|
Natal dan Sinkretisme Teologis Oase Ilmu - Monday, 17 January 2005
Tulisan ini untuk menanggapi tulisan Guntur Romli dan Ulil Abshar-Abdalla
Kafemuslimah.com Natal adalah ‘kecurigaan’ dan ‘ketidaknyamanan’. Itu adalah fakta yang terjadi di negara Indonesia. Karena penulis sendiri tidak tahu pasti bagaimana yang terjadi di negara-negara yang lain. Setiap tahun, perayaan Natal bagi umat Kristen selalu diwarnai hal-hal yang tidak semestinya muncul ke permukaan, seperti mengatakan bahwa fatwa haram menghadiri Natal bersama merupakan bid`ah dan sebagainya.
Sehingga, kita banyak menemukan usaha-usaha yang mengarah kepada rehabilitasi ‘kecurigaan’ dan ‘ketidaknyamanan’ itu. Lahirnya ketegangan dan ketidaksehatan dalam acara ‘Misa Natal’ penulis kira bukan hal yang harus dibesar-besarkan. Sampai-sampai muncul usaha sinkretisme teologis. Pada perayaan Natalan kali ini, penulis (alhamuduillâh) menemukan dua buah artikel di internet. Keduanya merupakan tulisan yang bertujuan untuk mencairkan ‘ketegangan’, ‘kecurigaan’ dan ‘ketidaknyamanan’ tersebut di atas dengan cara yang salah. Pertama, artikel yang ditulis oleh saudara Mohammad Guntur Romli di www.islamemansipatoris.com(27/12/2004) dengan judul “Natal dan Pesan Dialog Agama”. Kedua, adalah artikel Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat di www.islamlib.com (27/12/2004) dengan judul “Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal”.
Dari kedua artikel tersebut ada beberapa hal yang ingin penulis tanggapi, pertama berkaitan dengan spirit tulisan dan kedua substansi tulisan tersebut.
Spirit kedua penulis tersebut penulis kira patut mendapat ‘apresiasi’ dari semua kalangan, terutama kaum rohaniawan dan kaum pluralis. Mengapa? Karena spirit yang mereka tuangkan dalam tulisan mereka begitu besar; sebagai ekspresi pro-pluralitas dan menghilangkan skat-skat dan gap sosial. Gap itu adalah ‘gap tahunan’, yang selalu menghantui perayaan Natal di negara Indonesia. Hanya saja, hemat penulis, mereka terlalu membesar-besarkan masalah yang ada. Pada gilirannya mereka terjebak dalam spirit yang mereka usung itu. Dalam tulisan saudara Mohammad Guntur Romli, spirit yang diusung adalah dialogue spirit. Sehingga sang penulis berani berkata; “Saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”, demikian ungkapnya.
Pada tulisan Ulil Abshar-Abdalla terjadi hal yang sama, yaitu ia ingin menciptakan model ta’âruf Qurani. Hanya saja, ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya, ia menganjurkan kawin campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, Natal dan bid`ah. Akibatnya, kedua penulis terjebak dalam sinkretisme teologis.
Poin penting dari tulisan saudara Mohammad Guntur Romli yang akan saya tanggapi adalah; (1) Kehadiran Tuhan dan (2) Penyaliban Yesus.
Pertama, Kehadiran Tuhan. Penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Firthjof Schuon dalam bukunya ‘Filsafat Parenial’ kurang tepat. Kristen dan Islam memiliki same platform (kalimah sawâ’), bukan common platform (kalimah musytarakah) yang selama ini disalahpahmi oleh beberapa kaum pluralis. Karena inti ajaran (akidah) Kristen dan Islam pada dasarnya adalah monoteisme (Tauhid), bukan kehadiran Tuhan. Hal ini dapat kita temukan baik dalam Perjanjilan Lama (Old Testament) maupun Perjanjian Baru (New Testament). Sebagai contoh dapat dilihat dalam Perjanjian Lama; (1) Tuhan itu Allah, tidak ada yang lain (Ulangan 4: 35); (2) Akulah yang pertama dan yang terakhir, tidak ada tuhan selain Aku (Yesaya 44: 6); (3) Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Tuhan Yang Esa di dalam Taurat (Keluaran 8: 10); (4) Allah melarang membuat patung-patung atau berhala-berhala untuk disembah (Lawi 19: 4) dan (5) Nehemia dalam munajatnya berkata: “Engkaulah Tuhan yang Maha Esa!” (Nehemia 9: 6).
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, misalnya; (1) Lalu guru agama itu berkata kepada Yesus, "Tepat sekali, Bapak Guru! Memang benar apa yang Bapak katakan: Tuhanlah Allah yang esa, dan tidak ada lagi Allah yang lain (Markus 12: 32) [Yasir Anwar, Alâm al-Masîh 2004: 17]; (2) Allah tidak bisa dilihat (Yohanes 5: 37); (3) Iblis meminta Yesus untuk menyembahnya, kemudian –saat itu—Yesus menyuruhnya pergi, karena sudah tertulis bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disembah (Matius 4: 10); (4) Yesus menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata; Inilah hidup yang kekal, supaya mereka mengenal-Mu, Tuhan yang sesungguhnya dan Yesus yang Engkau utus (Yohanes 17: 3); (5) Di dalam surat Paulus kepada penduduk Roma; Karena Allah itu satu (Roma 3: 30) dan lainnya (Dr. Muhammad Ahmad al-Hâjj, al-Nashrâniyah min al-Tawhîd ilâ al-Tatslîts, 2002: 69-74).
Di samping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Firthjof Schuon di atas kurang representatif, karena dia seorang filosof, bukan seorang teolog. Tentu saja seorang teolog lebih mumpuni di dalam memahami ajaran agama tinimbang seorang filosof, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang filosof juga merangkap seorang teolog. Dalam hal ini Leibniz (1646-1716) lebih mumpuni tinimbang Schuon. Sehingga Leibniz lebih dikenal dengan terma Theodicy-nya. Maka, dalam hal ini same platform Kristen dan Islam sama, yaitu monoteisme, bukan kehadiran Tuhan.
Kedua, Penyaliban Yesus. Adalah hal yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus di tiang salib merupakan hal yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyâs ma`a al-fâriq bâthil. Sama halnya dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketika menyatakan bahwa makna nuzul dalam Islam sama dengan nuzul dalam Kristen. Hanya saja, menurutnya, nuzul dalam Islam dalam bentuk Alquran, sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan qiyas antara Alquran dengan Injil. Dan itu lebih rasional. Dan penulis kira Injil juga nuzul dari Allah. Atau umat Kristen ada yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari Allah?
Dalam Islam ada ajaran kurban (al-‘udlhiyah) pada hari raya `Idul Adlha, bukan jihad seperti yang dikatakan oleh Saudara Guntur itu. Selain itu, jihad bukan sampai darah penghabisan. Dalam Islam dijelaskan bahwa jihad itu sampai target jihad tercapai. Kalau sudah tercapai tidak perlu sampai darah penghabisan, itu namanya mati konyol. Dalam Alquran hal itu sudah tampak gamblang diterangkan oleh Allah swt (Qs. 2: 19-193), belum lagi dalam Hadits Nabi saw.
Kemudian, ketika kita menyatakan bahwa umat Islam tidak bisa menolak ajaran Penyaliban Yesus, dengan alasan dalam Islam ada syafa’at. Itu juga problem. Samakah Penyaliban Yesus dengan syafa’at dalam Islam? Karena dipandang sama-sama berbentuk pengampunan. Jelas “Jauh Panggang Daripada Api”. Kita tidak boleh hanya mementingkan hal yang sifatnya sekunder, semacam kerukunan beragama, namun terpaksa mengorbankan garis akidah yang jelas. Sumber ajaran (akidah) adalah kitab suci. Penyaliban harus dilihat dari kitab suci (Bibel) dan Alquran, tidak bisa hanya lewar rasio yang memiliki kemampuan yang terbatas (limited ability).
Salah satu Injil yang memuat kisah Penyaliban Yesus adalah Injil Markus. F. Kenyon dalam bukunya The Bible and The Ancient Manuscripts pada halaman 48 menyatakan bahwa dalam pandangan prioritas kronologisnya, Markus harus diletakkan pada sumber pertama episode ini. Injil Markus yang sekarang memuat cerita penyaliban dan kebangkitan. Tetapi riset modern telah membuktikan bahwa dua belas ayat (mulai ayat 9 sampai 20) yang terdapat di bagian terakhir Injil ini adalah palsu dan tidak ditemukan di manuskrip-manuskrip tertua (Dr. Hamid Qadri, Dimension of Christianity (Terj) Masyhur Abadi & Lis Amalia R; Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen, 2004: 61). Kiranya sumber doktrin yang sudah mengalami distorsi tidak bisa dijadikan sebagai landasan ide dan pemikiran. Perlu ditambahkan bahwa dalam Injil sendiri masih terdapat kesimpangsiuran dalam kisah Penyaliban Yesus.
Menurut Syariat Yahudi bahwa:
"Setiap yang disalib di atas kayu (tiang salib) terlaknat"
Inilah teks dari kitab Ulangan:
Apabila seseorang telah dihukum mati karena suatu kejahatan, dan mayatnya digantung pada tiang, mayat itu tidak boleh dibiarkan di situ sepanjang malam, tetapi harus dikubur pada hari itu juga. Mayat yang tergantung pada tiang mendatangkan kutuk Allah... (Ulangan 21: 22-23)
Apakah mereka menerima jika Kristus dilaknat oleh Allah? Ataukah laknat tersebut telah ditimpakan kepada Yudas sebagaimana yang terdapat di dalam nubuwat Mazmur:
Ia suka mengutuk; biarlah ia sendiri kena kutuk... (Mazmur 109: 17)
Di dalam Injil Yohanes:
Sama seperti Musa menaikkan ular tembaga pada sebatang kayu di padang gurun, begitu juga anak manusia harus dinaikkan (Yohanes 3: 14)
Ular bagi mereka melupakan simbol setan. Lalu siapakah yang disimbolkan sebagai setan, Kristus (Al-Masih) atau Yudas? Di dalam Injil Lukas disebutkan:
Kemudian Iblis memasuki Yudas yang disebut juga Iskariot...(Lukas 22: 3)
Di setiap bagian (tempat) dalam Injil, Al-Masih tidak mengatakan: "Niscaya aku akan disalib." Namun ia senantiasa berbicara dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (Arab; dhamîr al-ghâ'ib):
"Niscaya anak manusia akan disalib, akan dibunuh"
Nyata sekali bahwa penggunakan kata ganti 'orang ketiga' di sini bukan secara serampangan (sembarangan), namun merupakan tujuan yang sudah pasti dalam membicarakan 'seseorang yang tidak hadir namun ada, atau yang ada orangnya namun tidak hadir (di saat itu)'. Maka sosok yang sebenarnya (Al-Masih) dalam keadaan tidak ada (al-ghâ'ib) dan orang yang disalib (al-mashlûb) adalah orang yang mirip dengan Al-Masih (syabîh al-masîh) dalam kedaan hadir. Nah, selajutnya, tidak mungkin kata ganti yang lain menjelaskan perkara ini, kecuali kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib).
Dan satu-satunya perkataan Al-Masih yang menggunakan orang pertama adalah:
Wa hîna u'allaqu marfû'an min al-arhdi, adzdibu al-jamî'
Kalau aku sudah ditinggikan di atas atas bumi, aku akan menarik semua orang kepadaku (Yohanes 12: 32).
Dalam hal ini, beliau tidak ada sedikitpun menunjukkan tentang salib, sebagaimana terjemahan bahasa Arabnya 'u'allaqu tidak benar. Karena bahasa Inggrisnya 'lifted up', yang artinya 'diangkat', bukan digantungkan (Arab; 'u'allaqu). Maka tidak ada perselisihan diantara kita bahwa Al-Masih telah diangkat ke langit dalam keadaan hidup atau mati. Sebagaimana kalimat dengan menggunakan kata orang pertama tunggal (aku), merupakan kalimat yang tidak benar juga. Hal itu dikarenakan para guru-guru agama pemimpin dan yang ada di situ menolak ungkapan tersebut dalam Injil yang sama (Yohanes) dalam ayat berikutnya yang menunjukkan adanya pemalsuan (tazyîf), dimana mereka berkata:
Menurut Buku Hukum kami, raja penyelamat akan hidup selama-lamanya. Bagaimana engkau dapat berkata bahwa Anak Manusia harus ditinggikan di atas bumi? (Yohanes 12: 34). (Yasir Anwar, Alâm al-Masîh, 2004: 25-26). Adalah yang bijak jika kita mempelajari sebuah doktrin agama langsung kepada sumber aslinya. Penebusan dosa dalam Islam tidak lewat syafaat, melainkah lewat istighfar (mohon ampun) kepada Allah. Bukankah Nabi saw mengajarkan umatnya untuk meperbanyak istighfar? Karena syafaat bukan untuk semua manusia, melainkan bagi mereka yang berdosa. Sedangkan dalam Kristen, orang seluruhnya sudah diampuni dosanya cukup dengan mengakui bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Dan itu merupakan buntut dari perbuatan Adam yang memakan “buah Apel” menurut isitlah Marthin Luther. Tidak rasional dan salah fatal menyamakan penebusan dosa dengan Penyaliban Yesus Kristen yang sampai hari ini masih mengandung kontraversial, baik dalam kalangan Kristen apalagi dalam Islam. Maka cukup beralasan jika Alquran menyatakan wamâ qatalûhû wamâ shalabûhu walâkin syubbiha lahum.
Kemudian saudara Guntur menjelaskan tentang Yesus, ia merupakan “kalimat” dan “ruh Allah”. Ini perlu diluruskan. Dalam Alquran, Allah tidak pernah menjelaskan hanya dengan “ruh” dan “kalimat Allah”. Allah senantiasa menggandengkan kata “ruh” dengan kata “minhu”. Begitu juga dengan “kalimat”, selalu disandingkan dengan kata ganti (dhamîr) hu, sehingga menjadi kalimatuhû. Hal ini dengan jelas dijelaskan oleh Allah di dalam Qs. 4: 171: “Innama al-Masîhu `Isa bnu Maryam Rasûlullâhi wa kalimatuhû alqâhâ ilâ Maryam waRûhun minhu (Sesungguhnya Al Masih `Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya). Jelas berbeda antara “ruh Allah” dengan “ruh dari Allah”. Tentunya hal ini dapat kita pahami dengan cara merujuk kepada Alquran, Hadits dan buku-buku kristologi.
Untuk artikel kedua (milik saudara Ulil Abshar-Abdalla) ada tiga poin penting yang akan saya tanggapi; (1) Isu Alquran bukan “Kitab Pembatal”; (2) Perayaan Natal dan Bid`ah dan (3) Kawin Campur.
Pertama, Alquran bukan ‘Kitab Pembatal’. Benarkah demikian? Dalam sebuah agama truth claim merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, salah satu tindakan yang salah adalah blind claim itulah yang tidak dapat diterima. Klaim-klaim buta yang tidak berdasar merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Pernyataan saudara Ulil bahwa Alquran bukan ‘Kitab Pembatal’ harus dilihat kembali dengan kritis. Yesus hadir (diutus) ke dunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia hanya melengkapi (menggenapi) hukum Taurat yang dibawa oleh Musa (Matius 5: 17-18). Maka, Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus Taurat, meskipun datangnya belakangan. Ia hanya bisa disebut sebagai ‘mushaddiq’ (pembenar). Lain halnya dengan Alquran, meskipun Alquran turun bukan sebagai ‘Kitab Pembatal”–namun ia merupakan penghapus beberapa hukum Taurat—, tapi ia (Alquran) turun sebagai pembenar (mushaddiq) sekaligus muhaimin `alaihi (batu ujian). Inilah penulis kira yang luput dari perhatian saudara Ulil. Alquran merupakan filter akidah dan ayat-ayat yang ada dalam kitab yang turun lebih dulu (Taurat dan Injil). Dengan demikian, Alquran pada intinya merupakan kitab ‘pembatal’, meskipun bukan pembatal seratus persen. Sebut saja cara bertobat. Umat zaman dahulu kalau bertobat harus bunuh diri (Qs. 2: 54), dalam Islam tentu tidak seperti itu, cukup dengan taubat; tidak perlu sampai membunuh diri. Dan yang tidak dihapus itu adalah doktrin monoteisme (Tauhid), itulah yang disebut dengan same platform (kalimah sawâ’). Meskipun tampaknya hanya Islam (saat ini) yang berpegang teguh pada kalimah sawâ’ ini.
Kedua, bid`ah Natal. Apa maknabid`ah menurut saudara Ulil? “Pandangan bahwa ikut upacara Natal adalah bid'ah karena tidak pernah dijumpai pada masa Nabi, dan setiap bid'ah adalah sesat, perlu diluruskan, dan hendaknya masyarakat tidak mudah terkecoh dengan hal ini. Bid'ah yang dilarang oleh agama adalah suatu inovasi atau mengadakan hal yang sama sekali baru dalam agama. Sebagai contoh, umat Islam dilarang untuk melakukan improvisasi dalam jumlah rakaat dalam Salat, sebab hal itu tak pernah dicontohkan oleh Nabi dan tak ada dalilnya dalam agama. Itulah makna dari sabda Nabi, "man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak. Tetapi inovasi dalam masalah keduniaan jelas sesuatu yang dianjurkan oleh agama, sebab hal itu menandakan adanya kreativitas dan hidupnya masyarakat. Masyarakat yang tanpa "bid'ah" dalam hal-hal yang bersifat keduniaan adalah pertanda bahwa ia itu mati”, demikian ungkapnya.
Ada hal penting yang harus diluruskan dalam masalah bid`ah ini. Pertama, bid`ahitu terbagi dua, pertama bid`ah dalam kebiasaan (adat) dan kedua, bid`ahdalam agama (al-dîn). Bid`ah dalam bentuk pertama dibolehkan, karena asal (dasar) dari segala sesuatu itu adalah boleh (al-ibâhah).
Sedangkanbid`ah dalam agama adalah haram, karena pada dasarnya adalah al-tawqîf (berdasarkan penjelasan Nabi saw berdasarkan wahyu dari Allah swt). Contoh shalat yang diberikan oleh saudara Ulil sudah benar, namun contoh tentang menghadiri Natal adalah salah fatal. Karena perayaan Natal bersama juga merupakan bid`ah yang dilarang oleh agama. Karena Natal merupakan salah satu hari besar dalam agama Kristen. Jelas menghadirinya tidak boleh dan dilarang keras oleh agama. Ibnul Qayyim al Jauziyah di dalam bukunya As-Syarhus Syuruth Al Umariyah, mengutip sebuah sabda Nabi saw: Laa tadkhuluu `alaa ha’ulaai al-mal`uuniin illaa antakuunuu baakiina. Fainlam takuunuu bakiina falaa tadkhuluu `alaihim, an yushibakum mitslu maa ashabahum (Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilaknat oleh Allah kecuali dengan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinnya, karena nanti kamu akan tertimpa (azab) seperti yang diterima mereka).
Dalam kitabnya, Iqtidlaa ‘ash Shirathil Mustaqim Mukhaalifata Ashhaabil Jahim, Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab ra. pernah menyatakan, “Ijtanibuu a`daa’allaahi fii `idihim (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).
Kaum nonmuslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma` sahabat dan disepakai jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri Peringatan Natal Bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masayarakat Muslim—adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka” (Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen Di Indonesia, 2003: 78). Dan secara realita, di Indonesia tidak pernah ada pihak yang dirugikan seandainya agama-agama lain (Islam, Hindu dan Budha) tidak menghadiri Perayaan Natal Bersama. Apakah dengan tidak hadirnya umat Islam akan dianggap Islam tidak toleran? Atau Perayaan Natal tersebut kurang khidmat dan tidak khusyuk? Sehingga dapat mengurangi makna Natal itu sendiri. Karena umat Islam tidak pernah ribut ketika melaksanakan Idul Fithri dan Idul Adlha. Fat’ammal Hadzâ!
Ketiga, Kawin Campur. Apa maksud dari kawin campur? Yaitu perkawian antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah. Itulah kawin campur dalam Islam, dan bukan sebaliknya. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan seorang laki-laki non-Muslim adalah tidak benar, karena memang tidak ada nashnya. Di samping itu, tidak ada ijma` (konsensus) ulama dalam hal ini.
Dalam Fikih Islam, kawin dengan wanita non-Muslimah (al-kitâbiyât) dibolehkan. Karena Islam mengharamkan kawin dengan wanita musyrik (al-musyrikah), bukan dengan wanita Ahli Kitab (Qs. 2: 221), meskipun wanita kitabiyahitu dalam keadaan kafir. Ini dilakukan oleh para sahabat Nabi saw, kecual Ibnu Umar. Ia menolak untuk kawin dengan seorang Masehiyah (Nasrani), karena menganggapnya sebagai seorang yang musyrikah. “Dosa apa yang paling besar dari perkataan dia: Bahwa tuhannya adalah Yesus. Padahal Yesus adalah salah satu dari hamba Allah” (Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Mawqif al-Islâm al-`Aqdiy Min Kufr al-Yahûdiy wa al-Nashârâ, 1999: 58-59). Namun, beberapa pemikir yang ingin dianggap ‘pluralis’ –terutama di Indonesia—menyelewengkan aksi ‘Kawin Campur’ ini. Mereka menyatakan bahwa tidak apa-apa seorang wanita Muslimah kawin dengan laki-laki non-Muslim. Kasus yang paling mencolok adalah apa yang diusung oleh Zainul Kamal. Kliping traskrip ceramah Zainul Kamal di radio 68 H, Jakarta cukup mengejutkan. Dalam kliping tersebut Zainul Kamal membolehkan seorang wanita Muslimah kawin dengan pria non-Muslim (Gatra, No. 48, Thn III, 19 Oktober 2002). Rasanya akidah tidak perlu dikorbankan hanya karena ingin mendapat gelar ‘pluralis’. Karena akibatnya akan fatal, dan belum tentu apa yang ada di kepala kita sejalan dengan apa yang ada di kepala orang “yang di luar pagar” kita.
Sebagai konklusi, Islam adalah agama toleran, namun memiliki garis-garis ketegasan; baik dalam beragama –apalagi masalah akidah—maupun masalah mu’amalah. Identitas Islam tidak boleh labur dan kabur karena hanya menginginkan sesuatu yang pada intinya bukan masalah yang urgen dan dharurah. Semangat pluralisme dan pluralitas dalam Islam sangat dihargai dan dijunjung tinggi. Namun, spirit of plurality and pluralism yang over adalah hal yang tidak pada tempatnya dan tidak bisa diterima oleh nalar sehat. Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945. Indonesia tetap aman dan tenteram, tidak pernah adalah masalah dalam masalah Natalan. Justru usaha untuk menjadikan event Natal sebagai ajang sinkretisme teologis adalah event yang tidak benar dan akan menciptakan masalah. Wallâhu ‘a`lamu bi al-shawâb.
Qosim Nursheha Dzulhadi
Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir. [ 0 komentar]
|
|