[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Tak Senikmat yang Ku Rasa
Jurnal Muslimah - Monday, 15 November 2004

Kafemuslimah.com Seorang wanita melambaikan tangannya ketika aku keluar dari pintu stasiun Kawanishi noseguchi. Seseorang yang sangat aku kenal, ibu Fujita. Beliau dan suaminya adalah orang tua angkat kami sejak di tinggal di Kobe 2 tahun yang lalu. Mereka berumur sekitar 60-an tahun, tetapi selalu terlihat bersemangat dalam mengejar laju kehidupan Jepang yang kencang, sekencang shinkansen, kereta cepat kebanggan negeri sakura.

“Selamat siang, apa kabar, kalian sehat-sehat saja?” suara ramah meluncur dari bibirnya.

“Sehat, terima kasih. Bapak dan ibu sehat juga?” tanyaku berbalas santun.

“Sehat, terima kasih” jawabnya sambil menggandeng tangan anak perempuanku yang berumur 4 tahun.

Ibu Fujita memang sengaja menjemput kami di stasiun terdekat dari tempat tinggalnya. Hari itu aku diminta untuk memperkenalkan Indonesia kepada siswa kelas 5 SD di kampungnya. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaan beliau, mungkin ini salah satu cara untuk membalas kebaikan keluarga fujita selama ini karena begitu banyak yang telah beliau dan suaminya lakukan untuk kami.

Sambil berjalan menuju tempat parkir mobil, ibu Fujita asyik bercanda dengan anakku. Mereka memang sangat dekat, sudah seperti nenek dan cucu. Sementara aku sibuk menghapal kembali materi yang akan aku sampaikan kepada siswa-siswa SD nantinya.

Waktu masih menunjukkan pukul 11.30 waktu Kobe, masih ada sekitar dua jam sebelum acara di SD mulai. Seperti rencana sebelumnya, kami singgah dulu beberapa saat di rumah ibu Fujita untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan satu setengah jam lamanya.

“Fitri…bukankah sekarang ramadhan” tanya ibu Fujita di dalam mobil yang sedang melaju menuju rumahnya.

“Iya benar…kok ibu tahu” kataku balik bertanya.

Hari itu memang hari pertama ramadhan. Tidak banyak orang Jepang yang paham dengan bulan yang penuh rahmat itu, apalagi waktunya, oleh karenanya bukan sesuatu yang aneh kalau aku menanyakan itu kepada ibu Fujita.

“Tadi malam di TV ada siaran tentang ramadhan” katanya menjelaskan.

Memang akhir-akhir ini ada beberapa stasiun televisi Jepang yang menyiarkan tentang Islam, terlebih lagi setelah teror 11 September di Amerika yang menghancurkan gedung kembarnya, yang bukan hanya mengguncangkan daerah sekitarnya tapi seluruh dunia.

Keluarga Fujita pernah tinggal di Jakarta selama empat tahun, sepuluh tahun yang lalu karena tugas dari perusahaan farmasi tempat pak Fujita bekerja. Sedikit banyak mereka tahu tentang Islam dari teman-teman muslimnya di sana. Terlebih lagi sebelum kami, mereka juga mempunyai anak angkat muslim dari Aljazair. Tapi sayang, sampai sekarang hidayah belum juga menghampirinya.

Singkat cerita, kamipun sudah sampai di rumah ibu Fujita. Setelah istirahat sebentar dan sholat Dzuhur, kami dipanggil masuk ke ruang makan. Di meja makan bundarnya telah tertata beberapa menu yang aduhai terlihat lezatnya. Aromanya menggugah selera, apalagi untuk perut laparku. Seperti biasanya ibu Fujita tahu apa yang harus disediakan untuk kami, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kami makan sebagai seorang muslim. Aku pikir pastilah itu disediakan untuk ibu Fujita sendiri dan gadis kecilku

Kami dipersilahkan duduk di kursi yang mengitari mejanya.

“Ayo silahkan dimakan” katanya sambil meletakkan piring dan sumpit di depanku.

“Di makan? Nggak salah denger nih… bukankah beliau tahu sekarang bulan ramadhan, dan pastilah beliau juga tahu aku tidak makan dan minum siang-siang begini, wah… nggak boleh dibiarkan nih” batinku.

“Maaf, sekarang ramadhan dan saya sedang berpuasa” kataku santun menjelaskan. “Iya…sekarang mami sedang berpuasa, nanti kalau sudah agak besar saya juga harus berpuasa seperti mami” suara cempreng gadis kecilku sambil berusaha mengambil takoyaki kesukaannya dengan sumpit ditangannya.

Terlihat sekali beliau terkejut dengan penjelasanku. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya. Satu detik…dua detik diam membisu. Entah apa yang ada di kepalanya. Deg-degan hati ini menunggu detik-detik berikutnya. Ada sedikit rasa khawatir seandainya beliau tersinggung akan penolakanku pada makanan yang telah susah payah dibuatnya. Tapi bagaimanapun juga aku harus menjelaskan, apapun resikonya.

Beberapa saat kemudian “Aku pernah mendengar orang yang sedang bepergian boleh nggak berpuasa” katanya sambil duduk tepat di sebelah putriku.

Aku tesenyum. Rupanya beliau telah salah mengerti.

“Kalau perginya jauuhh boleh tidak puasa, tapi harus mengganti pada hari lain di luar bulan ramadhan” kataku menjelaskan.

“Oooo gitu ya…dasar goblok, ” katanya sambil tertawa. Plong rasa hatiku mendengar tawa renyahnya.

“Benar-benar maaf ya, saya nggak tahu…dasar goblok” katanya kemudian sambil berkali-kali memukul kepalanya sendiri.

“jadi sekarang aku makan sama Uning sedangkan Fitri Cuma melihat, gitu ya?” katanya lagi.

“Silahkan, saya nggak apa-apa” kataku meyakinkan.

Jadilah aku hanya duduk menyaksikan mereka berdua makan. Ada sop, udang goreng tepung, nasi rebung, ikan panggang, takoyaki dan salad. Semua terlihat nikmat. Tapi aku yakin, nikmatnya hidangan di atas meja itu tidak bisa menandingi nikmat yang sedang aku rasakan, nikmat ramadhan, bukan lidah tapi hati dan jiwa ini yang merasakannya.

****


Kedatanganku sudah dinanti oleh ibu kepala sekolah. Di dalam ruang kepala sekolah sudah menunggu tiga orang jepang, satu laki-laki dan dua perempuan. Ketiganya berumur sekitan 70-an tahun. Sebentar kami mendengar pengarahan dari ibu kepala sekolah tentang kegiatan yang akan kami lakukan. Dua kelas yang jumlahnya 63 anak dibagi menjadi empat kelompok. Tiga kelompok belajar tentang kebudayaan jepang, dengan ketiga orang tua tadi sebagai nara sumbernya dan satu kelompok lagi tentang kebudayaan asing, bulan itu dipilih Indonesia.

Acara aku awali dengan pemutaran video tentang Indonesia, pinjaman dari teman dan sedikit penjelasan dariku. Acara tanya jawabpun lancar. Para siswa tampak bersemangat menanyakan tentang negeriku tercinta. Mulai dari jumlah propinsi, jumlah penduduk, bahasa, mata uang dan juga pakaian yang aku kenakan saat itu.

“Kenapa kepalanya ditutup seperti itu” tanya anak laki-laki paling gendut yang duduk di deret belakang. Pertanyaan yang sangat wajar dari seorang anak Jepang karena penampilan sepertiku yang berjilbab sangat jarang mereka jumpai di negara ini.

“Karena saya seorang Islam dan perempuan Islam harus berpakaian seperti ini” terangku kepada mereka.

“Dari umur berapa perempuan Islam harus berpakaian seperti itu” tanya seorang anak perempuan yang duduk disamping si gendut.

“Sebenarnya anak seumur kalian sudah harus mulai mengenakannya” terangku kemudian.

“Hmmm” hampir bersamaan mereka mengangguk-angguk tanda mengerti.

Acara yang paling menarik buat mereka adalah ketika aku mengeluarkan kebaya, pakaian adat Jawa. Semua anak terlihat antusias untuk mencobanya, tak terkecuali anak laki-laki. Meskipun berulang kali aku katakan kalau kebaya itu hanya untuk perempuan tapi mereka tetap nekat memakainya. Aku jadi geli sendiri melihat anak laki-laki berkebaya ria.

Acara aku tutup dengan mengajari mereka lagu “sayonara”, lagu yang aku dapat ketika SD dulu di kampung halaman tercinta. Meskipun lidah Jepangnya terlihat kesulitan menirukan kata demi kata yang aku ajarkan, tetapi mereka tetap bersemangat untuk bisa menyanyikannya.


Ketika aku masuk kembali ke ruang kepala sekolah, ketiga orang tua tadi sudah ada di dalamnya. Di meja depan tempat mereka duduk telah tersaji beberapa cangkir berisi teh yang masih mengepul. Gula dan susu sachet ada disamping setiap cangkir. Setelah berbasa basi sebentar tentang kegiatan tadi, ibu kepala sekolah mempersilahkan kami untuk menikmati teh yang terlihat sudah mulai dingin. Dengan hati-hati ketiga orang tadi mulai menuangkan gula dan susu, lalu mengaduknya perlahan.

“Silahkan” kata ibu kepala sekolah mengulang kepadaku, mungkin kerena melihat diri ini hanya diam terpaku.

Untuk kedua kalinya pada hari sang sama aku dihadapkan pada situasi seperti itu. Tidak ada pilihan lain, aku harus berterus terang kepada mereka seperti halnya aku berterus terang pada ibu Fujita sebelumnya.

“Maaf…hari ini saya sedang berpuasa” kataku.

Tangan-tangan yang tadi asyik mengaduk isi cangkir tanpa dikomando tiba-tiba berhenti, pandangan matanya beralih dari cangkir kepadaku.

“Puasa?” tanya ibu yang rambutnya dicat ungu tua.

“Benar…saya sedang berpuasa, jadi saya tidak makan juga tidak minum” kataku menjelaskan.

“Oh ya….berapa lama” tanya ibu kepala sekolah dengan sopan.

“Satu bulan” kataku kemudian.

“Haaaaaaa” semua mata di didepanku terbelalak menandakan keterkejutannya.

“Nggak mati ya... sebulan tanpa makan dan minum?” ibu berambut ungu tua bersuara lagi.

“Saya nggak makan dan minum hanya sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam, selama sebulan berturut-turut” kataku menjelaskan.

“Kenapa berpuasa” tanya ibu kepala sekolah lagi.

“Bulan ini adalah bulan yang sangat istimewa buat kami, orang-orang Islam. Kami harus puasa karenanya, itu perintah Tuhan” kataku.

“Oooo Islam…..rasanya pernah mendengarnya” kata ibu kepala sekolah.

“nggak lapar ya?” tanya bapak tua, satu-satunya laki-laki dalam kelompok kecil itu.

Tiada yang keluar dari bibir ini kecuali senyuman tipis. Semua orang juga tahu kalau nggak makan pasti lapar. Tapi mereka tidak tahu, dalam lapar dan dahaga yang aku rasakan, hati dan jiwa ini merasa kenyang dan kuat.

“Apakah anak-anak dan orang sakit harus berpuasa juga?” pertanyaan pintar dari bapak tua itu lagi.

“Tidak, orang-orang yang tidak sanggup berpuasa seperti anak-anak, orang tua, orang sakit, ibu hamil dan ibu menyusui tidak wajib berpuasa” kataku lagi.

“Ooooo gitu ya….. aku kan orang Budha bukan Islam, jadi nggak usah berpuasa” kata ibu berambut ungu tua dengan bangganya. Dalam sekejap cangkir di depannya sudah bersarang di bibirnya.

“Aku juga orang Budha, sudah tua lagi” kata ibu tertua yang sedari tadi cuma diam mendengarkan pembicaraan kami. Tangan tuanya segera meraih cangkir yang ada didepannya. Bapak itupun mengikuti kedua temannya.

“Nikmaaattt” kata mereka bersahutan setelah meletakkan kembali cangkir di tempatnya semula. Mata-mata sipit mereka memandangku. Tak tahu apa arti pandangan mereka.

Aku cuma tersenyum kecut melihat ulah ketiga orang tua itu. Milktea memang nikmat, akupun menyukainya. Tapi ada yang lebih nikmat dari sekedar milktea. Nikmat ramadhan seperti yang kurasakan saat itu. Dalam hati ini merasa kasihan pada mereka karena usia seuzur itu belum pernah merasakan nikmatnya bulan yang suci dan penuh berkah. Kenikmatan untuk memuja, merindukan dan mencintaiNya.

Aku segera berpamitan ketika sadar sudah terlalu lama meninggalkan putri kecilku di rumah ibu Fujita.

“Lapar…sangat tidak menyenangkan” terdengar suara perempuan ketika kaki ini mulai meninggalkan ruang kepala sekolah. Tak peduli apa kata mereka. Aku terus melangkah dan melangkah meninggalkan suara-suara sumbang itu.

“Sayonara…sayonara..sampai berjumpa pula” sayup-sayup terdengar suara nyanyian dari ruang kelas lima yang terletak di paling depan dari bangunan sekolah itu. Akupun tersenyum karenannya.
Fitri Budiadi

Catatan
Kawanishi noseguchi: Nama stasiun
Takoyaki: Nama makanan khas Jepang berbentuk bulat terbuat dari tepung berisikan gurita
[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved