[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Bolehkah Pakai Jilbab Ketika Hati Belum Mantap?
Uneq-Uneq - Wednesday, 08 December 2004

Tanya: Assalamualaikum wr.wb. Sebelumnya nama saya Dian. Saya ingin bertanya, apakah boleh dalam agama, bila kita memutuskan untuk menutup aurat di saat hati kita bimbang dan disaat iman kita masih dalam tahap perbaikan.
Sebelumnya saya memang mendapatkan masalah yg menurut saya sangat berat sekali…sampai2 saya merasa sudah engga ada gunanya saya meneruskan jalan hidup..tetapi dibalik semua ini saya seperti mendapat hikmah dan hidayah …yang saya ingin tanyakan…apakah tidak terlalu cepat untuk saya merubah diri..disaat situasi seperti ini…..di masyarakat saya tergolong anak yg tomboy,cuek...apakah pantas…untuk saya merubah diri dalam waktu yg begitu cepat…apakah yg harus saya lakukan apabila masyarakat menggunjing saya…..saya mohon berilah saya jalan keluar supaya saya dapat menjalankan niat yg memang benar2 sudah saya siapkan ini….atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih….assalamualaikum wr.wb
Dian,

Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ukhti Dian yang dirahmati Allah SWT.

Ada banyak orang, bahkan menurut saya hampir sebagian besar orang, lebih menyukai melakukan sesuatu karena dia memang ingin melakukannya. Amat jarang orang yang bisa bertahan lama untuk mengerjakan sebuah pekerjaan atau mengambil keputusan untuk berada di sebuah kondisi tertentu, jika sejak dari awal tidak ada niat apa-apa selain terpaksa melakukannya. Alias tidak ikhlas. Bahkan bisa jadi, sepanjang waktu yang dilaluinya, yang dia rasakan adalah sebuah penyiksaan dan senantiasa menghitung hari kapan semua ini akan berakhir. Akhirnya, lahir sebuah slogan (yang menurut saya amat sangat menyesatkan), yaitu, “lebih baik tidak sama sekali daripada iya tapi nggak ikhlas.”.

Tampaknya, apa yang menjadi kegundahan ukhti Dian saat ini juga terpengaruh oleh slogan tersebut di atas.

Ukhti Dian yang dirahmati Allah.
Percayalah bahwa slogan yang berkembang di tengah masyarakat tersebut di atas, sebenarnya lebih merupakan sebuah apologi, permakluman dalam rangka memasyarakatkan sebuah perilaku yang permissive terhadap pelanggaran norma dan nilai agama.

Coba perhatikan hal-hal berikut dan ukhti renungkan..
· Mana yang lebih baik dipilih, meninggalkan shalat shubuh karena lebih menikmati tidur dalam dekapan selimut tebal atau mendirikan shalat shubuh dengan konsekuensi terguyur air wudhu yang dingin dan membaca surat dengan mata yang amat berat menahan kantuk? Mana yang lebih mendatangkan kondisi rawan ketidak-ikhlasan? Jika berhenti sampai pertanyaan ini, maka pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan dengan jawaban pilihan.

Padahal, jawabannya seharusnya satu, yaitu tetap harus shalat.
Mengapa?
Karena pertanyaan ini memang bukan pertanyaan dengan aneka pilihan. Shalat adalah wajib hukumnya, tidak bisa ditawar-tawar lagi.

· Mana yang lebih baik dipilih, membunuh ayah atau membunuh ibu jika kamu berada dalam kondisi terancam oleh seorang yang amat dzaliim dan dia mengancammu dengan pilihan tersebut agar kamu bicara? Jika ditarik menjadi pertanyaan banyak pilihan, tentu kamu akan sulit menjawabnya. Padahal, jawabannya hanya satu dalam ketentuan Islam. Berbakti pada ayah dan ibu adalah wajib dan terlarang bagi kita menghardik dan melawan mereka kecuali jika mereka mengajak kita ke arah pemurtadan.
· Coba lihat sejenak kisah Nabi Ibrahim ketika Allah memerintahkan beliau alaihissalam untuk menyembelih anak yang amat disayang dan telah lama dinanti-nantikan kehadirannya. Mana yang harus dipilih, menyembelih anaknya atau menolak dengan alasan hati yang tidak ikhlas dan akan amat memilukan melakukannya? Ini bukan pertanyaan pilihan. Mentaati perintah Allah wajib hukumnya bagi tiap-tiap manusia yang mengaku menjadi seorang hamba Allah di muka bumi ini.

Dari beberapa perumpamaan tersebut di atas, inti yang ingin saya sampaikan adalah. Bahwa terkadang, kita akan berhadapan dengan banyak sekali hal yang tampaknya adalah sebuah pilihan-pilihan bebas. Begitu banyak hingga kita sendiri jadi merasa bahwa segala sesuatunya itu memang bebas untuk dipilih. Padahal, sesungguhnya, tidak semuanya merupakan pilihan-pilihan bebas. Ada yang murni bebas dipilih dan nanti tanggung sendiri resikonya, ada juga yang jawabannya hanya satu yang benar sedangkan yang lain hanyalah pilihan-pilihan sampiran untuk menjauhkan kita dari Dien kita, Islam. Hanyalah pilihan jawaban jebakan untuk menjauhkan kita dari kebenaran.

Dalam hal ini, seperti keinginan untuk mulai mengenakan pakaian muslimah. Dalam Al Quran, penerapan pakaian muslimah sudah dikatakan dengan amat jelas hukumnya, yaitu wajib agar tertutup aurat kita kecuali tangan dan wajah saja.

Wanita itu adalah makhluk yang indah. Bagian apa saja yang berasal dari tubuhnya akan selalu melahirkan keindahan tersendiri dan insya Allah akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Menutupinya dengan kain yang tersampir, dalam hal ini, akan sangat melindungi wanita dari berbagai macam fitnah atau bahaya birahi. Selain itu, juga bisa menaikkan derajatnya (jika dulu sering langsung dinilai oleh orang lain dengan sekilas pandang, kini orang akan menaruh rasa sungkan untuk menilai seperti itu) (Silahkan lihat: http://www.kafemuslimah.com/detail.php?id=157)
.
Tapi, kalau ditarik jadi sebuah pertanyaan dengan pilihan jawaban, kondisinya tentu saja akan berbeda dengan tujuan Islam seperti yang saya sebutkan di atas. Ini saya kutip pertanyaan ukhti di email:

“apakah boleh dalam agama, bila kita memutuskan untuk menutup aurat di saat hati kita bimbang dan disaat iman kita masih dalam tahap perbaikan.”

Sekali lagi, ini bukan pertanyaan dengan jawaban pilihan. Karena jawabannya sebenarnya hanya satu, tutuplah auratmu!
Mengapa? Pertama, karena dalam Al Quran menutup aurat bagi wanita adalah wajib hukumnya. Kedua, karena selamanya, seumur hidupnya, kondisi keimanan seseorang itu memang akan selalu fluktuatif, naik turun. Bisa jadi, hari ini kondisi keimanan amat bagus. Dengan ringan kita dirikan bukan hanya shalat fardhu, tapi juga sunnahnya, ditambah dengan tadarusnya, ditambah dengan amal ibadah lain. Tapi, besok, bisa jadi akan datang rasa malas yang menggoda, rasa lelah yang menggelitik atau gundah yang membuyarkan konsentrasi. Akibatnya, kondisi iman mengalami penurunan. Apakah kondisi penurunan ini akan membuat kita kembali surut ke belakang? Tentu saja tidak boleh. Ada banyak cara untuk menjaganya agar tidak terjun bebas sebebas-bebasnya ke arah kemerosotan iman. Seperti dengan cara bergaul dengan orang-orang shaleh, berkumpul dengan orang-orang berilmu, mendekatkan diri dengan tempat ibadah, mendekatkan diri dengan sarana ibadah, dan sebagainya. Pendek kata, kita sendirilah yang harus menjaganya dengan baik.

Karena hati memang harus senantiasa diasah agar senantiasa jernih.
Karena iman memang harus senantiasa dicerahkan agar senantiasa benderang.
Lagipula, siapa yang bisa memberi jaminan, bahwa hari esok masih akan kita nikmati?
Tak ada yang bisa memberi jaminan bahwa maut dan ajal tidak akan datang bersama matahari pagi di hari esok. Lalu, mengapa harus menunda jika sudah jelas bahwa segalanya menjadi percuma jika nyawa sudah meregang.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved