[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Cara Ayah dan Ibu untuk Jatuh Cinta Kembali
Muslimah & Media - Tuesday, 02 November 2004

Kafemuslimah.com Pernah suatu hari saya katakan pada teman saya yang baru saja masuk ke sekolah kebidanan. “Jika satu hari nanti kamu akhirnya punya kesempatan membantu persalinan untuk pertama kalinya, tulislah pengalaman pertamamu itu dalam sebuah tulisan.” Waktu itu, teman saya berkata, tenang saja, pengalaman membantu kelahiran itu akan menjadi pekerjaan dia sehari-hari. Saya bersikeras untuk memintanya mengabadikan pengalaman pertamanya hingga teman saya itu pun jatuh heran. Mengapa?

“Karena pengalaman pertama itu punya keunikan tersendiri yang amat berarti bagi yang mengalaminya. Boleh jadi dia masih bodoh dan lugu, tapi itu adalah batu sandungan pertama yang harus dia lalui. Pengalaman pertama akan mengajarkan pada pelakunya bagaimana menghadapi kejadian serupa di waktu yang akan datang dengan cara yang lebih baik lagi. Mungkin jika kejadian itu pada akhirnya akan menjadi sebuah kerutinan yang harus dihadapi, maka perasaan haru biru, gegap gempita dan campuran nuansa eksotis yang pernah muncul di hari pertama, akan berubah menjadi sebuah warna yang sewarna, perasaan yang hambar dan luapan emosi yang datar dan semua perasaan biasa yang dimiliki oleh sebuah kerutinan. Sebelum segalanya berubah menjadi sebuah kebiasaan dan kerutinan yang membosankan, yang membuat pelakunya tidak lagi merasakan nikmat melakukannya, abadikan pengalaman pertama tersebut dalam sebuah memory yang bisa dibuka dan dikenang kembali. Suatu hari nanti, yaitu jika segalanya sudah teramat sangat biasa dan mulai membosankan, album kenangan ini akan menimbulkan kerinduan dan kembali mempererat tali kasih yang dulu pernah mekar bersemi.”

Ya.
Itulah pengalaman pertamanya. Boleh jadi dia merupakan sebuah kejadian yang memperlihatkan secara utuh kebodohan dan keluguan si pelaku. Tapi nuansa emosi yang diberikannya akan melahirkan sebuah sensasi tersendiri. Nuansa emosi yang akan memacu semangat untuk bereksplorasi lebih jauh. Nuansa emosi yang akan menghadirkan kerinduan untuk segera bertemu dengan pengalaman hari kedua dan seterusnya karena keinginan untuk selalu memperbaiki apa yang dirasakan tidak maksimal di hari sebelumnya. Segenap asa yang muncul karena harapan dan cita-cita untuk meraih hasil terbaik di hari esok. Ini yang tidak dimiliki oleh jiwa dari pekerjaan yang dipandang sebagai sesuatu yang telah jadi sebuah kerutinan. Jadi jangan heran jika saya setuju dengan sebuah kalimat bijak yang berbunyi, ”Jatuh cinta itu mungkin sesuatu yang mudah. Tapi mempertahankan perasaan jatuh cinta kembali, lagi dan lagi itu, pada sosok yang sama, memerlukan sebuah seni keahlian yang jauh lebih sulit dan kehebatan yang luar biasa.”

Hmm.
Mungkin ada baiknya kita semua sering membuka album kenangan, apa yang membuat segalanya dahulu terlihat begitu berarti hingga kita bisa jatuh cinta kembali. Dengan begitu, segenap perasaan jenuh, bosan, hambar dan kerutinan yang semu, insya Allah bisa terkikis dengan mudah.

Inilah tampaknya yang coba untuk diangkat oleh sebuah acara reality show di TV 3 Malaysia pada setiap hari kamis, pk. 19.30 waktu Kuala Lumpur. Judulnya, ”Oh Ayah, Oh Ibu”. Formatnya memang merupakan sebuah acara reality show. Yaitu ada pengambilan gambar secara langsung di tempat kejadian si individu yang dimaksud. Pelakunya adalah sepasang suami istri yang sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Ada sebuah kamera yang akan merekam kegiatan mereka yang dimulai ketika sedang menanti menit-menit terakhir kelahiran bayi mereka.

Ada dua tayangan. Tayangan pertama memperlihatkan suami atau istri yang bercerita di depan kamera secara langsung, jauh setelah bayi mereka lahir. Tayangan lain, diperlihatkan dalam bentuk format rekaman video langsung menit-menit terakhir penantian kelahiran bayi mereka tersebut. Dengan begitu, akan terlihat jelas perbedaan fisik pelakunya. Si Istri yang berbicara langsung saat mengenang kejadian pengalamanan melahirkannya, biasanya terlihat telah kembali ke fisik yang normal. Langsing dan segar. Sedangkan di rekaman langsung terlihat sembab dan gemuk karena kandungan yang telah berusia tua. Begitu juga dengan suami. Jika di tayangan depan kamera suami tampak santai dan sering mentertawakan apa yang terjadi di masa lampau ketika menemani istrinya melahirkan, maka di rekaman langsung suami lebih sering tampil tegang, tirus karena kurang tidur dan amat gelisah. Simak sedikit alasan berikut, yaitu alasan mengapa ada istri yang bersikeras mengajak suaminya untuk ikut menemaninya bersalin.

“Saye tahu, suami saye tidak akan pernah bisa merasakan bagaimana sakit rasanye melahirkan. Tapi setidaknya dia bisa melihat proses kelahiran anaknya, dan bisa melihat bagaimana perjuangan istri dan ibunya atau adik perempuannya, ketika sedang menghantarkan seorang anak manusie ke muka bumi ini. Saye harap, hal ini bisa melahirkan kepedulian dia untuk lebih menghargai perempuan, baik itu istrinya, ibunya, atau siapa saja.”

“Orang bilang, melahirkan itu amatlah perih dan sakit. Pada akhirnya, semua rasa sakit dan perih itu cuma dirasakan oleh istri saja yang akan menjadi ibu. Tak ada rumusnya bagaimana caranya agar semua rasa perih dan sakit itu bisa dibagi dengan suami atau siapa saja. Rasa sakit dan perih itu juga tidak dapat diredakan dengan ubat-ubatan karena bisa mempengaruhi fisik baby. Tapi bagi saya, dengan adanya suami di sisi saya, saya bisa sedikit mengurangi rasa sakit dan perih tersebut karena suami akan mencurahkan rasa sayangnya lewat sentuhan hangat tangan dan perhatian mereka ketika mendampingi. Itulah ubat yang paling mujarab dan tidak dijual di kedai ubat.”


Lalu bagaimana tanggapan suami sendiri selama melalui menit-menit mendebarkan tersebut?

”Istri saya meminta saya melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan akan pernah saya lakukan. Seperti membeli makanan, baju bayi, pompa ASI, bahkan hingga pembalut wanita bersalin. Jika dalam keseharian, bisa jadi saya akan menolaknya dengan serta merta. Mana punya saya pengalaman untuk melakukannya. Saya tidak tahu dimana bisa mendapatkan barang-barang ajaib tersebut, jikapun bertemu, tentu ada perasaan malu untuk mengambilnya. Tapi saat itu, perasaan sayang saya pada istri saya, apalagi melihat perjuangan dia menghadapi kepayahan mengandung dan ingin melahirkan anak saya, mengalahkan semua perasaan gengsi dan sungkan. Jadi, dengan rasa ikhlas saya melakukan hal-hal yang mustahil saya lakukan di waktu yang berbeda. Perasaan sayang saya pada istri jadi bertambah karenanya, terutama setelah melihat perjuangan dia melahirkan anak saya dengan susah payah.”

“Kami bersama melalui saat-saat yang mendebarkan itu. Saling berpegang tangan dan saling berbagi kegelisahan dan saling menenangkan satu sama lain. Terkadang, saya lebih merasakan sakit yang diderita oleh istri saya hingga istri saya berusaha menenangkan saya. Tapi lebih banyak saya yang ingin agar semua kesakitan itu saya saja yang merasakannya karena saya sayang pada istri dan tidak tega melihatnya menderita sekian lama. Semua itu tanpa sadar membuat kami jadi satu pasangan yang bisa jadi kalau jalan sendiri-sendiri akan lemah dan tidak berdaya, tapi karena kami melaluinya bersama-sama, maka kami menjadi lebih kuat untuk menghadapi segala macam kemungkinan.”


Lalu apa yang terjadi setelah kejadian itu berlalu? Setelah bayi yang dinanti tumbuh besar, ayah dan ibu mengenang masa menanti kelahiran tersebut sebagai sebuah pengalaman yang mengasyikkan, berkesan dan juga lucu. Mereka mentertawakan kebodohan yang pernah mereka lakukan dahulu terkadang dengan perasan malu mengapa kebodohan tersebut bisa mereka lakukan; dan akhirnya… pasangan ayah dan ibu tersebut menyadari bahwa berdua mereka pernah melalui sebuah pengalaman yang amat berharga. Kini? Kenangan itu membuat mereka sadar, bahwa berdua mereka merupakan sebuah kepaduan yang kuat dan tangguh menghadapi dunia.

Ada pelajaran (hikmah) yang saya tangkap dari tayangan yang saya tonton tersebut.

Pertama, penting untuk kita melihat beberapa kejadian di masa lampau. Bisa jadi itu kejadian yang memalukan dan tidak enak untuk dikenang. Tapi jangan lihat bagian jeleknya lama-lama hingga timbul rasa sedih yang berlebihan. Renungkan bagian yang jeleknya ini, yaitu bahwa inilah batu sandungan yang menghantarkan kita untuk mampu melihat bagian baik (positip) yang bisa dilakukan untuk meraih hasil yang lebih baik. Inilah pelajaran dari pengalaman hidup yang diberikan Allah bagi siapa saja yang mau berpikir. Semua keberhasilan tentu harus dilalui setelah melewati beberapa kegagalan yang dilalui dengan sikap dan semangat untuk bangkit kembali.

Kedua, penting untuk mengenang semangat dan cita-cita yang ingin diraih di masa yang lalu. Terkadang, sebuah kerutinan yang terus menerus terjadi dalam perjalanan hidup kita, membuat kita lupa dengan cita-cita mulia di masa lalu. Bisa jadi ini terjadi karena kita kehilangan sudut pandang bahwa masih ada sisi lain yang belum kita temui dalam sebuah kerutinan yang melanda. Atau kita terlanjur merasa puas dengan semua kemapanan yang telah tersedia dari pekerjaan dan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan bisa jadi juga, kita terlanjur memberi stigma bahwa nasib yang kita temui bahwa dia tidak akan pernah bisa berubah lagi. Lupa bahwa ada sebuah janji yang lebih baik dari Allah untuk diraih bagi siapa saja yang tetap berusaha untuk selalu meraih sisi yang lebih baik lagi dengan sebuah usaha dan kerja keras. Bukankah berlomba-lomba dalam kebajikan dan takwa itu berlangsung seumur hidup dan tidak mengenal batas berhenti? Semua itu insya Allah bisa diraih jika ada sebuah album memory yang bisa dibuka setiap saat. Album memory tentang kejadian sehari-hari, tentang kejadian selama satu minggu, satu bulan, satu tahun dan tahun-tahun sebelumnya. Mengenang kembali perjuangan yang telah dilakukan, memikirkan kesalahan yang terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya dan mengenang kembali cita-cita dan harapan yang ingin diraih. Selalu ingin dicapai, terutama untuk meraih janji Allah yang bersifat pasti.

Itulah kenangan cinta. Dari sini, bunga rindu mulai menampakkan kuncupnya. Dan ketika kuncup itu semakin berkembang, tersenyumlah untuk menyambut perasaan kembali jatuh cinta. Biarkan kuncup-kuncup cinta itu kembali bersemi dan menyemarakkan hati. Seperti fajar pagi yang selalu berseri ketika memulai hari. Subhanallah; Manisnya.

---- Kuala Lumpur, 28 Oktober 2004 ([email protected])
penulis: Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved