|
IBU KITA MEMANG TANGGUH! Oase Ilmu - Friday, 24 December 2004
Kafemuslimah.com Aku belajar bahwa setiap ibu menyimpan kisah perjuangan. (Dan, kukatakan padamu : Percayalah! jauh di dasar hatinya, selalu ada rahasia besar yang khusus buat dirinya sendiri). Dera duka yang tak
pernah ia sesali. Tumpukan nestapa yang takkan hendak ia bagi untuk kita : anak-anaknya! Tapi untungnya, Tuhan selalu punya banyak jalan untuk membuat kita semua tahu : Berat nian rahasia itu ia simpan. Betapa berharga makna Ibu buat seisi dunia.
Maka, inilah cerita tentang ibuku. Perempuan perkasa dengan balutan senyum dan sabar di sekujur tubuhnya. Kadang aku bertanya, bagaimana ia bisa begitu perkasa. Sampai akhirnya kusadari bahwa kami, ketiga putranya yang nakal inilah semangat yang terus memompa hidupnya. Yang
selalu tersemat dalam hatinya, di sepanjang perjalanan hidupnya. Ah, tubuh kakak yang sakit-sakitan, aku yang terkenal bengal, serta adik bayi yang masih merah. Bagi Ibu, wajah-wajah itulah yang pertama kali ingin ia jumpai. Sepulang kerja. Ketika menjejakkan kaki letihnya di
dermaga kecil bernama Kamal. Saat maghrib sudah di buritan.
Ibu selalu berangkat pagi-pagi. Jauh sebelum subuh tiba. Siapkan sarapan, baju sekolah, serta tugas kantornya. Saat matahari berangkat, ia sudah di ujung dermaga. Usai mencium dahi ketiga jantung hatinya, maka lambaian tangan adalah ritual yang selalu diiringi oleh tetasan air mata. Ia lalu berdiri menanti kapal kecil datang menjemput. Menyeberang selat, serta mengarung ombak yang sesungguhnya ia takuti.
Sebab ternyata baru kutahu, Ibu tak pernah bersahabat dengan ombak. Tapi pekerjaan menuntut tanggung jawab dan singkirkan rasa takut. Rumah dinas kami memang di pinggir pantai. Dan ibu bekerja pada kantor di seberang pantai yang lain.
Kapal pun membawa Ibu pergi. Sampai senja tiba di tempat yang sama. Kami bertiga duduk menanti di bawah pohon besar. Mencari titik hitam di ujung cakrawala. Berharap itu kapal Ibu yang datang membawa senyuman. Bila alam sedang marah, kapal kecilnya dihempas beringas.
Dan Ibu ? orang-orang bilang hanya nama kami yang ia sebut. Lalu pingsan adalah cerita penutup untuk episode itu. (Ibu,.. aku tak sanggup bayangkan itu terjadi berkali-kali dalam hidupmu).
Malam hari adalah masa-masa paling menyenangkan. Saat adik tertidur, aku dan kakak mengelilingi Ibu. Menggambar dan mencoret-coret kertas bekas yang ia bawa dari kantor. Sembari diceritakannya kisah-kisah di sepanjang hari itu. Ibu juga menyelingi acara kami dengan beberapa alat dapur serta bahan makanan. Bersamanya, kami yang laki-laki dikenalkannya dengan suasana dapur. Seorang laki-laki harus bisa menghidupi keluarganya. Dalam arti yang sebenar-benarnya.
Ya, sarapan esok hari harus disiapkan jauh sebelum kami tidur. Dan laki-laki mesti bisa berperan di dalamnya.
Suatu saat ketika aku sakit. Itu adalah malam ketiga beliau terduduk di depan tubuhku yang sedang demam tinggi. Dua malam sudah ia terjaga. Tak tidur demi menjaga agar 'step' yang kuderita tak sampai 'bablas'. Bapak ? Aku lupa memberitahu. Beliau adalah abdi negara yang baik. Sebagai serdadu laut, hampir separuh hidupnya ia habiskan di atas samudera. Saat itu, ia pun pasti di tengah pucuk ombak pada samudera yang lain. Jauh sekali dari rumah. Dan Ibu, ia
masih terus membuka mata dengan sebatang sendok di tangan kanan, serta kompres di tangan kiri. Tapi besok pagi, ibu harus kembali bekerja. Ijin cuti 3 hari habis tanpa sebuah perkembangan yang baik dariku.
Maka, ketika esok hari panas tinggi masih membalutku. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia tak pergi ke kantor tanpa ijin. Meski akhirnya pengorbanan itu berbuah. Kondisiku membaik hari itu. Dan saat esok hari beliau dipanggil oleh sang perwira. Tentang ketiadaan ijin
dengan tambahan komentar tak layak dari seorang pimpinan militer. Maka masih dalam keadaan letih dan was-was tentang keadaan puteranya di rumah. Dari bibir yang biasanya lembut, ia berujar pedas :
"Saya ada di kantor ini cuma karena anak-anak saya. Saya tak peduli apakah Bapak mau memecat saya atau tidak. Tiga hari putera saya terserang demam tinggi, dan selama itu saya ada di antara hidup dan mati menyaksikan ia seperti itu. Tapi Bapak tak bisa mengerti. Bapak mungkin tak pernah menjadi seorang ibu. Tapi saya mohon, pahami perasaan saya. Saya mengasihi anak-anak saya! Mereka adalah segala- galanya bagi hidup saya! Maafkan, saya. Tapi bagi saya, cuma ini yang bisa saya lakukan"
Lalu tangis Ibu meledak mengiringi puncak emosinya yang tumpah ruah. Ruangan pimpinan mendadak hening. Dalam sedu sedan yang masih berlangsung, sang kolonel termangu di depan anak buahnya yang terus terisak itu. Ia bahkan tak bisa berkata apa-apa. Dalam birokrasi militer, itu jelas tak boleh terjadi. Tapi, kekuatan hati seorang Ibu memang bisa memporak porandakan semua aturan.
Esoknya, Ibu masuk kantor seperti biasa. Beliau langsung menghadap pada sang kolonel. Menyampaikan permintaan maaf serta kesediaan untuk menanggung segala akibat tindakan indisipliner itu. Tapi sungguh, Ibu tak menyangka bahwa pimpinannya itu hanya tersenyum sambil bertanya
lembut.
"Lupakan saja. Bagaimana kabar puteramu ?"
Begitulah! Lalu cerita-cerita tentang pengorbanan Ibuku tak berakhir di ruang kerja itu.
============
Surabaya, di hari Ibu
PS. Ibu, Kau tak pernah tahu kan bahwa cerita ini akhirnya sampai juga
di telingaku ? Seseorang membocorkannya untukku. Ah Ibu, aku teramat
rindu padamu !!!
penulis: [email protected]
[ 0 komentar]
|
|