[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Jihad Gaya Amerika
Oase Ilmu - Sunday, 10 October 2004

Kafemuslimah.comDari buku Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa, ada salah satu kisah suka duka muslimah Amerika yang bekerja memberikan layanan untuk para penderita AIDS. Dan dia ternyata juga salah satu penderitanya, ditulari dari suaminya, seorang pecandu obat bius.

Bagi saya, kisahnya sangat menyentuh hati dan mengharukan, serta menggambarkan "jihad" sebenar-benarnya, sementara masih banyak saudaranya
sesama muslim yang siap "berjihad" pula dengan mengisolasi dan menghukum
sekeras-kerasnya para penderita AIDS dan para PKS, dan masih menganggap
"azab" AIDS tidak akan mungkin mengenai dirinya yang suci.
salam,

Di Bawah Tikar Sembahyang
Tarajee Abdur-Rahim

------------------------------------------------------------------------
Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS 6:17)
------------------------------------------------------------------------

Pada usia empat puluh dua tahun, dia menerbitkan jihad iklan Tauheed,[2]
sebuah laporan berkala yang terbit dua bulan sekali tentang AIDS. Jurnalis
memuat ulasan percobaan klinis, artikel-artikel tentang gejala atau
ciri-ciri umum di antara para PWA (People With AIDS --orang-orang yang
mengidap penyakit AIDS), daftar pelayanan sosial, tanya jawab, iklan dan
tajuk rencana, beserta ayat-ayat Al-Quran. Dia juga menawarkan kepada para
PWA sebuah kelompok diskusi, bantuan dari luar, layanan pembersihan
apartemen, binatu, belanja, suruhan, pengawalan, kunjungan pribadi. Dia
adalah seorang yang bersemangat luar biasa besar dan sebuah benteng kekuatan bagi kelima putrinya. Tetapi dia berjuang keras untuk merasakan perlindungan dan penghormatan oleh masyarakat Muslim.

Saya mengikrarkan syahadat enam belas tahun yang lalu. Suami saya telah
memeluk Islam dua tahun sebelum saya mengucapkan syahadat saya. Saya pikir Islam begitu hebat.

Dulu saya memakai thobe[3] dan kirfi (topi) kepunyaan suami saya. Pakaian
itu tampak bagus saya pakai. Tetapi saya tidak tertarik. Saya menyebut diri
saya, nyaris dengan kebanggaan, sebagai seorang ateis.

Suatu hari saya mengambil Al-Quran dan membacanya. Kitab itu sungguh melambungkan jiwa saya. Saya tahu inilah kebenaran. Sangat masuk akal. Tapi,
saya tidak dapat segera mengucapkan kalimat syahadat. Sebab hal itu berarti
saya harus membakar semua rok mini dan celana pendek saya. Tetapi saya tidak
keberatan. Itu sama sekali tidak memberatkan saya. Karena sejak saat itu saya tidak ingin menjadi yang lain lagi.

Putri saya yang paling besar saat itu baru berumur enam tahun dan yang nomor
dua sekitar dua tahun. Sekarang mereka berusia dua puluh tiga dan delapan
belas tahun. Dahulu mereka bernama Nadine dan Hillary. Sekarang Latifa dan
Malika. Sesudah itu saya memiliki tiga anak lagi, semuanya perempuan.

Ketika saya menikah, anak tertua saya telah berumur empat atau lima tahun.
Kami memutuskan untuk menikah secara resmi. Kami meninggalkan Harlem menuju ke Brooklyn. Malik adalah teman saya, kekasih saya, sahabat saya.

Malik mempunyai masalah keterlibatan dengan obat-obatan. Dahulu saya sering menyindirnya. Saya katakan kepadanya bahwa dia bukan seorang pemadat yang baik. Dia telah berusaha keras dan tetap tidak berhasil. Dia mungkin bisa meninggalkan kecanduan itu selama lima atau enam tahun, kemudian minum-minum lagi selama satu tahun.

Dia cukup mampu membiayai kebiasaan itu. Dia tidak pernah mengambil apa pun dari rumah. Melihat perubahan wajah dan sikap yang dialaminya ketika dia sedang dalam pengaruh obat-obatan, merupakan saat yang paling menyakitkan. Saya tidak pernah melihat dia menggunakannya. Dia tidak pernah melakukannya di hadapan saya atau anak-anak, tetapi saya selalu mengetahui kalau dia memakai obat-obat itu lagi.

Tak ada alasan untuk meninggalkan orang ini. Dia terlibat dalam masalah yang
dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Dan itulah persoalan utamanya.

Ketika orang-orang mulai membicarakan tentang AIDS, saya mendengarkan dan saya memikirkannya sendiri. Saya tidak perlu mengkhawatirkannya: saya
seorang Muslim. Saya shalat lima kali sehari. Malik juga seorang Muslim.
Saya berkata pada diri sendiri, dia yang menggunakan obat-obatan, bukan saya.

Tetapi ketika saya terus mendengarkan tentang AIDS, saya mengatakan, mari
kita pergi dan periksa. Pada awalnya, dia tidak mau pergi. Tetapi saya, perlu mengetahui, sebab saya dengar bahwa tempat-tempat yang berhubungan langsung dengannya merupakan kategori risiko tinggi. Akhirnya dia setuju dan
kami pergi. Hasil diagnosa mengatakan bahwa sejak sebelas tahun yang lalu
kami mengidap HIV-positif.

Saya benar-benar terhenyak. Saya tidak dapat mempercayai bahwa saya terjangkiti virus tersebut. Tetapi saya tidak meratapinya terlalu lama.
Islam mengajarkan kepada Anda bagaimana menghadapi berbagai persoalan yang terjadi dalam hidup Anda. Dan cara untuk menghadapinya sangat sederhana:
beriman dan tawakal kepada Allah. Saya memikirkan hal itu dan saya berkata
pada diri sendiri, mungkin sekarang dia akan meninggalkan obat-obat itu.

Tak ada dukungan komunitas Muslim yang dapat diharapkannya. Tak ada sistem yang mendukung kaum heteroseksual. AIDS adalah penyakit para gay. Itu adalah
penyakit orang Haiti, itu adalah penyakit kaum homoseks kulit putih. Begitu pendapat orang banyak dan sekarang kita ketahui bahwa pendapat semacam itu salah. Tetapi saat itu, itulah yang dipercaya semua orang. Kami bukan orang kulit putih, kami bukan gay, kami bukan orang Haiti. Dan saya tahu ini tidak disadari masyarakat. Saya sangat marah pada Malik sebab saya ingin dia melindungi saya, bukan dari virus itu, tetapi dari unsur-unsur di sekeliling virus tersebut. Saya ingin duduk di samping Malik dan mendapat rasa aman.

Saya tidak ingin mencemaskan apa yang dipikirkan orang Muslim yang lain. Saya ingin Malik membuat hidup ini aman bagi saya. Saya sangat marah pada Malik atas semua ini, tetapi saya tidak pernah marah mengenai penyakit itu.
***
Saya harus memberanikan diri untuk keluar. Saya ingin tahu apa yang dilakukan orang terhadap AIDS, saya ingin mengambil manfaatnya bagi saya. Saya tahu banyak orang yang mengidap penyakit tersebut selain saya. Lagi pula, saya tahu banyak orang Muslim selain saya yang terjangkiti penyakit ini. Saya tahu saya bukan satu-satunya yang terkena virus tersebut.

Malik tidak ingin menghadiri kelompok pendukung. Dia tidak ingin mengetahui apa-pun. Dia hanya marah: Mengapa Allah menimpakan hal ini kepadanya? Mengapa Allah meletakkannya pada posisi di mana terdapat kemungkinan besar bahwa dia akan mati karena sesuatu yang tidak ada obatnya, dan meninggalkan istri dan anak-anaknya? Saya bukan seorang laki-laki, dan saya tidak memahami bagaimana seorang lelaki berpikir, tetapi saya kira saya memakluminya.

Kami selalu bertengkar sejak saat itu. Saya mencela kemarahannya. Dia mencaci cara saya menghadapi keadaan tersebut. Saya pikir mungkin sebagai laki-laki dia merasa gelisah karena istrinya lebih kuat dari dirinya. Saya tidak pernah mencoba menegangkan otot, dalam arti mengajaknya berkelahi. Saya pun ingin melindunginya. Tetapi kadang-kadang saya sendiri pun merasa ingin menangis. Saya ingin menangis tetapi saya tidak dapat melakukannya. Saya terlalu sibuk menabahkan diri untuk menghadapi kenyataan itu.

Entah bagaimana sebagai seorang perempuan, saya mendapati diri saya setahap demi setahap meninggalkan sifat feminin saya dan memandang segala sesuatu dari sudut pandang maskulin. Karena saya merasa tak seorang pun melindungi saya, maka saya harus melindungi diri saya sendiri. Lalu saya mengenakan baju baja saya, membawa perisai di satu tangan saya dan tombak di tangan yang lain. Saya mulai mendatangi kelompok pendukung yang satu ke kelompok yang lain, hanya untuk melihat. Saya mengetahui semuanya dari 'penghuni planet Mars yang kecil dan hijau'.
Tetapi saya gembira. [Tertawa].

Gay Men's Health Crisis Center (Pusat Penanganan Krisis Kesehatan Kaum Gay) di (Greenwich) Village memperlakukan saya seperti seorang ratu. Sebelum saya ke sana, saya tahu bahwa tempat itu hanya untuk kaum gay
semata. Tetapi itu tidak membuat saya berbalik. Merekalah yang terperanjat dengan kehadiran saya. Lupakan kenyataan bahwa saya seorang wanita. Tetapi saya seorang wanita kulit hitam, dan saya seorang wanita Muslim. Saya membiasakan diri dengan kenyataan tersebut.

Ketika saya mengunjungi GMHC dan beberapa organisasi AIDS lain yang semuanya dikelola oleh para pria homoseks, tindakan pertama mereka semuanya sama: Mereka hanya duduk dan memandangi saya. Di wajah mereka saya dapat membaca pikiran mereka [dengan suara yang dibuat-buat, difemininkan]: "Oh, dia nyata-nyata berada di tempat yang salah." Dan di wajah-wajah yang lain saya dapat melihat: Saya heran apa yang dia lakukan di sini. Dan ada pula wajah-wajah yang menyiratkan: "Oooo, saya menyukai pakaiannya." Itu semua sangat menghibur saya. Mereka memperlakukan saya dengan begitu baik. Tentu saja saya tidak membuang waktu menunggu mereka bertanya mengapa
saya berada di sana. Saya segera menjelaskan duduk persoalannya. Saya segera memperkenalkan diri: "Nama saya Tarajee. Saya juga mengidap HIV positif. Saya tahu saya berada di tempat yang tepat."

Mereka senang bersama saya, saya pun demikian. Mereka ingin mengetahui mengapa saya menutup rambut saya dan seberapa panjang rambut saya. Mereka menanyakan kepada saya beberapa pertanyaan kewanitaan. Itulah yang sangat menghibur saya. Saya dapat berbagi rasa. Saya merasa nyaman bersama mereka. Saya merasa bersama "para wanita". Saya tidak merasa terkucil.

Mereka membuka lebar pintu mereka. Saya dapat datang dan pergi-sesuka hati.

Sebagian besar dari mereka merasa saya orang yang mengagumkan. Kami tidak

banyak berbicara masalah HIV, tetapi kami lebih banyak membicarakan

masalah-masalah kemanusiaan. Saya datang ke sana tanpa mengetahui apa yang

saya cari, tetapi saya keluar dengan begitu banyak pengetahuan. Saya

mempelajari banyak hal tentang mereka --kecemasan mereka, cara mereka

menghadapi masalah itu. Lebih dari itu, saya mengetahui bahwa mereka pun

berdarah jika terluka, sama seperti yang terjadi pada saya. Mereka merasakan

apa yang saya rasakan. Mereka terluka seperti saya terluka. Mereka tidak

berbeda.



Saya tidak segera mendatangi masyarakat Muslim dan mengungkapkan status HIV

saya. Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada suatu kelompok atau

seseorang mengenai masalah AIDS hanya untuk melihat reaksi mereka. Dan

banyak orang Muslim yang meyakini bahwa siapa pun yang terserang AIDS

berarti telah melakukan suatu perbuatan dosa, dan Allah menghukum mereka.



Saya melihat begitu banyak kecemasan dan ketakutan serta penolakan dalam

taraf yang tinggi. Saya menyarankan kepada seorang imam bahwa kami

memerlukan kelompok-kelompok pendukung dari kalangan masyarakat Muslim untuk

berkomunikasi dengan orang Muslim yang terjangkiti virus tersebut. Dan dia

berkata kepada saya, "Saudaraku, engkau tidak memerlukan kelompok pendukung.

Engkau telah memiliki kami."



Dan saya menjawab, "Ini tidak realistis. Misalnya saya bosan hidup sendiri.

Tindakan apa yang akan Anda ambil untuk meyakinkan bahwa saya akan

mendapatkan seorang suami? Saya tidak mau kumpul kebo. Saya tidak mau

berzina. Jadi langkah apa yang Anda ambil untuk meyakinkan bahwa saya masih

berada dalam batas-batas agama saya?"



Dia berkata, "Baiklah, kita akan melewati jembatan itu jika kita sampai di

sana."



Ini reaksi yang khas. Dia marah pada saya karena saya terlalu banyak

membicarakan masalah itu. Saya menjadi kurang ajar sekali.



Dialah imam pertama yang saya ajak bicara.



Saya mulai melontarkan beberapa pertanyaan: Mengapa masyarakat Muslim tidak

menangani masalah ini? Mengapa setiap orang begitu tegang dan cemas terhadap

persoalan ini? Apa yang tengah terjadi di sini?



Saya berjumpa seorang rekan sesama Muslim di Manhattan yang berkata kepada

saya, "Mereka harus menempatkan semua orang Muslim yang terserang virus AIDS

dalam perkampungan penderita kusta. Mereka harus mengunci para penderita

tersebut dan membuang kuncinya jauh-jauh."



Lalu saya berkata padanya, "Tetapi, saya tidak ingin tinggal di perkampungan

penderita kusta."



Dia memandang saya dan berkata, "Saya tidak membicarakan tentang Anda, saya

membicarakan orang-orang yang mengidap virus tersebut."



Saya berkata, "saya salah satu di antara orang yang 'mengidap virus itu'."

Dia kaget sekali.



***







Saya memohon kepada Allah untuk tidak membiarkan saya merasa takut, dan

itulah yang saya dapatkan. Anda akan mendapatkan apa yang Anda perjuangkan.

Allah berfirman bahwa seseorang hanya akan memperoleh apa yang dia

perjuangkan. Saya tidak mencari materi dan harta benda. Saya memohon

petunjuk Allah. Saya memohon kepada-Nya untuk melindungi saya. Saya memohon

kepada-Nya untuk menunjukkan pada saya bagaimana cara melewati air yang

keruh ini. Dari Dia menunjukkan caranya. Dan saya juga memperoleh

karunia-Nya yang lain sebagai tambahan.



Malik meninggal dunia tiga tahun yang lalu karena AIDS. Dia kembali

menggunakan obat-obatan, dan dia melakukan sesuatu yang tidak pernah saya

lihat selama dua puluh empat tahun mengenalnya: Dia menjadi seorang pemadat

ulung. Akhirnya dia berhasil. Ketika telah kehabisan uang, Malik menyapu

bersih dua deposito di bank, sebuah rekening koran; semua polis asuransi

kami pun lenyap. Semuanya hilang ketika Malik meninggal. Bahkan saya harus

meminta jasa kemasyarakatan untuk menguburkannya.



Pada hari dia meninggal saya berada di rumah. Saya bangun dan merasa aneh,

saya tahu Malik telah meninggal. Saya tahu. Mereka menelepon saya dari rumah

sakit. Saya tidak terkejut. Saya gembira Malik meninggal. Saya bahagia

penderitaannya telah berakhir, sebab dia telah mengalami neraka yang

sebenarnya, dan saya selalu berkata kepadanya, bangkitlah dari kedunguanmu,

berilah perlawanan! Jangan biarkan hal ini menguasaimu! Bukan begini cara

untuk mati. Engkau tidak perlu merasa sengsara. Kesengsaraan, bagiku

merupakan pilihan.



Saya tidak berhasil membuatnya sadar. Dia begitu sedih dan marah sehingga

dia dibutakan oleh keadaan. Saya sampai pada keputusan bahwa saya tidak

dapat membicarakan hal itu lebih jauh dengan Malik. Dia lama sekali tidak

mendengarkan apa yang saya katakan. Dia mencabik-cabik tubuhnya sendiri

dengan obat-obat tersebut. Saya yakin dia mati karena perasaan pedih dan

marah. Perasaan itu memangsanya hidup-hidup.



Dia terserang AIDS yang telah menyebar ke seluruh tubuhnya sekitar dua tahun

sebelum meninggal. Saya telah mengetahuinya --sebelum dia diperiksa. Kami

pergi melakukan shalat hari raya, di Prospect Park. Saya sedang berdiri

dalam jarak yang agak jauh dari Malik, berbincang-bincang dengan seorang

teman wanita. Lalu saya mendongak dan menatap Malik. Saya berkata pada diri

sendiri, Ya Tuhan, dia telah terjangkit AIDS yang parah yang menyebar ke

seluruh tubuhnya. Saat itu dia tidak tampak kurus. Saya tidak pernah

memberitahunya apa yang saya lihat. Ketakutan mencekam saya lebih dari

segalanya, sebab sebagai Muslim kami diajarkan untuk tidak takut terhadap

apa pun kecuali Allah. Saya meyakini hal ini.



Malik takut dikucilkan. Dia takut direndahkan. Dia takut orang lain tahu

bahwa dia kacau balau, bahwa dia telah membuat kesalahan.



Kadang-kadang seorang Muslim ingin orang lain mempercayai bahwa dia tidak

pernah melakukan kesalahan, atau dia tidak dapat berbuat kesalahan. Tetapi

kita manusia. Kita selalu berbuat kesalahan dari waktu ke waktu. Allah

menyatakan hal itu dalam Al-Quran. Begitulah cara Dia menciptakan kita.



Begitulah cara orang-orang Muslim menangani hal itu. Mereka lebih takut

terhadap apa yang dipikirkan orang lain daripada kenyataan bahwa mereka

mengidap virus itu. Saya tidak dapat mengerti hal itu. Sebab saya masih

tetap berpendapat kami orang Islam. Jika Anda mengucapkan, La ilaha illa

Allah, Anda telah mengikrarkan janji pada Allah. Anda harus percaya pada

Allah bahwa Dia akan memimpin Anda, membimbing Anda, bersama Anda di mana

pun Anda berada. Saya menjadi lebih memahami hal itu sejak saya mengidap

virus tersebut.



***







Pada awalnya saya merasa takut menerbitkan laporan berkala ini. Penerbitan

itu telah berumur dua tahun. Saya menginginkan nama para imam agar saya

dapat mengirimkan laporan berkala itu kepada mereka. Saya membeli buku

petunjuk Muslim yang memuat alamat segala macam bisnis dan organisasi. Dalam

waktu satu tahun jurnal itu telah mencapai oplah lebih dari 900 eksemplar.



Tujuan penerbitan jurnal itu sebenarnya adalah untuk memberikan informasi

yang sebagian besar orang tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Sebagian

besar orang tidak mau pergi ke organisasi AIDS untuk mencari keterangan

tentang hal tersebut. Terutama orang-orang Muslim.



Saya memberikan informasi secara gamblang. Saya memasukkan dalam tulisan

saya surat-surat dari Al-Quran sehingga orang dapat membaca sesuatu yang

benar-benar meresap ke dalam hati. Ayat-ayat itu menjadi

peringatan-peringatan kecil.



Saya mendapatkan beberapa tanggapan bernada marah lewat surat dan telepon:

Mengapa seorang Muslimah membeberkan segala macam tentang AIDS?



Membeberkan "masalah" apa? Saya memberi Anda informasi. Anda mungkin

berpikir Anda tidak membutuhkannya? Berapa banyak rekan wanita yang berada

dalam situasi seperti yang saya alami? Hidup didampingi pria yang kecanduan

narkotika? Banyak orang berganti-ganti suami dan istri seperti berganti kaus

kaki. Laki-laki boleh memiliki lebih dari satu istri.



Seorang rekan pria Muslim dari Sri Lanka yang tinggal di Manhattan menulis

kepada saya sepucuk surat yang manis, menerangkan bagaimana dia dulu

terbiasa melakukan tindakan-tindakan tercela ketika baru datang ke Amerika

Serikat, dan bagaimana sekarang dia kembali mengenakan thobe dan kufi-nya,

dan dia akan mencari seorang Muslimah yang baik untuk diperistri dan hidup

bahagia bersamanya selamanya. Dia memberitahu saya jika saya telah menemukan

diri saya kembali (bertobat) dan tidak lagi melakukan apa pun yang pernah

saya lakukan, maka Allah tidak akan menghukum saya dengan penyakit AIDS.



Saya menjadi marah. Betapa beraninya Anda berpendapat bahwa saya telah

berbuat salah, dan hal itu menunjukkan pada saya tingkat kebodohan Anda!



Lalu saya menulis kepadanya dan mengatakan, "Saya bahagia Anda kembali pada

thobe dan kufi Anda. Tapi Andalah yang telah mengacaukan semua rencana

dengan satu hentakan, bukan saya. Saya hidup bersama satu pria dalam separuh

umur saya. Saya mendapatkan lima anak dari satu laki-laki yang sama. Saya

tidak pernah menggunakan narkotika. Tidak pernah! Saya memanggang roti dan

membuat biskuit ketika Anda berkeliaran di luar melakukan segala perbuatan

keji Anda.



"Dan sekarang ketika Anda telah memakai thobe dan kufi Anda kembali, jika

seorang Muslimah melihat Anda, dia tidak akan menanyakan tentang masa lalu

Anda. Dia akan memandang Anda dan berkata, 'Alhamdulillah!' Katakan pada

saya apakah hal itu benar atau salah. Anda terlalu sombong sehingga Anda

bahkan tidak mau bertanya lebih dahulu. Bagi saya, Anda berbahaya! Saya

takut pada Anda. Sebab semua orang yang tidak terjangkiti virus itu akan

memandang pada Anda dan pada orang-orang seperti Anda dan akan dininabobokan

oleh rasa aman palsu yang Anda proyeksikan.



"Jangan khawatir. Saya tidak mengenal Anda. Dan Anda juga tidak akan

membiarkan saya mengetahui siapa Anda. Anda tahu bahwa apa yang saya katakan

adalah benar."



Saya tahu cara menghadapi orang-orang dengan pola pikir seperti itu.



Saya mengenal sedikitnya 150 orang Muslim yang mengidap AIDS, laki-laki dan

perempuan. Yang paling banyak laki-laki. Tak mudah mengajak mereka untuk

bergabung. Tapi saya coba mempengaruhi mereka.



Saya berkorespondensi dengan rekan-rekan pria di mana-mana. Mereka

ketakutan. Mereka bahkan tidak ingin bertemu satu lama lain, sebab mereka

tidak ingin yang lain tahu bahwa mereka mengidap virus itu --walaupun orang

lain itu juga terkena virus tersebut.



Saya mempunyai daftar --yang saya sebut daftar sahabat pena yang terdiri

dari orang-orang Muslim yang HIV-positif. Saya mengedarkan daftar itu kepada

orang Muslim yang terjangkiti virus tersebut, supaya mereka tidak merasa

bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lagi. Setiap orang yang tertera dalam

daftar itu telah setuju untuk ikut dimasukkan ke dalam daftar tersebut. Jika

Anda tidak mau mencantumkan nama Anda dalam daftar, maka Anda pun tidak akan

mendapatkan copy daftar tersebut. Saya hanya menuliskan nama, jabatan, dan

nomor seri. Untuk membuat mereka terus berkomunikasi.



Saya diperkenalkan dengan seorang imam yang istrinya juga mengidap AIDS.

Orang yang mengenalkan saya dengannya juga mengidap AIDS, tetapi imam

tersebut tidak mengetahuinya. Saya ingin imam itu memberitahu istrinya bahwa

banyak orang yang seperti dia, yang berbicara dengan bahasa yang sama dengan

bahasanya. Yang semuanya juga orang Islam. Saya tidak tertarik bagaimana

atau mengapa dia sampai mendapatkan penyakit itu. Saya hanya prihatin pada

kenyataan bahwa keadaan itu adalah cara yang mengerikan untuk mati. Bukan

karena AIDS tetapi karena rasa kesepian, amarah, dan kepahitan.



Allah berfirman, jangan berputus asa, jangan berkecil hati. Itu artinya Anda

tidak boleh mendahului menyimpulkan sesuatu yang Anda tidak mempunyai

kekuatan untuk mengendalikannya. Anda tidak dapat berbuat apa pun

mengenainya. Jadi jangan sesali keadaan itu dan carilah hikmahnya.



Imam itu heran bagaimana saya tahu. Dia berkata, "saya ingin tahu siapa yang

telah memberitahu Anda."



Saya berkata, "Saya tidak ingin membicarakan hal itu."



Dia tidak peduli, "Anda tidak akan dapat membicarakan masalah ini dengan

saya sebelum Anda memberitahukan siapa yang menceritakan pada Anda."



Kemudian saya berkata, "Mengapa Anda mempersoalkan masalah ini? Istri Anda

terkena AIDS! Saya juga terkena virus itu. Biarkan saya menjadi temannya,

sebab jika Anda tidak terjangkiti virus ini, imam, tidak mungkin Anda dapat

memahami apa yang dia alami. Saya tidak peduli apa yang telah Anda baca dari

buku."



Saya tidak pernah berhasil membujuknya.



Ketika saya sadari bahwa yang jadi persoalan baginya adalah siapa orang yang

memberitahu saya, saya sadar bahwa penyakit AIDS tidak menjadi persoalan.

Maka saya mohon diri dan pamit.



Tetapi saya ingin mereka mengerti. Betul, saya mengidap virus itu, tetapi

Anda tidak dapat mengusir saya keluar dari masyarakat ini. Lalu saya

jalan-jalan berkeliling dan meyakinkan diri bahwa mereka melihat saya. Yah,

saya masih di sini. Allah belum memanggil saya kembali kepada-Nya.



Saya pergi ke masjid Al-Farooq di Atlantic Avenue [di Brooklyn]. Beberapa

sukarelawan dari organisasi-organisasi AIDS di seluruh Brooklyn, Manhattan,

dan Queens diundang. Kami menggantungkan poster-poster di mana-mana.



Kami mengadakan pertemuan di sana. Tak ada seorang Muslim pun yang hadir.

Ada sekitar dua puluh lima orang non-Muslim yang datang, saya pikir ini luar

biasa. Mereka harus duduk di lantai. Itu hal yang sulit bagi mereka.



Sang imam akhirnya masuk. Dan seorang rekan wanita yang merencanakan program

itu berkata, "Imam, apakah Anda mau mengucapkan sepatah kata?"



Dia berkata, "Ya. Orang Islam mempunyai obat ampuh untuk AIDS: jangan

bergonta-ganti pasangan, maka AIDS pun tidak akan datang!"



Kami tidak percaya dia akan berkata begitu.



Saya berkata kepadanya, "Imam, bolehkah saya menyampaikan sepatah kata?"



Dia menjawab, "Ya."



"Sayalah yang mengirimkan pada Anda laporan berkala itu. Lupakan masalah

gonta-ganti pasangan. Saya tidak mempunyai pacar. Saya tidak pernah

melakukannya. Saya mempunyai seorang suami. Tapi saya terjangkiti virus itu.

Mengapa saya diperlakukan seolah-olah saya harus bungkam mengenai semua

masalah ini?"



Dia begitu terperanjat bahwa ada seseorang yang terjangkiti virus duduk di

dekatnya. Dia hanya bisa memandang saya. Dia tidak pernah menjawab

pertanyaan itu. Dia berdiri dan berkata, "Assalaamu alaikum wa rahmatullah

wa barakatuh." Dan dia pergi. Dia meninggalkan kami duduk terperangah di

sana. Saya memandang orang-orang non-Muslim yang duduk di sana. Saya berkata

pada diri sendiri: Tak mungkin saya dapat menyeru mereka untuk memeluk agama

Islam. Tak mungkin mereka mau mendengar apa yang akan saya sampaikan.



Sekarang, mungkin saya telah salah menafsirkan semuanya. Tetapi jika mereka

memerlukan bantuan, maka Anda harus memberikannya. Itulah ajaran Islam yang

saya tahu. Itulah yang diajarkan Allah kepada kami. Dia mengajarkan pada

kami bagaimana menjadi manusia yang bijak.



***







Saya tidak mencari keuntungan apa pun dari laporan berkala itu. Siapa yang

mau terkenal sebagai penderita AIDS? Tetapi saya harus melakukan itu dengan

tujuan mengajak orang-orang Muslim yang lain untuk muncul. Saya sedih kalau

mengingat mereka.



Pilihan apa lagi yang saya miliki? Saya telah menyaksikan apa yang terjadi

pada Malik ketika dia tidak dapat menghadapinya. Saya sering menyaksikan hal

itu terjadi pada orang lain. Saya melihat mereka mati karena berbagai sebab

yang saya pikir tidak ada hubungannya dengan AIDS.



Saya tahu banyak orang Muslim lain yang terkena AIDS di luar sana. Saya tahu

apabila saya tidak datang untuk memberikan pertolongan, mereka tidak akan

mendapatkannya. Mereka berhubungan dengan saya dan mereka meneruskan

korespondensi mereka. Orang memiliki sejuta cara untuk menangis, menjerit.

Saya telah melanggar beberapa ketentuan stunnah. Misalnya, masalah hubungan

antara pria dan wanita. Saya pergi mendatangi tempat tinggal rekan pria

Muslim dan berkata, "Nah, istri pengganti Anda telah datang." Dan saya pergi

belanja untuk mereka, dan saya bersahabat dengan mereka. Saya belanja dan

masak untuk mereka.



Semua itu merupakan suatu petualangan. Saya telah berjumpa dengan

orang-orang yang paling baik dan menyenangkan di planet ini. Dulu saya

selalu berpikir bahwa semua orang adalah iblis yang menyamar menjadi manusia

dan saya adalah sebuah pasak persegi yang tidak sesuai dengan lubang bulat,

yang juga tidak berusaha untuk cocok dengan lubang bulat itu.



Saya duduk dengan sekelompok orang. Saya tidak menilai mereka: Oh, dia orang

baik... orang ini lesbian, dan sebagainya. AIDS telah memisahkan manusia

menjadi dua kelompok: Orang-orang yang tidak terkena AIDS dan orang-orang

yang terkena AIDS.



Saya berpegang pada kehendak Allah, dan tidak akan melepaskannya. Saya tidak

tahu kemana Dia akan membawa saya, tetapi saya tahu itu benar, kemana pun

saya pergi. Dan Anda dapat merasakannya di sini [menepuk dadanya dengan

kepalan tangan]. Anda tahu itu benar.



Saya tidak pernah berangan-angan menjadi penasihat AIDS, tetapi jika itu

yang harus saya lakukan, saya akan melakukannya.



Segala sesuatu telah direncanakan dan dirancang untuk mengajar Anda. Itulah

yang membentuk karakter Anda. Itulah yang mendefinisikan Anda. Keadaan

selalu membuat Anda harus melakukan definisi ulang. Itulah yang membentuk

Anda. Itulah gunanya kesengsaraan --untuk menguatkan karakter kita. Tanpa

itu Anda tidak akan menjadi pribadi yang tegar.



***







Sebelum saya memulai jurnal itu, saya berhadapan dengan satu persoalan:

bagaimana cara berjumpa dengan orang lain? Saya benar-benar tidak menyukai

pilihan yang dihadapkan pada saya apalagi bertemu dengan orang lain yang

juga terkena virus itu.



Saya membaca The Village Voice dan menilik rubrik pencari jodoh. Saya belum

pernah melihat kolom itu selama hidup saya. Saya menandai beberapa iklan

khusus untuk kaum pria. Mereka semuanya gay, mereka terkena virus itu, dan

mereka mencari orang lain yang juga mengidap virus yang sama. Saya berkata,

oh, ini ide yang bagus! Lalu saya mengirimkan sebuah iklan. Saya menulis

sebagai berikut:



WANITA MUSLIM, HIV-POSITIF, UMUR 40-AN, SETEGAR KARANG, JUJUR. TIDAK UNTUK

MAIN-MAIN, MENCARI SEORANG PRIA MUSLIM YANG SAMA. DI MANAKAH ANDA? MARI KITA

PERGI.



Saya mendapatkan banyak jawaban. Saya juga mendapat balasan dari orang

non-Muslim. Saya mengenal mereka semua sampai sekarang. Dan saya sangat

akrab dengan mereka, tetapi saya tidak ingin menghabiskan sisa hidup saya

bersama salah satu dari mereka.



Saya mendapat teguran dari seorang rekan Muslim pria yang mengetahui bahwa

saya begitu peduli tentang AIDS, tetapi tidak tahu saya terkena virus itu.

Dia sangat marah. Iklan itu ditunjukkan kepadanya oleh salah seorang Muslim

lain yang membacanya. Mereka berkumpul di Al-Farooq untuk suatu rapat kecil

membahas iklan itu. Mereka tidak tahu yang menulis iklan tersebut adalah

saya.



Dia berkata, "Lihat? Seorang rekan wanita Mushmah mengirimkan iklan dalam

koran Sodom dan Gomorah. Dia terjangkit AIDS dan dia mengiklankan mencari

seorang suami!"



Saya berkata, "Hei, mengapa kalian membaca kolom pribadi jika kalian pikir

itu sebuah kolom yang menjijikkan?"



"Tidak, tidak, tidak. Pesolek ini membawanya kepada kami dan berkata, 'Saya

tidak tahu ada orang Muslim yang juga terjangkiti virus ini'."



Lalu saya jawab, "Nah, adakah di antara kalian yang HIV-positif?" itu.



"Tidak, tidak, tak seorang pun di antara kami terjangkiti virus"



Saya berkata, "Kalau ada, suruh dia menghubungi nomor kontak di koran itu."



Dia heran, "Apa maksudmu?"



"Itu iklan saya."



Sejak saat itu saya tidak pernah mendengar apa pun dari dia. Tidak pernah.

Saya membuat diri saya menjadi seorang musuh.



Cara kaum Muslim memberi salam, antar sesama pria atau wanita, adalah dengan

berpelukan. Sebelum saya terkena AIDS, itu merupakan kebiasaan yang saya

lakukan secara otomatis. Setelah saya terjangkiti virus itu, saya

menghentikan kebiasaan tersebut.



Saya menghentikannya karena dua alasan. Pertama: Saya tidak tahu sebenarnya

setakut apakah orang-orang itu. Mengapa saya membuat diri saya merasa begitu

pedih menyaksikan orang-orang itu menarik diri? Saya pernah mengalami

peristiwa itu. Tapi saya tetap melakukannya dengan orang-orang yang paham

bahwa mereka tidak akan tertulari lewat cara itu. Untuk orang yang tidak

mengerti, saya tidak ingin menakuti mereka, dan saya tidak ingin melukai

perasaan mereka.



Saya menyaksikan peristiwa itu terjadi pada seorang rekan pria Muslim. Dia

meninggal dunia dua tahun yang lalu. Dia tertular AIDS melalui transfusi

darah. Dia seorang penderita hemophily, masih muda. Dia tidak pernah keluar

untuk melihat dunia.



Saya ingat suatu saat saya sedang berada di rumahnya ketika bibinya bersama

dua anaknya datang menjenguknya. Dia duduk di tepi tempat tidur, dan dia

berkata pada kedua gadis kecil itu, "Kemarilah beri saya sebuah pelukan."

Mereka gemetar ketakutan, dan saat itu saya menyadari apa yang sedang

terjadi.



Saya pikir dia akan membiarkannya, tetapi ternyata tidak. Dan dia berkata

lagi, "Kemarilah, kemari dan peluklah saya."



Anak yang lebih besar, berusia sekitar delapan tahun, berkata, "Mama bilang

saya tidak boleh memelukmu karena engkau terserang AIDS."



Saya benar-benar terguncang. Bukan untuk diri saya sendiri --saya telah

mengerti hal-hal semacam itu-- tetapi untuk efek yang akan timbul pada diri

orang itu. Ada beberapa orang di ruangan itu. Saya meminta mereka untuk

meninggalkan kami.



Dia menangis, hatinya hancur berkeping-keping. Saya berkata, "Sekarang

dengarkan. Engkau tahu mereka menyayangimu, tidak semua orang dapat menerima

hal ini. Beberapa orang masih merasa takut dan engkau harus memahaminya.

Mereka prihatin, ya, tetapi mereka masih takut menyentuhmu. Begitulah

kenyataannya. Sekarang, engkau harus membasuh wajahmu, dan jangan

menempatkan dirimu dalam posisi seperti itu lagi. Jangan pernah begitu."



Dia berusia dua puluh dua tahun ketika meninggal. Dia berada di rumah sakit.

Saya datang menjenguknya. Saya membawa minyak. Saya berkata, "Nah, istri

penggantimu telah tiba." Saya sudah pernah melihat pantatnya dan semuanya.

Saya membantunya ke kamar mandi jika dia memerlukannya. Dan saya memijitnya

dan bercanda dengannya. Lalu dua orang laki-laki Muslim masuk, mereka

memandang saya dan berkata: "Astaghfirullah, saudaraku! Dia bukan suamimu,

engkau tidak boleh menyentuhnya!"



Itu sebuah kebodohan. Mereka menanggapinya dengan begitu buruk, sehingga

saya mengambil sebotol minyak dan berkata, "Baiklah, kalau begitu, Andalah

yang harus menggosoknya."



Tak seorang pun yang berani menyentuhnya.



Saya bilang pada mereka, "Bisa saya bicara sebentar dengan kalian di ruang

duduk?"



Saya katakan pada mereka, "Betapa beraninya Anda bicara tanpa memikirkannya.

Allah mengetahui niat saya. Jika yang saya lakukan itu hanya membatalkan

wudhu saya, maka saya akan berwudhu lagi. Jika Anda tidak bisa membantu,

jika Anda tidak mau memasukkan kaki Anda ke air yang keruh, maka jangan

halangi saya."



Penderitaan karena alkohol, tuna wisma, penyiksaan istri, penyiksaan

anak-anak, homoseksual --semuanya sama saja. Semua itu persoalan yang harus

diselesaikan. Jika Anda menyembunyikannya setiap kali Anda menjumpainya, itu

berarti Anda tidak menyelesaikan apa pun.



Ketika Malik terlibat penggunaan narkotika dan saya mengharapkan dukungan

dari masyarakat Muslim, saya mendatangi mereka dan berkata, "Tolong saya,

Tunjukkan pada saya ada yang harus saya lakukan. Katakan pada saya bagaimana

saya harus menghadapinya. Saya tidak ingin dia menjadi begini. Saya tidak

akan minta cerai. Anda seorang laki-laki, dia pun seorang laki-laki,

bicaralah sebagai seorang laki-laki padanya. Bicaralah padanya dengan bahasa

yang engkau lebih tahu dari saya." Mungkin dia akan mendengar sesuatu yang

engkau katakan, yang saya tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Malik

tidak mau datang kepada seorang penasihat dengan saya, jadi saya berusaha

mengajak penasihat itu ke rumah. Saya mengharapkan pertolongan, saya

mengharapkan pertolongan yang Islami.



Saya diberitahu sesuatu yang menarik, seperti, "Siapa? Abdul Malik terlibat

obat-obatan? Dia selalu bekerja setiap hari." Dengan kata lain, "Saya tidak

melihatnya melakukan apapun."



AIDS merajalela di sana. Saya ingin kaum Muslim yang tidak terjangkiti virus

itu mengusahakan supaya pelayanan AIDS dapat diperoleh, dan saya ingin

melihat mereka melakukannya secara Islami, bukan berdasar pada ada yang

mereka rasakan.



Rekan-rekan pria yang selalu berkomunikasi dengan saya, tidak pernah

menghubungi saya lagi. Saya telah menghubungi mereka, berkomunikasi dengan

mereka mungkin selama setahun, dan mereka tidak mau memberitahu saya siapa

mereka. Mereka tahu bahwa saya terjangkiti virus itu juga.



Ada seorang rekan yang telah berkorespondensi dengan saya selama tiga tahun.

Dia tinggal di California. Dia menikah dengan seseorang yang tidak terkena

virus tersebut. Dia mendapatkan dirinya terkena virus itu, dan untungnya

istrinya tidak tertular. Istrinya mengetahui hal itu, mereka telah menikah

selama enam belas tahun. Dia tidak melakukan hubungan seks dengan suaminya.

Hati saya trenyuh pada pria ini. Tak ada pelukan, tak ada ciuman, tak ada

hubungan intim di antara mereka. Mereka hanya berhubungan tentang anak-anak.

Dia memasakkan makan malam. Hanya itu. Menyedihkan sekali ketika akhirnya

dia berkata betapa mudahnya dia melakukan perzinaan.



Sementara itu, dia mulai mengalami gangguan syaraf, karena tidak mempunyai

seorang pun tempat mengadu. Dan itulah yang menyebabkan kematiannya. Dia

tidak mati karena virus itu. Saya memahami ketakutan istrinya. Lepaskan dia.

Atau biarkan dia menikahi wanita lain --seseorang yang akan mengurus

kebutuhannya. Itu tidak bisa diabaikan. Kebutuhan itu tidak hilang begitu

saja hanya karena Anda terjangkiti virus itu. Kini, komunikasi dan uluran

tangan justru merupakan sesuatu yang sangat membantu. Keadaan tidak lagi

sama.



Saya ingat suatu ketika saya sedang duduk di kereta api dan ada seorang

wanita tua duduk di samping saya. Dia tertidur, dan bersandar pada saya.

Saya pikir betapa indahnya hal itu. Saya mendapat kehangatan darinya. Saya

begitu menikmati kehadirannya dengan perasaan yang tidak pernah saya sadari

sebelumnya.



Ini membuat saya mengerti apa yang dibicarakan pria itu.



Tetapi juga memahami apa yang dibicarakan istrinya.



Saya menikah lagi untuk waktu yang sangat singkat, empat bulan, dengan

seorang pria yang telah saya kenal selama lima belas tahun. Dia tahu saya

mengidap virus itu; selama empat tahun dia meminta saya untuk menikah

dengannya, dan saya menolak karena dia tidak terkena virus itu.



Akhirnya saya mengatakan ya, tetapi saya merasa tidak nyaman selama

perkawinan itu. Tentu saja kami menggunakan alat pelindung. Tetapi saya

selalu khawatir kalau-kalau alat itu robek. Pikiran saya selalu penuh

kecurigaan. Saya ingin mencium. Tapi saya tidak akan menciumnya. Karena saya

selalu merasa khawatir. Saya tidak pernah mendapatkan perasaan apa-apa dari

hubungan intim kami karena saya tidak bisa santai. Saya tidak ingin

bertanggung jawab karena menyakiti seseorang dengan cara seperti itu. Maka

saya memutuskan orang yang terkena virus harus bersama dengan orang yang

juga terjangkiti virus itu. Saya tidak dapat menghadapi hal itu lagi.

Seseorang yang mengidap virus itu lebih membutuhkan saya daripada yang

tidak.



Perjuangan yang sebenarnya bukan mengenai virus AIDS. Tetapi mengenali fakta

bahwa Allahlah yang berkuasa. Persoalannya begitu sederhana. Manusialah yang

mempersulit semuanya. Manusia ingin mendapatkan apa yang diinginkannya

ketika dia menghendakinya. Kenyataan tidaklah seperti itu.



Saya tahu kepada siapa saya harus pergi. Saya mengucapkan syahadat. Saya

memasuki perjanjian dengan Allah. Saya merasa seperti menemukan sebelanga

emas di ujung pelangi. Rasanya saya dapat merasakan segala sesuatu. AIDS

membuat saya mengerti siapa Allah.



Bagaimana saya memandang AIDS saat ini? Saya memandangnya seolah-olah Allah

memberi kita kesempatan hebat untuk menggalang aksi spiritual kami

bersama-sama. Tetapi saya tidak dapat berdiri dengan tombak dan perisai saya

dan muncul dari pusat Amazon sambil berkata, "Sekarang lihatlah! Kalian

semua harus bangkit dan melakukan hal ini!" Saya harus mengatakannya dengan

kalimat yang lebih halus, "Lindungi kami. Dukunglah kami ketika kami

melintasi dinding-dinding bata ini. Banyak pekerjaan yang harus kami

lakukan, walaupun tugas itu tidak menyenangkan. Kami harus melindungi

kepentingan kami di sini."



Anak-anak saya sangat cantik. Semua anak saya mengetahui saya mengidap virus

itu, kecuali yang paling kecil. Umurnya delapan tahun. Sekarang saya masih

membiarkannya bermain dengan boneka Barbienya. Mengapa saya harus membuatnya

takut?



Anak saya yang paling besar tampaknya begitu penasaran dengan dunia luar.

Dia sedikit nakal. Saya melihat dia mulai aktif secara seksual, lalu saya

berkata kepadanya, "Saya mendapat AIDS dan saya telah menikah. Kamu harus

sangat hati-hati, kamu juga tidak terlepas dari kemungkinan itu, mengerti?"



Saya memeriksakan mereka. Mereka mengira kami pergi untuk kunjungan rutin

kepada dokter anak-anak. Segalanya berjalan dengan baik. Tak satu pun dari

anak-anak itu HIV-positif. Saya sangat bersyukur bahwa anak-anak saya tidak

terjangkiti virus itu, saya tidak berhenti memekikkan Allahu Akbar!



Catatan kaki:



2 Edisi Juni-Juli 1993 dipersembahkan untuk Abdul Malik Abdur-Rahim, Aishaa

Salaam, Taiba Lythcott, Yusef Muhammad M. Rahman, Shareef Muhammad, Sheikh

Jamal, Karima Abdul Wahhab, Sabir Tawwab, Abdul Gardinier, Shahida Uqdah,

Katrina Haslip, dan Dawud Rivera.



3 jubah tangan panjang.



------------------------------------------------------------------------

Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa

Judul Asli: American Jihad, Islam After Malcolm X

Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993

Penterjemah: Sudirman Teba dan Fettiyah Basri

Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124

Cetakan 1, Jumada Al-Tsaniyah 1416/Oktober 1995

Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved