|
Meyakinkan Bunda Bahwa Si Bengal Tak Lagi Bengal Uneq-Uneq - Saturday, 26 February 2005
Tanya: Assalamualaikum.wr.wb.
Mba Ade yth, saya mo berbagi masalah sedikit nih, sekalian mo cari solusi.
Sekarang saya telah memiliki seseorang ikhwan yang InsyaAllah akan melamar saya, dia adalah mantan saya. dan kami telah berpisah selama kurang lebih 5 bulan. Sebelum kami putus, dia adalah cowok bandel, jarang shalat, dan gak dekat dng agama. sampai ada suatu kesalahan dia yang menyebabkan kami putus. Sesudah kami putus, dia merasa menyesal sekali, dia hampir putus asa, bahkan dia cerita kesaya dia hampir mau bunuh diri gara2 kejadian itu (astagfirullah),Dia meminta saya untuk memaafkannya dan menjalin hubungan kembali. lalu selama beberapa bulan dia introspeksi dan menyesali kelakuannya, sampai Subhanallah dia memilih hijrah total ke Islam sejati....sekarang alhamdulillah dia telah menjadi ikhwan yang baik, sering shalat kemasjid, puasa, jadi imam, dsb. saya sempat kaget melihat perubahannya. Subhanallah......ternyata hidayah Allah sampai ketangannya. seakan smua rasa benci saya ke dia seakan luntur keseluruhan.
Sekarang dia banyak membimbing saya, mengajari saya agama, juga menyarankan saya supaya memakai jilbab ( InsyaAllah saya ingin melaksanakan secepatnya )
Tapi masalahnya ketika saya melihat perubahan itu, dan menjalin persahabatan kembali dengannya. keluarga ( terutama ibu saya ), tidak setuju sama sekali saya berhubungan kembali, karena ibu dan keluarga saya belum melihat perubahan dia, saya sudah seringkali bilang ke ibu kalau dia sudah berubah, dan dia ingin melamar saya. Tapi Ibu dan keluarga sama sekali tidak perduli dengan perubahan dia, justru menekan saya agar melupakan dia, karena yang keluarga saya tahu, dia telah menyakiti saya, dan mengkhianati saya, sehingga ibu saya juga merasakan sakit hati yg saya rasakan waktu itu, tapi saya sudah melupakan kesalahannya dan memafkannya.
Sekarang, kalau bisa saya minta pendapat mba Ade, bagaimana cara saya meyakinkan Ibu dan keluarga saya bahwa dia benar2 sudah berubah dan berniat baik untuk melamar saya.
Atas solusinya, saya ucapkan banyak terimakasih.
Wassalam.
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pengalaman mengajarkan saya sebuah pelajaran yang amat berharga, yaitu:
“Jika kamu sedang tidak enak hati pada orang lain, jangan ceritakan hal itu pada mereka yang menyayangi kamu. Karena, rasa sayang mereka padamu akan membuat mereka ikut merasakan rasa sakit hati yang kamu rasakan dan mereka akan membenci orang yang menyakitimu. Itulah yang tertanam dalam benak dan pikiran mereka. Padahal, ketika hatimu sudah membaik dan kasih sudah kembali terjalin dengan orang lain yang menyakitimu itu, kamu lupa dan tidak pernah memberitahu kejadian manis ini pada mereka yang menyayangi kamu.”
Hampir semua orang, selalu datang pada orang yang mereka percayai akan selalu memperhatikan dan menyayangi mereka ketika hati sedang susah. Pada orang tua, pada sahabat, pada saudara atau pada suami atau kekasih. Mereka datang untuk mengadu dan mengharapkan tempat untuk dapat menumpahkan tangis, meletakkan kepala di bahu dan memperoleh sandaran agar tidak jatuh luluh. Tapi, ketika sedang senang, maka mereka akan mendatangi siapa saja. Siapa saja dan kapan saja, tapi lupa memberitahu pada kumpulan orang-orang di atas bahwa duka itu telah berakhir.
Itu sebabnya, anak-anak yang tidak mengerti bahwa orang tuanya sudah tidak ada masalah, menjadi bingung kenapa kemarin mereka melihat orang tuanya saling bertengkar dan baku hantam tapi ketika pagi ibunya sudah menyiapkan kopi sambil tersenyum pada bapak. Atau mertua yang sibuk saling menyalahkan dengan besannya tentang kesalahan mendidik anak di telepon, akhirnya harus malu hati karena ternyata anak-anak yang mereka ributkan sudah saling duduk bermesraan berdua padahal beberapa hari yang lalu mereka datang mengadu pada orang tua masing-masing tentang perlakuan buruk pasangannya. Atau sahabat yang panas hatinya melihat seorang teman yang dia tahu telah menyakiti hati sahabatnya harus gemas karena ketika dia menegur si teman itu ternyata perseteruan yang dia bahas sebenarnya sudah basi.
Dan tampaknya, inilah yang terjadi pada kasus ukhti.
Ketika dulu ukhti disakiti oleh mantan ukhti, tentu ukhti mengadu dan berkeluh kesah pada orang tua dan saudara ukhti. Karena rasa sayang mereka pada ukhti, tentu saja mereka tidak rela ukhti disakiti begitu saja oleh si mantan. Dalam kepala dan benak mereka, si mantan ini sudah punya cacat yang tidak dapat lagi ditolerir.
Lalu waktu berlalu. Ada banyak kejadian yang terjadi. Tapi, semua kejadian itu, proses hingga terjadi perubahan yang insya Allah baik itu, tidak sekalipun ukhti ceritakan pada orang tua dan saudara. Artinya, yang tahu bahwa telah terjadi perubahan baik itu hanya ukhti seorang. Sedangkan yang ada di kepala dan benak orang tua serta saudara ukhti adalah kenangan pahit yang terjadi antara ukhti dan mantan. Tentu saja mereka kaget dan tidak terima ketika sekarang ukhti tiba-tiba datang dan memberitahu bahwa ukhti dan mantan sedang menjalani proses untuk serius berhubungan kembali.
Siapapun akan tidak rela melepas orang yang mereka sayangi harus menjalani jalan yang sama dimana mereka tahu bahwa ada lubang yang pernah memperosokkan orang yang mereka sayangi itu dengan amat sakit. Sulit rasanya memberi kepercayaan bahwa orang yang mereka sayangi itu akan belajar dari pengalaman yang sudah berlalu hingga mereka tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Yang ada adalah kekhawatiran, bagaimana jika terjadi kejadian yang sama? Bagaimana jika tetap saja mata orang yang mereka sayangi tersebut tersilap hingga kembali harus terperosok jatuh dan kali ini lebih parah lukanya? Itu semua tidak lain karena begitu besarnya rasa sayang dan cinta mereka pada ukhti.
Tapi, tentu saja siapapun tidak boleh menaruh syak wasangka pada orang lain. Siapapun tidak dibenarkan menaruh prasangka buruk pada orang lain. Dan akhirnya, siapapun, tidak bisa memperkirakan akan terjadi sesuatu yang buruk pada seseorang. Meski sebuah kewaspadaan dan sikap hati-hati tetap harus ditegakkan.
Lalu bagaimana caranya untuk menyingkirkan prasangka buruk dan keraguan tersebut?
Ukhti. Terkadang, ada perilaku-perilaku fisik yang dilakukan bukan dengan niat yang tulus karena Allah. Dan sungguh perilaku tersebut amat dibenci oleh Allah. Semua perilaku tersebut digolongkan dalam sifat riya, yaitu melakukan sesuatu karena mengharapkan sesuatu selain Allah. Apa yang diharapkan dari seseorang yang riya? Mereka mengharapkan pujian, penghargaan dari orang lain, pengakuan dari orang lain, serta hal-hal lain yang lahir dari decak kekaguman karena melihat sesuatu yang kasat mata. Ada yang berlama-lama ketika shalat agar diakui sebagai orang yang sholeh, ada yang membagus-baguskan dan mengeraskan suara ketika Tadarus Quran agar diakui sebagai orang yang Alim, ada juga yang berpuasa agar disebut sebagai orang yang tawadhu. Kita nggak pernah tahu apa niat sebenarnya dari mereka yang bertingkah laku tersebut. Hanya Allah yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang.
“Sesungguhnya semua perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu memperoleh balasan dari Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrah demi dunia, ia akan memperolehnya; atau jika demi perempuan, ia akan menikahinya. Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju.” (Hadits pertama dalam Shahih Umam Al- Bukhari)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuh-tubuh kalian, atau bentuk kalian, tapi melihat pada hati dan perbuatan kalian.”(HR Muslim dari Abu Hurairah ra)
Tapi, Al Quran, sebagai kalam dari Allah, memberi petunjuk pada kita untuk membedakan mereka yang tulus beribadah karena Allah dan mereka yang melakukan ritual ibadah karena alasan riya belaka.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberi harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)
(lihat juga Al Baqarah: 201; Ali Imran: 148; An-Nahl:97; Nuh: 10-12). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, perbuatan tidak hanya diminta dalam urusan agama saja, namun ia juga diminta dalam urusan dunia. Maka barangsiapa yang ingin hidup damai dan tenteram di dunia ia tak mungkin mencapainya kecuali dengan berbuat kebajikan.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Nah, ukhti. Sekarang ada satu cara untuk meyakinkan orang tua dan saudara ukhti bahwa mantan ukhti itu memang benar-benar telah berubah total menjadi seorang Muslim yang insya Allah baik luar dalam (bukan berpura-pura). Yaitu dengan melalui perbuatan baik dan kebajikan yang terus menerus dia lakukan pada siapa saja. Dia tulus ikhlas berbuat baik pada orang tua ukhti, pada saudara ukhti, pada tetangga, pada teman-teman dan juga pada dirinya sendiri, pada perencanaan masa depannya (cirri-ciri orang yang bertanggung jawab adalah dia rajin memikirkan bagaimana cara terbaik untuk merenda masa depan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya). Dan semua perilaku baik itu tulus ikhlas dia lakukan bukan untuk mengambil hati calon mertua dan calon ipar apalagi mengambil hati calon istri (ehemm.. ukhti sendiri maksudnya), tapi semua perilaku kebajikan itu dia lakukan tulus ikhlas hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah, untuk mendapatkan tempat sebagai orang yang dicintai dan mencintai Allah semata. Artinya, dia tidak pernah peduli jika ternyata menerima perilaku negatif dari orang tua ukhti, karena bukan pujian yang dia inginkan, jadi dia tetap berlaku baik meski timbal baliknya tidak seimbang. Dia tetap berlaku baik meski ada keluarga ukhti maupun tidak ada keluarga ukhti. Dan imbasnya, ukhti pun juga harus belajar untuk menata diri ukhti agar juga berlomba dengannya untuk berbuat kebajikan juga.
Inilah cara terbaik untuk membuktikan sesuatu pada orang lain dan insya Allah, ini merupakan ujian dari Allah yang ingin menguji kesungguhan taubat para hamba-Nya.
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, balaslah dengan perbuatan yang lebih baik, jikalau di antara kamu dan dia ada permusuhan, maka seakan-akan dia adalah teman yang akrab.”(Fushshilat:34)
Jangan lupa juga berdoa, agar Allah membantu melembutkan hati orang tua dan saudara ukhti, membuka mata hati mereka hingga mereka bisa melihat bahwa yang haq itu memang haq dan yang batil itu memang batil. Mintalah pertolongan Allah agar Allah melenturkan lidah ukhti dan calon agar dapat membuat orang tua dan saudara ukhti mengerti apa yang kalian inginkan. Ambil wudhu dan dirikanlah shalat. Hanya Allah sajalah yang Maha Penolong dalam hal ini. Dan terkadang, perbuatan langsung itu lebih efektif untuk membuktikan sesuatu daripada omongan.
“Barang siapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath-Thalaq:2)
Semoga Bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|