|
JIka Esok Tak Pernah Datang Muslimah & Media - Friday, 07 January 2005
Kafemuslimah.com Saat ini, setelah kembali dari lawatan di Kuala Lumpur, hampir setiap hari saya rajin mengikuti berita tentang Aceh Pasca Tsunami. Entah sudah berapa tetes air mata ini mengalir melihat penderitaan mereka. Entah sudah berapa kali harus saya basut kesedihan yang hadir di dalam hati.
Innalillahiwainnailaihirajiun. Sesungguhnya, segalanya kepunyaan Allah dan sesungguhnya, hanya pada Allahlah semuanya akan kembali.
Metrotv, termasuk stasiun televisi swasta yang rajin memutar balik hasil rekaman video amatir detik-detik ketika Tsunami datang melanda. Salah satunya adalah hasil rekaman Cut Putri yang ditayangkan tanggal 6 Januari 2005 lalu, pukul. 20.00 WIB. Cut Putri sendiri, berdomisili di Jakarta. Kedatangannya ke Aceh dalam rangka menghadiri pernikahan sepupunya yang tinggal di dekat pantai Lampuuk, Aceh.
Dasyat. Sungguh dasyat peristiwa detik-detik ketika Tsunami itu datang. Beberapa spot besutan video tersebut, sebenarnya sudah pernah saya lihat ketika masih di Kuala Lumpur. Tapi ketika ditayangkan secara utuh dari awal hingga akhir di MetroTv, saya tak urung kembali menitikkan air mata perih dan ngilu.
Air bah bercampur Lumpur dan pasir hitam serta potongan kayu mengalir dengan amat deras di sekeliling rumah (rumah saudara Putri tingkat dua dengan jarak plafon yang amat tinggi-tinggi sehingga hampir setinggi rumah tingkat tiga).
Semua mengalir dengan deras diterjang gelombang. Kayu, besi, ternak, juga manusia. Lumpur dan air sudah tidak bisa dibedakan. Tak ada lagi batas rumah, batas wilayah dan juga batas perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Semua punya celah yang sama untuk sama-sama binasa atau sama-sama selamat. Semua yang hadir di atas muka bumi ini, begitu tampak sepenuhnya tak punya daya dan upaya melawan kebesaran Allah dan kuasa-Nya.
Lalu apa yang terjadi pada keluarga Putri yang menjadi saksi kebinasaan itu semua tepat di depan mata?
Spontan, tanpa dikomando. Mereka langsung saling berpegang tangan, saling meminta maaf dan mulai berdzikir menyebut nama Allah sambil melakukan istighfar.
“Umi, maafkan aku yah, atas semua kesalahanku selama ini. Aku sudah banyak menyusahkan Umi, membuat umi kesal, marah, tidak sabaran. Maafkan aku yah umi. Abi, maafkan aku, abi. Aku sudah sering membuat kesalahan dan membuat abi marah dan susah. Maafkan aku, abi. …” Dan terus. Pada setiap orang, pada siapa saja yang terlihat di depan mata, permintaan itu terlontar dengan penuh perasaan dan kesungguhan hati. Dan air bah terus mengalir dengan amat derasnya. Menghancurkan deretan rumah yang semual berjajar rapi. Menghanyutkan segala yang ditemuinya. Manusia dan pelepah pisang tak ada bedanya. Terapung dan hanyut bagaikan daun kering yang jatuh ke atas sungai. Timbul tenggelam tanpa daya.
“Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Allahumma, ampunilah dosa dan kesalahanku. Ampunilah atas semua kekhilafan dan kekurangan yang aku miliki selama ini. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim. Astaghfirullahaladziim.” Dzikir dan istighfar terus dipanjatkan dalam kepasrahan dan ketidak berdayaan. Apa yang bisa dipakai untuk menolong diri sendiri ketika kehancuran sudah tampak di depan mata? Apa yang paling bisa diandalkan ketika bayangan kematian sudah begitu nyata di depan mata? Jawabannya tak ada.
Tak berguna sama sekali harta kekayaan yang melimpah. Tak bermanfaat semua kecantikan dan ketampanan yang dimiliki. Bahkan tubuh mulus, gemerincing gelang emas, halusnya bahan pakaian yang melekat di tubuh, dan bagusnya kendaraan yang dikendarai, itu semua tak memiliki arti sama sekali.
Tak ada yang bisa dipakai untuk menangkis kemalangan. Tak ada yang bisa diandalkan untuk mengundurkan kematian. Pun tak ada yang bisa dipakai untuk berlindung dari keganasan bencana. Pada akhirnya, semua akan bermuara pada yang Maha Perkasa dan Maha Pelindung, Maha Pencipta.
Dia yang memberi hidup dan memberi kematian.
Dia yang mencipta sekaligus memberi ujian pada hasil ciptaanNya.
Allah.
Allah.
Allah.
Ya. Detik-detik kedatangan Tsunami telah memberi hikmah dan pengajaran pada siapa saja yang menyaksikannya. Bahwa keperkasaan yang dimiliki oleh sesuatu, tidak akan pernah bisa menandingi keperkasaan yang dimiliki oleh Allah Rabb Al Amin.
“Kami semua saat ini sudah tidak berpikir lagi tentang perasaan takut mati. Semua sudah pasrah dan tawakkal. Rasanya hidup dan mati menjadi sama. Apapun bisa terjadi saat itu. Semua sudah tunduk dan pasrah pada kekuasaan Allah.” Demikian Putri berujar dalam tayangan tersebut dan saya kembali harus terpekur sambil menghapus air mata di depan televisi.
Astaghfirullahaladziim. Apa yang terakhir telah saya lakukan jika jam berikutnya maut datang menjemput? Apa yang telah saya kerjakan selama ini jika ternyata hari esok tak pernah datang menghampiri saya guna memberi kesempatan untuk memperbaiki diri? Kemana langkah terakhir saya telah saya arahkan sebelum menonton acara tersebut, sebelum saya duduk di depan televisi, sebelum saya masuk ke dalam ruangan ini, sebelum matahari bersinar cerah siang tadi, sebelum matahari terbit di pagi hari? Adakah saya telah melakukan kesalahan yang menyakiti orang lain? Adakah saya telah melakukan kekhilafan yang membuat susah orang lain? Adakah saya telah melakukan sesuatu yang membuat orang lain masygul, marah, merasa terdzalimi, merasa dianiaya, merasa tersinggung, dan sebagainya?
Astaghfirullahaladziim.
----- Jakarta, 8 januari 2005 ([email protected])
penulis: Ade Anita
keterangan gambar: diambil dari http://www.freerepublic.com/focus/f-news/1312704/posts dengan keterangan sebagai berikut: The ruins : An Indian tsunami victim, who lost her 12-year old son in the natural disaster, cries over the ruins of her house in front of a year-old goodwill message painted on a survivng wall at a fishing village in Cuddalore, some 185kms south of Madras. (AFP/Emmanuel Dunand)
[ 0 komentar]
|
|