|
Koruptor Hunter Muslimah & Media - Sunday, 12 December 2004
Kafemuslimah.com Secara sengaja, judul tulisan ini meminjam sebuah acara tentang kehidupan buaya yang difilmkan oleh Rob Rendell. Ada persamaan antara Buaya dan Koruptor. Sama-sama memburu mangsa dengan cara diam-diam, ganas dan tanpa ampun. Meninggalkan luka pada mereka yang kehilangan hak sebagai pemilik sementara sesungguhnya. Menorehkan kesedihan pada hati sanubari orang-orang yang kehilangan kesempatan untuk berkumpul lebih lama dengan yang dicintai.
Seminggu yang lalu, secara tidak sengaja saya ada melihat sebuah acara kisah nyata di televisi (yang karena status televisi itu adalah display untuk dijual, maka saya yang tidak begitu jelas apa stasiun penayangnya). Kebetulan kisah yang dibesut oleh kameramen adalah kisah tentang tertangkapnya raja sungai itu setelah kedapatan memakan seorang anak kecil. Oleh penduduk, buaya itu dibelah perutnya. Lalu, seorang yang cukup punya nyali di antara mereka mulai mengaduk isi perut buaya yang telah teriris menganga lebar. Puluhan mata menanti dengan rasa penasaran. Hampir semua yang menyaksikan adegan merogoh perut buaya itu menutup hidung mereka dengan apa saja. Tak lama kemudian, tangan yang belepotan darah itu keluar. Persis seperti tangan dokter yang sedang membantu persalinan. Tapi kali ini bukan sosok bayi yang dikeluarkan. Tapi potongan kaki manusia (anak kecil) yang telah kaku!! Kaki itu pucat dan terpotong hingga sebatas tulang paha. Lalu tangan di lelaki bernyali itu kembali merogoh dan tak lama kemudian keluarlah potongan pergelangan tangan, disusul dengan buraian usus manusia, isi organ di dalam perut manusia, potongan telinga, sisa tulang dagu, potongan jemari tangan, dan akhirnya si lelaki bernyali itu langsung terduduk lemas dan menelungkupkan kepalanya di atas bangkai buaya tersebut.
Jika saya si lelaki itu, tentu saya sudah jatuh pingsan sejak pertama kali mengeluarkan potongan kaki. Tapi lelaki bernyali itu bukan saya (alhamdulillah). Sebuah tangan tampak menepuk-nepuk pundak lelaki tersebut hingga lelaki yang menangis sambil menelungkupkan kepalanya itu kembali tegak dan meneruskan kegiatannya mengaduk dan merogoh perut buaya yang telah terbelah lebar tersebut. Semua penemuannya dimasukkan ke dalam karung plastik beras 50 kg. Akhirnya, setelah lama, barulah lelaki bernyali itu berhasil mengeluarkan potongan kaki yang sebelahnya lagi. Lalu selesai. Kepala dan badan anak kecil yang dimakan buaya tidak pernah bisa diketemukan. Innalillahiwaiinailaihirajiun.
Buaya memang makhluk yang mengerikan. Kibasan ekornya mampu menghancurkan tumpukan kayu bakar dan merobohkan batang bakau. Gigitan rahangnya berkekuatan amat dasyat, hingga mampu menghancurkan potongan pipa besi seberat 3 ton. Hancur. Setiap kali merenggut korban, tidak seluruh tubuh korban dilumatnya. Dia hanya memakan sebagian dan sisanya disimpan di perut untuk cadangan makanan selama beberapa minggu (itu sebabnya yang tersisa dari tubuh anak kecil tersebut hanyalah pinggang ke bawah saja). Hampir semua orang benci pada buaya karena keganasannya ini.
Lalu bagaimana dengan koruptor?
Koruptor seperti buaya di perekonomian negara. Setiap kali ada peluang yang tampak lengah, diam-diam akan dilumat habis. Inilah salah satu hewan terburuk yang telah menghancurkan pondasi perekonimian negara kita, meruntuhkan pemerintahan dan mengguncang keberlangsungan bangsa. Koruptor lebih ganas dari buaya. Dialah lintah. Dialah harimau. Dialah teroris sesungguhnya. Dialah api dalam sekam. Dan syukurlah pada akhirnya Presiden SBY menerbitkan Instruksi Presiden no. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, bersamaan dengan perencanaan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi bersamaan dengan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia yang jatuh tangal 9 desember 2004. Sebagai aksi nyata dari inpres itu, pada hari yang sama Presiden menanda tangani surat persetujuan pemeriksaan 14 penyelenggara negara yang terdiri dari dua gubernur, enam anggota MPR/DPR, empat bupati, dan dua wali kota (Kompas, Jumat 10 Desember 2004).
Lalu domino efekpun mulai bertalu-talu.
Esoknya, di Semarang, diadakan SIDAK (Inspeksi Mendadak) berbentuk razia PNS (Pegawai Negri Sipil) ke mall dan rumah makan yang ada di kota Semarang pada saat jam-jam kantor. Hasilnya? Tertangkap 40 orang PNS yang sedang berada di tempat-tempat tersebut tanpa diiringi surat dinas (MetroTV News, pagi, 11 Desember 2004). Saya sempat melihat di televisi ketika beberapa ibu-ibu dengan pakaian dinas digiring oleh petugas sambil tergopoh-gopoh menenteng belanjaan mereka di pusat perbelanjaan. Atau bapak-bapak berpakaian dinas coklat muda yang tampak panik tapi langsung berusaha tenang dan kalem setelah melihat kamera wartawan. Mereka sedang duduk-duduk sambil mengangkat sebelah kaki, melinting rokok kretek di hadapan gelas-gelas tinggi minuman dingin segar di sebuah pusat jajanan.
Hahahahaha … (ups, maaf. Saya memang langsung tertawa gembira melihat razia ini. Masih segar dalam ingatan saya ketika spontan terlontar kekesalan dan cemburu abang supir mikrolet ketika pukul 10.00 WIB seorang karyawan DepDagri naik Mikrolet untuk pulang.
“Pak, dah pulang pak?” tanya supir mikrolet.
“Iya, di kantor juga nggak ada kerjaan, mending tidur deh di rumah. Cape tadi abis begadang nonton bola.” Jawab si karyawan enteng. Tak lama kemudian karyawan tersebut turun dari kendaraan dan membayar ongkos secukupnya. Saya masih meneruskan perjalanan. Selepas itu, sambil menginjak gas, terdengar supir menggerutu.
“Enak euy jadi pegawai negeri. Kerja nggak ada, masuk kesiangan pulangnya cepet, dapat gaji dan pensiun pula.”… Nah. Itu sebabnya saya langsung tersenyum lebar menyaksikan PNS yang dirazia oleh petugas tersebut. Merekalah para koruptor waktu.
Koruptor memang tidak melulu menghilangkan uang lewat ketrampilan mereka di bidang pembukuan. Koruptor adalah mereka yang mengambil sesuatu yang tidak diperuntukkan bagi mereka, tapi menjadi hak orang atau institusi lain.
Lalu bagaimana dengan diri kita sendiri? Adakah bakat koruptor itu? Adakah bisikan dan ajakan yang menelisik di telinga untuk melakukannya? Hati-hati. Koruptor Hunter akan memburumu. Tidak disini, pasti di akherat.
---- Jakarta, 12 Desember 2004 ([email protected])
penulis: Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|