|
Derita Aceh Adalah Derita Kita Jurnal Muslimah - Sunday, 30 January 2005
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[1] Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat..
[2] Pada hari (ketika) kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.
Kafemuslimah.comPeristiwa yang dideskripsikan kedua ayat pertama surat al-Hajj di atas itulah yang terjadi beberapa waktu lalu di bumi Aceh dan sekitarnya —tentu saja dalam sekala yang jauh lebih kecil. Lebih dari 100 ribu orang syahid dalam bencana alam itu. Mereka syahid karena mereka menghadap Allah dengan salah satu cara di antara beberapa cara yang disabdakan Rasulullah SAW:
“Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang meninggal di jalan ketaatan pada Allah adalah syahid, orang yang mati karena tha’un adalah syahid, orang yang mati karena sakit perut adalah syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid”.
Secara spiritual, mereka adalah makhluk-makhluk yang sangat berbahagia di sisi Allah. Walaupun secara fisik, kita tidak dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya derita yang mereka jalani untuk menghadap Sang Pencipta.
Sebagian yang lain, adalah saksi hidup dari dahsyatnya bencana alam itu. Dengarlah kesaksian Abdullah, seorang warga Aceh yang boleh jadi mewakili ribuan warga lainnya:
“Ketika terjadi gempa, saya berada di rumah saudara, berkumpul dengan keluarga besar. Nah sehabis gempa, saya pulang ke rumah. Di rumah saya melihat istri berada di luar sedang memberi makan kepada anak-anak. Saya pun sempat menikmati rokok.
“Namun tiba-tiba 30 menit kemudian dari jarak 30 meter, saya melihat air setinggi rumah. Gelombang air yang datang dengan kecepatan tinggi itu menggasak rumah saya. Semuanya habis dan rumah saya rata dengan tanah.
“Saya sempat terseret arus sampai 1 kilometer, dari Pelangkahan sampai ke Kampung Mulia. Kejadian ini sangat cepat sekali, tak sampai 1 menit. Saya berhasil selamat karena bisa berpegangan pada sebuah perahu dan berhasil naik di atasnya. Sampai sekarang, saya tidak mengetahui nasib istri dan anak-anak saya.”
“Kering rasanya mata ini. Kami tak bisa menangis lagi,” tutur Nyak Wah, istri Tarmiji, seorang warga Aceh lainnya. Keduanya pun menjadi saksi berbagai kisah memilukan dari warga Aceh yang selamat dari bencana alam itu. Bagaimana seorang Ibu menggendong anak tercintanya yang sudah tidak bernyawa lagi. Dari jauh, kita bisa bayangkan bagaimana suasana panik yang terjadi di Aceh sana ketika itu: Jerit tangis para orang tua yang tiba-tiba kehilangan anaknya, kesedihan anak-anak yang tiba-tiba menjadi yatim piatu, kepedihan orang-orang yang tiba-tiba menjadi sebatang kara. Pendeknya peristiwa itu telah memisahkan mereka dari orang-orang yang sangat mereka cintai.
Sejenak, marilah kita layangkan ingatan kita kepada putri Rasulullah SAW, Fathimah, yang kerap kali mengunjungi pusara Rasulullah SAW ketika beliau merindukannya:
Nafasku tersekat dalam tangisan
Duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan
Sesudahmu tiada lagi kebaikan dalam kehidupan
Aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan
Kala rinduku memuncak, kujenguk pusaramu dengan tangisan
Aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban
Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu, tangisan memelukku
Kenangan padamu melupakan daku dari segala musibat yang lain
Jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah,
engkau tidak hilang dari hatiku yang pedih
Berkurang sabarku bertambah dukaku
setelah kehilangan Khatamul Anbiya
Duhai mataku, cucurkan air mata sederas derasnya
jangan kautahan bahkan linangan darah
Ya Rasul Allah, wahai kekasih Tuhan
pelindung anak yatim dan dhuafa
Setelah mengucur air mata langit
bebukitan, hutan, dan burung
dan seluruh bumi menangis
Padahal kita tahu bahwa Fathimah adalah salah seorang wanita mulia sepanjang sejarah Islam. Rasulullah SAW menyebutnya sebagai salah seorang penghulu para wanita di surga. Jika seperti itulah kesedihan seorang Fathimah karena harus berpisah dari orang yang sangat dicintainya, maka dapat kita bayangkan bagaimana duka mendalam ribuan warga Aceh yang harus berpisah dari orang-orang yang sangat mereka cintai: ayah, ibu, suami, istri, kakak, adik, anak dan handai taulan lainnya.
Mereka adalah saudara-saudara kita. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita. Tangis mereka adalah tangis kita. Duka mereka adalah juga duka kita. Itulah yang minggu-minggu terakhir ini seharusnya kita rasakan. “Mukmin yang satu dengan mukmin lainnya ibarat satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh kita juga merasakan sakitnya,” begitu tuntunan Rasulullah SAW.
Tetapi itu semua tidaklah cukup. Meneteskan air mata sambil berdiam diri saja sama sekali masih terlalu jauh ketimbang kewajiban yang harus kita lakukan. Islam menuntut kita untuk berbuat lebih dari itu. Sesungguhnya kita juga berkontribusi atas kemiskinan dan penderitaan yang telah puluhan tahun dialami oleh masyarakat Aceh, yang semakin memuncak dengan hadirnya bencana ini. Kita turut berdosa atas penderitaan mereka itu karena kita berdiam diri saja menyaksikan kezaliman terjadi selama berpuluh-berpuluh tahun di bumi Aceh: kekayaan alamnya dikuras habis, para wanitanya diinjak-injak kehormatannya, para penduduknya ditembaki (aparat), rumah-rumah mereka dibumihanguskan.
Lalu apakah sesungguhnya kewajiban yang harus kita lakukan terhadap saudara-saudara kita di Aceh itu? Sebuah hadis Qudsi melukiskan dengan gamblang hal itu. Alkisah, para penduduk neraka protes kepada Tuhan,
“Mengapa Engkau masukkan kami ke dalam neraka, ya Allah”.
Tuhan bekata, “Dahulu Aku lapar, engkau tidak memberi-Ku makan. Dahulu Aku telanjang, engkau tidak memberi-Ku pakaian. Dahulu Aku sakit, engkau tidak menjenguk-Ku.”
Orang-orang bertanya, “Bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan, padahal Engkau Rabb al-Alamin. Bagaimana mungkin Engkau telanjang padahal Engkau Rabb al-Alamin. Bagaimana mungkin Engkau sakit padahal Engkau Rabb al-alamin?”.
Tuhan menjawab, “Dahulu ada hamba-hamba-Ku yang lapar, engkau tidak memberinya makan. Dahulu ada hamba-hamba-ku yang telanjang, engkau tidak memberinya pakaian. Dahulu ada hamba-hamba-Ku yang sakit, engkau tidak menjenguknya”.
Jadi, jelas sudah satu-satunya cara untuk menebus dosa kita adalah dengan mengembalikan secepat mungkin hak-hak mereka yang telah kita “rampas “ itu. Kita harus sepenuh hati bahu-membahu mengangkat mereka dari jurang penderitaan ini. Itulah satu-satunya cara terbaik yang dapat menyelamatkan kita dari ancaman neraka, sebagaimana terlukis di dalam hadis Qudsi di atas. (Pupung Pursita Dewi) [ 0 komentar]
|
|