|
Lombok Membara Muslimah & Media - Wednesday, 23 February 2005
Kafemuslimah.com Cuaca mendung kemarin. Meski demikian, tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Angin semilir terus berhembus menerbangkan sampah-sampah yang bertebaran di jalanan serta membawa serta debu-debu bersamanya. Sudah dua hari hujan tidak turun. Biasanya, hujan rajin mengguyur kota Jakarta. Maklum, ini memang masih musim penghujan. Beberapa warga yang tinggal di sekitar rumah saya, begitu menikmati cuaca mendung ini. Kesempatan untuk mengajak anak-anak bermain di jalanan, tanpa khawatir terbakar terik matahari atau basah kena rintik hujan. Pada cuaca seperti itulah telepon di rumah saya berdering.
KRING…. KRING….KRING
hallo?
Hei, De. Assalamu’alaikum, ini aku.
“Wa’alaikumsalam. Oh, kamu.”Rupanya sahabat saya menelepon. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal sebelum akhirnya dia menceritakan maksud utama dia menelepon saya.
De, sudah dengar kabar tentang Lombok Membara belum?Lombok membara? Saya belum pernah mendengarnya. Terus terang, sudah beberapa hari ini kebiasaan saya membaca Koran agak terbengkalai karena ada sebuah pekerjaan yang harus saya selesaikan. Hal yang sama juga terjadi pada kebiasaan memantau berita terkini lewat televisi dan radio. Hmm, ada apa dengan Lombok? Apakah saya melewatkan sesuatu yang terjadi di salah satu wilayah Indonesia bagian tengah tersebut? Apa yang terjadi di pulau yang bertetangga dengan pulau Bali, yang menjadi pulau kedua destinasi setelah bali karena pantainya juga terkenal indah dan alamnya asri ini? Kata membara di belakang kata Lombok membuat saya langsung berpikir telah terjadi sebuah kerusuhan, kejahatan besat, tragedy kemanusiaan yang parah, atau .........
Belum. Ada apa dengan lombok?
Belum pernah dengar yah?
Iyah. Belum pernah. Kenapa, ada apa dengan lombok?
Uhh, payah deh kamu. Ade masih ingat nggak kasus peredaran VCD porno Bandung Membara dulu?
Oh, yang terjadi sekitar dua atau tiga tahun yang lalu itu?
Iyah, itu. Nah, Lombok Membara itu sama dengan Bandung Membara.
Oh.
Sebagai informasi, sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, di Bandung pernah gempar sebuah peristiwa heboh beredarnya sebuah VCD porno. VCD ini, sebenarnya bukan sengaja dirilis oleh produser, sutradara dan pelaku bintang film murahan. Kisahnya bermula ketika sepasang kekasih yang kebetulan masih duduk di bangku kuliah di --TUUT--- (artinya: nama perguruan tingginya disensor yah, maaf) Bandung melakukan hubungan intim layaknya pasangan suami istri dan merekam adegan bermesraan mereka tersebut di Video Cam. Entah apa maksudnya. Bisa jadi, setelah merekam dan menyaksikannya di layar video cam, mereka tidak begitu jelas menonton kembali kegiatan bermesraan mereka tersebut. Maklum, layar monitor di Video Cam memang serba mini. Maka mereka pun berinisiatif untuk memindahkan data tersebut ke dalam keping VCD. Maka dibawalah kaset Video Cam tersebut ke tukang bikin VCD. Setelah selesai dipindah ke keping VCD, mereka pulang. Menurut pengakuan kedua mahasiswa itu, si tukang VCD tidak menyimpan satu pun Copy dari video hasil rekaman mereka. Tapi apa yang terjadi?
Beberapa hari kemudian, beredar di Bandung dan sekitarnya kaset VCD porno yang telah digandakan menjadi puluhan bahkan ratusan keping dan laku keras. Semua adegan tanpa sensor itu menggemparkan Bandung. Caci maki pun ditumpahkan pada pasangan mahasiswa yang telah melakukan zina dan merekam adegan zina tersebut. Lalu bagaimana akhir ceritanya?
Akhirnya, katanya, pelaku pengganda VCD itu ditangkap, kedua mahasiswa itu di drop out dari almamaternya, lalu dinikahkan dan akhirnya diterbangkan ke luar negeri (Australia) untuk membangun keluarga baru di sana. Kebetulan, saya punya kenalan yang masih kerabat kedua mahasiswa itu. Kenalan saya itu mengungkapkan pada saya, bagaimana cara berpikir keluarga kedua mahasiswa itu.
“Ya sudah, kalian pergi saja ke luar negeri dulu untuk beberapa saat sampai keadaan di Indonesia reda dengan sendirinya. Orang Indonesia itu kan cepat panas tapi nanti juga cepat lupa dan cepat tidak peduli. Nanti kalau dah pada lupa, gampang deh mau ngapain ajah.”
And that the end of the story. Maybe, they live ever after, maybe not. Who know’s? Tentang VCD yang beredar? Tidak ada yang bisa mengontrolnya. Bahkan sampai sekarang, kata orang nih, VCD itu masih dijual bebas di pasaran dengan harga sepiring nasi capcay.
Kembali pada pembicaraan di telepon dengan sahabat saya.
Duh, masa kamu belum pernah dengar tentang kasus VCD Lombok Membara sih?
Iyah belum. Sekarang, siapa lagi yang melakukannya? Sama dengan yang di Bandung Membara memangnya?
Yang di Bandung Membara sudah lihat belum?
Belum.
Belum? Masa sih?
Iyah, belum.
Waa, gimana aku mau cerita tentang Lombok Membara kalau Bandung Membara saja kamu belum lihat.
hehehe. Terus terang, saya memang tidak pernah berkeinginan untuk menyaksikan VCD apapun yang membara tersebut. Bukan apa-apa. Tapi, saya selalu berpikir.Jika saya ikut menyaksikannya, apalagi ikut membelinya, maka secara langsung (eh atau tidak langsung yah?) itu sama saja artinya dengan memberi dorongan moril dan materil bagi industri VCD bajakan yang isinya amat bertentangan dengan apa yang saya yakini tersebut. Peluang saya untuk bisa menyaksikannya secara gratis dalam hal ini memang amat terbuka. Beberapa teman telah memilikinya dan bahkan beberapa agak memaksa agar saya meminjam dan menyaksikannya. Tapi saya tetap pada keyakinan saya. Saya tidak akan memberi sumbangan pada industri bejat tersebut. Sebagai sebuah wacana, saya memang bersedia membaca ulasannya di berbagai media. Sebagai sebuah tambahan informasi, saya memang mengikuti diskusi yang berkembang seputar pro dan kontranya. Tapi sebagai seorang ibu dan seorang muslimah, saya tidak akan mengeluarkan uang dan menyisihkan waktu untuk membantu perkembangan peredarannya. Bukankah semua barang yang beredar di pasaran itu mengikuti hukum pasar? Artinya, selama ada permintaan, maka barang akan terus tersedia. Semakin banyak permintaan, maka semakin tinggi nilai barang tersebut, dan semakin sedikit permintaan akan barang tersebut, maka cepat atau lambat pasar akan menyingkirkannya.
Ya sudah, kalau mau cerita, yah cerita saja. Nggak usah ramai harus nonton segala deh.
Ya sudah. Nih, kan gini nih. Kalau Bandung Membara, pelakunya kan mahasiswa –TUUTT-- yah? Nah, kalau yang di Lombok Membara ini, pelakunya adalah sepasang anak muda juga di pinggir pantai. Yang hebohnya, karena si perempuannya memakai Jilbab! Glek. Saya tercekat.
Masa sih?
Iyah. Itu sebabnya aku langsung telepon kamu. Iiihhh, aku baru saja menontonnya nih. Kesal, kesal dan kesaaaallllllllllll banget. Sebel! Munafik banget deh perempuannya.
......... Bingung mau ngomong apa.
Awalnya saja dia kayaknya nggak mau, tapi akhirnya mau dan jilbabnya sama sekali nggak dilepasnya. Coba? Itu kan bikin malu Islam? Ih, aku sebel banget lihatnya. Sudah gitu di pantai pula.
......... Masih nggak tahu harus komentar apa.
Aku juga lihat tayangan gambar lain. Ada nih, perempuan yang ngutil pas mereka pakai jilbab lebar.
Ngutil?
Nggak tahu arti ngutil?
Nggak.
Ahh, payah banget sih kamu. Ngutil itu artinya ngambil barang-barang di supermarket. Nyuri, tahu kan? Nilep?
Ooo, iyah tahu. Masa sih? Ada di VCD itu?
Ya nggak. VCD lain. Tapi, VCD itu dipertontonkan di depan para jemaat gereja. Aku dengar cerita dari temanku nih. Jadi, di acara misa gereja, diputar tuh VCD itu, terus diterangi bahwa jilbab itu sebenarnya Cuma tameng ajah buat berbuat jahat. Karena orang kan jadi bisa nyimpen apa saja dalam sebuah jilbab lebar. Jadi, jangan pernah menganggap bahwa mereka yang pakai jilbab lebar itu selalu orang shaleh-shaleh. Gitu. Uhh, pesan ini sering banget tahu disebarkan oleh para misionaris.
.........
Jadi gimana dong nih?
.........
Hallo?
.........
Hei, kamu kok diam saja sih?
.........Nggak tahu harus ngomong apa lagi.
------- Jakarta, 24 Februari 2005 ([email protected])
penulis: Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|