itu, kini kembali saya rasakan jika saya menyaksikan acara “Uang Kaget” di RCTI, setiap hari sabtu, pk. 11.00 WIB. Yah, acara ini bagus dan menyentuh. Berbeda dengan acara bagi-bagi hadiah lain yang kebanyakan sasarannya adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, atau berpendidikan dan berpekerjaan, maka acara “Uang Kaget” ini, sasarannya adalah mereka yang berasal dari kalangan bawah. Rumah mereka kebanyakan reyot, berada di daerah kumuh, dengan kepolosan wajah yang khas dimiliki oleh mereka yang sudah sangat akrab dengan penderitaan hidup sehari-hari.
Gambaran acara tersebut adalah, seseorang akan didatangi oleh Mister Keberuntungan yang mengatakan bahwa secara acak peserta telah terpilih untuk dapat menghabiskan “Uang Kaget” secara bijaksana. Lalu peserta diberi “Uang Kaget” sebesar Rp 10.000.000 dimana ketentuannya, dalam waktu 30 menit dia harus habiskan uang tersebut dengan membeli barang apa saja yang sekiranya berguna baginya tapi barang tersebut tidak boleh sama jenisnya (jika sama jenisnya maka barang yang kembar itu diambil oleh penyelenggara dan jika waktunya sudah habis sementara uangnya belum, maka sisa uang yang ada harus dikembalikan kepada penyelenggara).
Mungkin bagi mereka yang hidup lumayan baik, dengan latar belakang pendidikan yang lumayan baik, jika diberi uang dan kesempatan itu bisa merencanakan dengan baik. Tapi lain halnya jika yang mendapat uang dan kesempatan itu adalah orang miskin. Bisa jadi lima hingga tujuh menit pertama yang terjadi adalah mereka akan terkejut, tercekat dan tidak percaya terlebih dahulu. Baru setelah itu langsung berlari menuju pasar.
Pernah ada seorang bapak yang berkulit hitam kasar karena banyak terbakar matahari; suatu hari memperoleh kesempatan didatangi oleh Mister Keberuntungan, setelah diwawancara tentang beberapa hal yang terkait dengan kehidupan sehari-harinya. Setelah diberi “Uang Kaget” bapak itu langsung menangis tersedu padahal setelah uang berpindah tangan ke tangan peserta maka waktu mulai dihitung. Akhirnya setelah diingatkan, dengan langkah masih gontai karena rasa terkejut yang tidak terhingga, bapak itu langsung berlari menuju pasar. Setelah melihat sepeda motor yang diduduki oleh seseorang, dia langsung membelinya, dilanjutkan dengan membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti mie, beras, minyak goreng dan sebagainya. Lalu dia membeli televisi, dan beberap alat elektronik lainnya. Alhamdulilah semuanya lancar. Saya sudah jatuh kasihan sendiri melihat kondisi si bapak hingga ikut larut dalam perasaan selama menyaksikan acara tersebut. Jadi, ketika waktu akhirnya habis dan si bapak sudah berhasil membeli barang-barang yang bisa jadi selama ini hanya mengendap di khayalannya saja, saya juga ikut terharu gembira. Alhamdulillah.
Begitu juga dengan peserta-peserta lain yang saya saksikan. Tapi tidak semua peserta memperoleh kelancaran dalam tugasnya membelanjakan uang sebesar itu. Ada juga yang gagal. Biasanya ini disebabkan karena penjual yang menjadi pemilik tokoyang didatangi tidak percaya bagaimana mungkin orang dengan penampilan “khas dhuafa” tiba-tiba datang ke tokonya dengan membawa banyak uang dan menawar barang dagangannya. Mungkin yang muncul adalah prasangka buruk, “jangan-jangan ini uang haram, jangan-jangan ini hanya lelucon televisi untuk mengerjai toko mereka” dan banyak prasangka buruk lainnya. Jadi, jangan heran jika ketika peserta menanyakan harga barang dagangan di sebuah toko, pemilik toko tidak melayaninya. Rasa tidak percaya dari penjual ini yang sering menyebabkan peserta kehilangan kesabarannya. Mereka jadi marah dan kadang mulai merasa putus asa.
“Kenapa sih nggak mau ngasih tahu harganya? Saya punya uang nih, lihat.. . Saya beli kok.” Peserta tampaknya menyadari mengapa beberapa pemilik toko tidak mempercayai niat baik mereka membeli barang dagangan.
“Yah, saya kan sehari-hari memang orang miskin. Mereka mungkin nggak percaya bahwa saya memang punya duit dan memang di tangan saya ada duitnya kan, tapi yah, mereka nggak percaya ajah bahwa saya bisa punya duit.”
Kasihan. Tapi fenomena bahwa penjual lebih percaya pada penampilan pembelinya itu memang terkadang menyebabkan lahirnya prasangka bahwa mereka yang dekil, kumal dan cuma bersendal jepit itu tidak punya uang. Akhirnya ketika ada seseorang dengan penampilan seperti itu, jangan heran jika lingkungan pertokoan menolak kehadiran mereka atau memasukkan mereka sebagai sosok yang patut diawasi.
Hmm….
Entah mengapa saya setuju jika acara tersebut diteruskan. Semakin banyak orang miskin yang diberi kesempatan, insya Allah kecemburuan yang terjadi antara si miskin dan si kaya bisa dikecilkan ketegangannya. Allahu’alam. ([email protected])
--- 25 September 2004
[ 0 komentar]
|
|